Mataram (ANTARA) - Jika memiliki waktu luang, libur panjang atau habis gajian paling enak memang jalan-jalan di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan mampir ke Kota Mataram.
Jalannya halus, pantai berpasir putih bersih dengan ombak tidak seberapa besar, gugusan Gunung Rinjani yang menawan di sepanjang perjalanan dan panorama sawah diselingi pohon kelapa mengingatkan eksotisme Bali dalam suasana yang lebih lenggang.
Setelah perjalanan panjang membangun aksesibilitas yang tinggi untuk dapat dikunjungi, ciri khas kedaerahan, dan sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir, kini NTB, telah menjadi salah satu destinasi wisata utama di Nusantara.
Destinasi wisata di NTB, semakin memberi banyak pilihan bagi wisatawan domestik untuk berwisata selain Pulau Bali dan Jawa tentunya. Bagi wisatawan mancanegara lokasi NTB yang dekat dengan Pulau Bali membuat perjalanan semakin berwarna, sekali datang ke Indonesia wisman dapat mengunjungi berbagai lokasi menawan dengan ciri khas yang berbeda.
Berbicara tentang pilihan mau berwisata ke Bali atau NTB, bukan bermaksud membandingkan, karena masing-masing destinasi memiliki kelebihan, namun NTB sedikit memiliki kekurangan. Salah satu kekurangan NTB adalah kebersihan lingkungan, masih sering dijumpai sampah yang tidak pada tempatnya atau penduduk yang membuang sampah sembarangan sehingga menimbulkan bau dan merusak pemandangan.
Permasalahan sampah bukan permasalahan NTB saja, hampir seluruh kota di dunia saat ini sedang menghadapi ancaman dampak negatif sampah, bahkan tempat nun jauh di Planet Mars pun telah muncul permasalahan sampah.
Produksi sampah masyarakat tidak dapat seluruhnya diolah oleh tempat pengolahan sampah, mengakibatkan sampah dibuang ke tempat-tempat yang tidak seharusnya seperti selokan, sungai, tempat umum, dan laut. Dalam jangka menengah dan panjang sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan bahkan dapat menjadi sumber bencana.
Biota darat dan laut sebagai sumber makanan penduduk yang tercemar sampah terbukti sangat membahayakan kesehatan. Untuk mengurangi dampak negatif sampah bagi kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat, menurut hemat penulis setidaknya ada tiga hal dapat segera direalisasikan.
Pertama, untuk Indonesia lestari sesegera mungkin, edukasi sampah masuk dalam kurikulum pendidikan kita di setiap level. Sejak dini secara formal anak-anak diajari di sekolah bagaimana mengurangi sampah, memilah sampah dan cara sederhana mengolah sampah.
Menginjak remaja, mereka diedukasi dengan dampak yang ditimbulkan atas kesalahan pembuangan sampah, cara-cara mengolah sampah agar sampah memiliki nilai ekonomi dapat kembali di olah, serta pengenalan beberapa inovasi yang dapat mengurangi jumlah sampah. Sedangkan pada level perguruan tinggi mungkin sudah saat dibuka jurusan khusus pengolahan sampah.
Kedua, perlunya regulasi yang mewajibkan pemilahan sampah organik dan anorganik dari sumbernya atau masyarakat yakni dari keluarga, perkantoran, pasar, rumah sakit, hotel dan restoran.
Pemerintah daerah bersama-sama dengan legislator, NGO yang memiliki perhatian terhadap sampah dan Dinas Lingkungan Hidup segera duduk bersama membuat regulasi yang mewajibkan setiap produsen sampah melakukan pemilahan sampah sebelum sampah diserahkan kepada petugas.
Regulasi harus jelas dan memenuhi rasa keadilan, produsen sampah besar memiliki tanggung jawab yang lebih berat dibanding produsen sampah skala kecil.
Sudah saatnya produsen sampah membayar denda atas ketidakdisiplinannya dalam mengelola sampah di lingkungannya. Apalagi produsen sampah yang nyata-nyata membuang sampah tidak pada tempatnya.
Setiap sudut yang berpotensi menjadi tempat pembuangan sampah, sudah urgen untuk dilengkapi perangkat CCTV pemantau perilaku produsen sampah. Warga kota pantas membayar lebih untuk sampah yang diproduksinya.
