Pengamat sebut budaya militeristik melekat di Polri

id pembunuhan brigadir j, obstruction of justice, militeristik polri, mabes polri, pengamat kepolisian isess, pengamat bamb

Pengamat sebut budaya militeristik melekat di Polri

Terdakwa kasus "Obstruction of Justice" atau upaya menghalang-halangi suatu proses hukum pada kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, Arif Rachman Arifin tiba untuk menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (3/2/2023). . ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Jakarta (ANTARA) - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menanggapi nota pembelaan Arif Rachman yang mengungkap budaya organisasi Polri mengakar pada rantai komando, sebagai budaya militeristik masih melekat di institusi sipil tersebut.

Bambang saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu, mengatakan apa yang disampaikan oleh Arif Rachman dalam nota pembelaannya jamak terjadi, perintah atasan seolah menjadi harga mati yang harus dilakukan tanpa ada pertimbangan logis.
 

“Artinya kultur militeristik masih melekat di institusi sipil ini. Hubungan komando masih menjadi kebiasaan padahal, sebagai lembaga sipil, ketaatan hanya pada aturan atau SOP bukan hanya pada perintah lisan atasan,” ujar Bambang.

Bambang menyebutkan, meski secara kelembagaan organisasi Polri telah dipisahkan dari TNI sejak 1998, namun budaya militer TNI masih melekat sampai sekarang di kepolisian. Ia menilai reformasi Polri tidak pernah berjalan dengan benar, oleh karena itu budaya militeristik masih terjadi sampai sekarang. “Formasinya masih sama, format aturannya masih militeristik, akibatnya kulturpun masih militeristik,” katanya.
 

Tidak hanya itu, Bambang melihat, Polri memiliki kewenangan besar yang diberikan negara melalui UU No 2 Tahun 2002 sehingga mengakibatkan Koprs Bhayangkara saat ini lebih arogan dibanding saat bergabung dengan ABRI.

Saat masih di dalam ABRI ada kontrol dari Panglima ABRI maupun Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam). “Setelah pemisahan saat ini, Polri di bawah Presiden langsung, akibatnya seperti yang terjadi dan dirasakan masyarakat saat ini,” ujarnya.

Menurut Bambang, negara harus melakukan rasionalisasi terkait kewenangan Polri yang dianggapnya terlalu besar. “Karena negara yang memberi wewenang Polri, negara pulalah yang bisa melakukan rasionalisasi kewenangan Polri yang sudah super besar itu,” paparnya.

Baca juga: Kapolda ingatkan polisi hindari konsumsi minuman beralkohol
Baca juga: Polri perlu lakukan pendekatan progresif soal mahasiswa UI

Untuk merasionalisasi kewenangan Polri itu, cara yang dapat ditempuh, pertama mensegerakan perumusan UU keamanan negara, merevisi UU kepolisian, membentuk nomenklatur (tanda nama) baru kementerian keamanan, dan memperkuat pengawasan eksternal seperti Kompolnas.

Tentunya, kata Bambang, cara ini akan mendapat penolakan dari kepolisian yang ingin mempertahankan status quo, zona nyaman atas kewenangan besar yang dimiliki. Yang menjadi catatannya, apakah negara berani mengambil risiko menghadapi resistensi Polri. Bila tidak berani mengambil risiko melakukan perubahan untuk membatasi kewenangan kepolisian ke depan bisa menjadi blunder bagi negara.

“Beruntung kalau Presiden terpilih memiliki visi negarawan, kalau hanga memiliki visi kekuasaan, kepolisian bisa menjadi alat kekuasaan yang sangat efektif melalui kewenangan yang besar tersebut,” katanya mengingatkan.

Dalam nota pembelaan yang dibacakan Arif Rachman, mantan Wakaden B Romapaminal Divpropam Polri yang kini berstatus terdakwa perintangan penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J (obstruction of justice), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (3/2) menyebutkan, budaya organisasi Polri yang mengakar pada rantai komando, hubungan berjenjang yang disebut relasi kuasa bukan sekedar ungkapan melainkan suatu pola hubungan yang begitu nyata memberikan batasan tegas antara atasan dan bawahan. Arif mengatakan, pola ini yang kadang menyuburkan penyalahgunaan keadaan oleh atas terhadap bawahan, yang rentan penyalahgunaan.