Sekolah ala "Berugaq" di Batu Layar

id Batu Layar

Sekolah ala "Berugaq" di Batu Layar

Kegiatan belajar di berugaq (Ist)

Setiap Minggu, kami rutin melakukan kegiatan bersih-bersih pantai Batu Layar supaya menjadi objek wisata yang menarik. Kalau pantai penuh sampah, siapa yang mau datang?
Tingginya anak-anak muda putus sekolah di kawasan Dusun Batu Bolong, Desa Batu Layar Barat, Kabupaten Lombok Barat, mencuatkan ide bagi pasangan Samidi dan Quratun Aini untuk mendirikan sekolah informal yang bertempat di sebuah "berugaq".

Berugaq merupakan bale-bale berupa bangunan panggung terbuka yang umumnya terbuat dari kayu dan beratap ilalang. Ketiadaan modal untuk mendirikan bangunan yang memadai, membuat Samidi memilih mendirikan tempat belajar di berugaq yang terletak di halaman rumahnya. Pada sisi barat berugaq, terlihat beberapa rumah penduduk yang berada di lereng bukit Batu Layar, serta hamparan tanaman liar yang tumbuh menghijau ketika musim hujan tiba.

"Sebagai kegiatan rintisan, saya dan istri mendirikan pendidikan anak usia dini (PAUD) pada tahun 2010. Pendidikan ini kami dirikan karena prihatin melihat ketiadaan PAUD di dusun kami, dan sesuai `background` istri sebagai guru sekolah setara taman kanak-kanak. Selain itu, angka putus sekolah di Dusun Batu Bolong, Kecamatan Batu Layar, tergolong tinggi," ujar Samidi, yang sehari-hari bekerja pada program PNPM di Kecamatan Batu Layar.

Lelaki berusia 32 tahun ini menyatakan, tingginya angka anak putus sekolah, karena mayoritas warga usia produktif di Dusun Batu Bolong bekerja sebagai buruh, sehingga tergolong sebagai warga berekonomi lemah. Entah bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, atau bekerja serabutan sesuai suruhan orang. Belakangan, sebagian warga memutuskan bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagai upaya untuk memperbaiki nasib.

Terdorong rasa iba atas nasib anak-anak putus sekolah ini, Samidi mencetuskan gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan informal yang belajar di berugaq, untuk membebaskan warga dari buta aksara. Ide Samidi bersambut dengan baik, tatkala anak-anak hingga remaja bersemangat mendaftar diri sebagai peserta sekolah berugaq. Barangkali hal ini dikarenakan sekolah tidak ditemukan di Dusun Batu Bolong, sehingga banyak yang tergerak ingin mengikutinya. Usia yang mengikuti sekolah itu bervariasi, mulai dari 7 - 16 tahun.

Metode pembelajaran yang diterapkan Samidi tidak seperti sekolah pada umumnya, di mana siswa hanya duduk dan mendengarkan penjelasan guru. Pada sekolah berugaq itu, Samidi sengaja mendekatkan siswa untuk lebih banyak berinteraksi dengan alam lingkungan di wilayah dusun.

Ketika sedang belajar, siswa tidak hanya duduk pasif di berugaq, melainkan juga diajak berkeliling ke ladang atau kebun dan mengenali berbagai jenis tanaman dan satwa yang sedang beterbangan di antara beragam tanaman liar.

Kegiatan ini dilakukan untuk mengasah kepekaan siswa terhadap lingkungan, sehingga menjadi terpanggil batinnya supaya mau berkontribusi menjaga bumi. Ke depannya, siswa diharapkan selalu berperan aktif menjaga pelestarian alam agar lingkungan terhindar dari kerusakan.

"Setiap Minggu, kami rutin melakukan kegiatan bersih-bersih pantai Batu Layar supaya menjadi objek wisata yang menarik. Kalau pantai penuh sampah, siapa yang mau datang?" katanya dengan nada tanya.

Alur sampah di Batu Layar pun dipelajari Samidi bersama Komunitas Pemuda Peduli Lingkungan (KPPL). Ketika melihat sampah plastik tidak henti mengotori kawasan pantai, KPPL melakukan penelitian hingga akhirnya menemukan sungai yang melintasi kawasan Batu Layar, yang melewati perumahan yang dihuni para ekspatriat, banyak ditimbuni sampah. Keberadaan sungai penuh sampah ini disebabkan penghuni perumahan membuang sampah secara sembarangan.

"Kami akhirnya mengadakan pertemuan dengan para ekspatriat. Setelah kami beri penjelasan tentang nilai positif menjaga lingkungan dari kotoran sampah plastik, kini mereka mulai aktif menjaga kebersihan di lingkungan perumahan yang mereka tempati. Syukur, pantai kini bersih dari sampah, khususnya dari plastik," ujarnya.

Keselarasan tujuan antara membebaskan warga dari buta aksara dan mendekatkan masyarakat dengan lingkungan, sesungguhnya merupakan titik tujuan di balik didirikannya sekolah berugaq oleh Samidi dan Quratun Aini.


                                                                     Belajar Wirausaha

"Niat untuk membebaskan warga dari buta aksara ini sangat tertanam di hati saya. Namun, kendalanya masih belum ada gedung yang layak untuk anak-anak yang giat belajar ini. Jadi masih begitu-begitu saja, belajar di berugaq," kata Samidi.

Dia melanjutkan, sebagai upaya pembekalan bagi masa depan anak-anak muda di dusunnya, Samidi sengaja mengagendakan pembelajaran wirausaha. Salah satu kegiatan yang telah dilakukan adalah menyediakan beras bagi warga, mengingat dusun itu bukanlah penghasil padi. Beras itu dapat dibeli pada awal bulan, namun dibayar pada akhir bulan. Kegiatan ini menarik minat masyarakat, sehingga pesanan beras pun bertubi-tubi datang. Sayangnya, karena keterbatasan modal, usaha ini tidak melaju maksimal.

Wirausaha lain yang dilakukan Samidi adalah mencoba mengajarkan pembuatan pupuk kompos dengan menggandeng `volunteer` dari Jepang. Kegiatan ini sangat diminati anak-anak muda, sehingga langsung dipraktikkan dan pupuk kompos hasil praktik pun ditaburkan ke beberapa tanaman penghijauan di sekitar dusun.

Samidi pun memiliki harapan supaya anak-anak muda mulai memilah sampah plastik karena mempunyai nilai ekonomis. Lelaki ini sedang berupaya melakukan kerja sama dengan pihak terkait, yang dapat mengajarkan anak-anak muda supaya bisa memiliki kemampuan untuk mengolah sampah plastik menjadi produk yang bermanfaat. Seperti untuk membuat tas, taplak meja, bunga, hiasan dinding dan produk lainnya yang dapat mendatangkan manfaat secara materi bagi warga.

"Kalau warga sudah bebas dari buta aksara dan mempunyai keterampilan, tentu siap untuk menjadi masyarakat yang mandiri. Moga-moga ini dapat tercapai," kata Samidi.

*) Penulis buku dan artikel