Ketiga, yang tidak kalah penting untuk segera diimplementasikan dalam waktu dekat adalah pendirian tempat pengolahan sampah yang representatif dan berkelanjutan.
Khusus di Kota Mataram dan sekitarnya, pembangunan tempat terpadu pengolahan sampah sudah sangat urgen untuk segera direalisasikan. TPA Kebon Kongok dibangun pada 1993, berdasarkan Undang-Udang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Pada akhir 2018, TPA itu berubah status menjadi TPA Regional dan dikelola oleh UPTD TPA Regional Kebon Kongok, DLHK NTB. Pada kondisi normal, rata-rata sampah yang masuk ke TPA ini sekitar 350 ton/hari dan pengurugannya menggunakan sistem controlled landfill.
Kondisi eksisting saat ini di TPA Kebon Kongok aktifitas pengurugan sudah pada level ke-8 dengan status BERBAHAYA, ketinggian 35 m (rawan longsor, manuver kendaraan sulit). Selanjutnya Pengurugannya akan diprediksi berada di level 10 pada akhir 2022, dengan status EXTREME (ketinggian 45 meter, sangat rawan longsor, manuver kendaraan sangat sulit).
Pemerintah Provinsi NTB sudah memulai pengolahan sampah menjadi RDF bekerja sama dengan PT PLN, namun masih dalam kapasitas yang sangat terbatas. Untuk itu, dibutuhkan bantuan dari pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur pengolahan sampah berupa tempat pengolahan sampah terpadu dengan teknologi RDF/SRF supaya jumlah sampah yang diolah bisa jauh lebih besar.
Selama ini, sampah-sampah yang masuk dalam kategori sampah B3 dari rumah sakit masih belum dapat diolah di NTB, pembangunan TPST Kebon Kongok diharapkan dapat menguragi biaya pengiriman dan pengolahan sampah berbahaya keluar daerah NTB.
Pembangunan TPST Kebon Kongok direncanakan menjadi tempat pengolahan sampah yang ramah lingkungan dengan penerapan waste to energy berupa pengolahan sampah organik dan anorganik menjadi pellet melalui Refuse Derived Fuel (RDF)/Solid Recovered Fuel (SRF).
Mendukung Zero Waste 2024 sesuai RPJMN 2020 2024 dan NTB Zero Waste di tahun 2023 Mendorong komitmen dan sinergi lintas sektor, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam mewujudkan Indonesia dan NTB Zero Waste Mewujudkan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan mengurangi volume sampah yang diproses di landfill site sehingga memperpanjang umur TPA.
Upaya mengurangi dampak negatif sampah bagi lingkungan adalah upaya bersama dan wajib didukung oleh seluruh elemen masyarakat.
Masyarakat teredukasi bagaimana memilah dan mengolah sampah, regulator membuat peraturan yang mewajibkan setiap produsen sampah melakukan langkah yang tepat dalam memilah dan membuang sampah, serta pemerintah daerah menyiapkan rencana pembangunan dan pengoperasian tempat pengolahan sampah.
Dengan kesadaran yang terbangun bersama, membuat proses pengolahan sampah yang secara tradisional memiliki konotasi kotor dan bau, hanya dilakukan oleh orang-orang pinggiran, secara bertahap akan menjadi sebuah kegiatan yang memiliki nilai komersial, mendapat tempat yang spesial di masyarakat serta bisa menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang dapat diandalkan.
Jika selama ini pemerintah daerah mengandalkan pajak kendaraan bermotor sebagai penyokong utama pendapatan asli daerah, ke depan dapat digantikan dari pendapatan retribusi dan pengolahan sampah. Hal ini sejalan dengan berkurangnya penggunaan energi fosil dan beralih ke energi ramah lingkungan.
Setiap individu memproduksi sampah, sudah sepantasnya setiap individu memberi kontribusi baik pikiran, tenaga dan finansial terhadap upaya mengurangi dampak negatif sampah bagi lingkungan. Respons yang tepat terhadap tantangan pengolahan sampah akan menjadikan NTB sebagai salah satu tujuan wisata lestari dan menggembirakan, semoga.
Suroto, Kepala Seksi PPA IIC
Kanwil DJPb Provinsi NTB