Jakarta (ANTARA) - Sebutan Indonesia sebagai negara maritim yang kaya dan disegani berbagai bangsa di dunia, rasanya bukan sekadar cerita turun-temurun atau isapan jempol. Sedikit bernostalgia, terdapat lagu anak populer berjudul Nenek Moyangku, karya Ibu Sud dengan lantunan lirik yang menyebut nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarungi luas samudera, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa. Sebuah lantunan lagu yang tidak asing bagi banyak orang.
Dari sini pula nenek moyang bangsa Indonesia dikenalkan sejak dini pada tunas-tunas penerus negeri. Terdengar sederhana, namun liriknya memiliki makna mendalam. Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kurang lebih 17.504 pulau dengan panjang garis pantai 108.000 km serta luas total perairan 6.400.000 kilometer persegi.
Adapun total luas darat dan perairan seluas 8.300.000 kilometer persegi. Dengan hamparan seluas itu, rasanya bukan hal yang mustahil jika Indonesia bakal menjadi poros maritim dunia. Cita-cita besar Presiden Jokowi yang ingin mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia sebagaimana dituangkan dalam Tujuh Pilar Rencana Aksi Kebijakan Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKI) 2021-2025 yang terkandung di dalam Peraturan Presiden 34 tahun 2022, di antaranya Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Kemudian Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut; Tata Kelola dan Kelembagaan Laut; Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan dan Peningkatan Kesejahteraan; Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan Lingkungan Laut; Budaya Bahari; dan Diplomasi Maritim.
Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyiapkan sejumlah program untuk menindaklanjuti tugas di sektor kelautan dan perikanan melalui program ekonomi biru (blue economy) yakni memperluas wilayah konservasi dengan target 30 persen, penangkapan ikan terukur (PIT), budidaya ikan ramah lingkungan, penataan ruang laut untuk perlindungan ekosistem pesisir dan laut, serta Bulan Cinta Laut (BCL).
Tambak BUBK
Dengan PR besar yang dibebankan, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono pun bergerak cepat, mengukur potensi yang terkandung di dalam laut Indonesia. Dari sisi budi daya ikan, Trenggono pada awal Maret ini memperkenalkan tambak budi daya udang berbasis kawasan (BUBK) di Kebumen, Jawa Tengah.
Proyek percontohan yang menelan anggaran Rp175 miliar ini memiliki luas 60 hektare yang terdiri atas 149 petak tambak, serta diharapkan mampu menghasilkan udang di atas 40 ton per hektare per tahun. Adapun capaian panen ke depan akan ditingkatkan (best practice) menjadi 80 ton per hektare per tahun dengan menambah padat tebar benih.
Tambak dengan budi daya udang jenis vaname, diyakini pria yang telah berkecimpung sebagai pebisnis ini bakal balik modal dalam jangka waktu 3,5 hingga 4 tahun. “Investasinya sekitar Rp175 miliar dan kami yakin dalam 3,5 tahun, paling lama 4 tahun, sudah bisa kembali lagi sebesar itu, yang kemudian kami bisa gunakan di tempat lain dengan hal yang sama,” ujarnya.
Tambak yang diklaim menggunakan manajemen yang lebih modern dan intensif ini akan menjadi sebuah kawasan terintegrasi alias paket komplet dari sisi pakan hingga industri turunan untuk udang yang dipanen.
Dengan konsep pengembangan terintegrasi dari hulu ke hilir dalam satu kawasan ini, diharapkan target 2 juta ton udang pada 2024 tercapai serta Indonesia akan menjadi juara produksi udang di pasar global dengan nilai yang mencapai 1,9 miliar dolar AS (Desember 2022).
Proyek modelling atau proyek percontohan tambak udang terbesar di Indonesia ini juga diharapkan Presiden Jokowi bakal menjadi desain yang dapat dicontoh di kawasan lain. “Sebentar lagi kita akan mulai 1.800 hektare di Waingapu, NTT. Desain perencanaan sudah selesai dan ini di-copy dibuat di sana,” ujar Jokowi.
Sementara itu, Kabupaten Kebumen dipilih sebagai lokasi modelling karena memiliki air yang cocok untuk budi daya udang serta mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah daerah. Tambak yang mengimplementasikan cara budi daya ikan yang baik (CBIB) ini, diungkapkan Menteri Trenggono memiliki berapa perbedaan mencolok dibandingkan dengan tambak udang tradisional dari sisi penataan kolam hingga pembuangan limbah atau instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) sehingga isu lingkungan tetap diperhatikan. Dilihat dari kolam budi daya, juga memiliki penataan dengan sistem dan alur yang baik.
Air yang berasal dari laut, tepat bersebelahan dengan tambak, kemudian masuk ke ruang tandon, ruang penampungan awal untuk dipastikan kebersihannya, kemudian dialirkan ke kolam budi daya. Kemudian, bibit udang vaname yang ditebar pun dipastikan kesehatannya dan melalui pengecekan untuk memastikan benih sehat dan terbebas dari virus maupun penyakit. Setelah diyakini bibit bersih dan sehat, maka akan dimasukkan ke kolam tendon sebelum masuk ke kolam budi daya (petak). Pengecekan berlapis pun kembali dilakukan untuk air kolam.
Proses pemberian pakan udang pun turut diperhatikan sehingga tidak ada udang yang kuntet atau tidak berkembang dengan maksimal. Selanjutnya, air limbah atau kotoran dari tambak ini bakal ditampung untuk selanjutnya diproses menjadi pupuk dan beragam produk lain.
Menurut Trenggono, tambak udang tradisional memiliki kecenderungan abai atau tidak memikirkan pengecekan terhadap air, kesehatan, dan pakan. Padahal, udang merupakan hewan budi daya yang rawan penyakit dan virus sehingga berpengaruh pada capaian hasil panen.
Baca juga: Program udang vaname Nusa Dewa tunjukkan progres baik
Baca juga: Investor Malaysia menjajaki ekspor budidaya udang dari Sumbawa
Dengan ikhtiar ini, pihaknya secara tegas dan optimistis pada 2026-2027 produksi udang dalam negeri akan stabil dan tidak akan lagi ditolak di pasar Eropa. “Insya Allah ini kita menuju pada industrialisasi udang nasional yang memiliki kualifikasi baik,” ujarnya.
Serap tenaga lokal
Dengan upaya yang maksimal dan memperhatikan berbagai sisinya, termasuk mengutamakan manfaat bagi masyarakat. Trenggono mengungkapkan tambak BUBK ini memberdayakan dan menyerap tenaga kerja sekitar lokasi.
Adapun sebanyak 152 pegawai dipekerjakan di tambak ini dengan dibekali pelatihan beragam, sesuai unit penempatan dengan durasi 2 minggu hingga 2 bulan, tergantung kebutuhan unit pelaksana teknis (UPT) yang berjumlah 15 UPT.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan Tb. Haeru Rahayu pun menjelaskan ke depannya bakal menyerap lebih banyak tenaga sekitar. Dari lahan seluas 100 hektare ini, saat ini baru termanfaatkan 60 hektare sehingga 40 hektare sisa lahan yang akan dikembangkan lebih jauh diperkirakan akan menyerap 40-50 tenaga kerja.
Adapun para pekerja berasal dari tiga desa yakni Tegalwetno, Jokosimo, dan Karang Gadung. Mereka digaji sesuai upah minimum regional (UMR) atau sekitar Rp2 jutaan serta difasilitasi BPJS Tenaga Kerja, dan untuk BPJS Kesehatan tengah diupayakan dengan instansi terkait.