Gubernur NTB digugat karena wanprestasi terkait keamanan investasi di Trawangan

id investasi sektor pariwisata, Gubernur NTB, Pemprov,Gubernur NTB digugat

Gubernur NTB digugat karena wanprestasi terkait keamanan investasi di Trawangan

Dr. Asmuni, kuasa hukum Maritha Caroline penggugat Gubernur NTB menunjukkan surat perjanjian pemanfaatan lahan seluas 750.000 meter persegi milik pemprov yang berada di kawasan bekas pemanfaatan PT GTI di Mataram, Kamis (18/1/2024). (ANTARA/Dhimas B.P.)

Iya, penggugatnya Maritha Caroline dengan tergugat Gubernur NTB
Mataram (ANTARA) - Seorang investor bernama Maritha Caroline menggugat secara perdata Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat yang melakukan wanprestasi terkait jaminan keamanan sesuai yang tertuang dalam perjanjian pemanfaatan lahan milik pemerintah provinsi di kawasan Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Kamis, membenarkan adanya gugatan tersebut masuk ke Pengadilan Negeri Mataram dengan perkara nomor: 1/Pdt.G/2024/PN Mtr.

"Iya, penggugatnya Maritha Caroline dengan tergugat Gubernur NTB," kata Kelik.

Dr. Asmuni, kuasa hukum penggugat Maritha Caroline menjelaskan bahwa kliennya menempuh jalur hukum ini agar mendapatkan haknya sesuai perjanjian pemanfaatan lahan bekas kawasan PT Gili Trawangan Indah (GTI) Nomor: 900/217.6F/BKAD/2022, tertanggal 12 September 2022 dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB.

Baca juga: Gubernur NTB meminta pelayanan wisatawan Gili Tramena menjadi prioritas

Hak yang menjadi materi pokok gugatan berkaitan dengan klausul yang mewajibkan Gubernur NTB sebagai pihak pertama memberikan jaminan keamanan berinvestasi terhadap pihak kedua, dalam hal ini Maritha Caroline.

"Jadi, klien kami ini sudah melakukan perjanjian pemanfaatan di atas tanah sebagian HPL (hak pengelolaan lahan) milik pemerintah. Di sana ada klausul yang menyatakan bahwa investor ini dijamin keamanannya dalam berinvestasi, tetapi sampai saat ini tidak ada diberikan jaminan keamanan," ujar Asmuni.

Dengan tidak mendapatkan hak jaminan keamanan, jelas dia, kliennya hingga kini tidak bisa menempati lahan dan menjalankan rencana usaha di sektor pariwisata.

"Jadi, klien kami di sini tidak bisa bekerja dengan tenang, dengan nyaman, karena diganggu pihak ketiga yang merasa sudah menempati lahan itu turun temurun. Dengan alasan seperti itu, dia (pihak ketiga) juga merasa punya hak di atas lahan itu," katanya.

Baca juga: Penutupan tempat usaha di Gili Trawangan dampak wanprestasi WNA

Dengan menerangkan kondisi demikian, Asmuni mengatakan kliennya sempat menuntut hak dari pemanfaatan lahan seluas 750.000 meter persegi tersebut kepada Pemprov NTB.

"Jadi, kami sudah minta ke pemprov. Di sana 'kan ada fungsi forkopimda, polda juga jadi bagian. Paling tidak, melalui forkopimda pemprov bisa berkoordinasi atau mendesak polda untuk bisa menyelesaikan permasalahan ini, mungkin dengan cara mediasi antara masyarakat dan pemprov," ujar dia.

Namun, pihak pemprov menanggapi dengan menyarankan kliennya untuk membuat laporan kepada kepolisian. "Tetapi, sampai sekarang laporan yang masuk ke Polda NTB ini belum juga ada proses yang berjalan," ucap Asmuni.

Dia menyayangkan sikap pemprov dengan memberi tanggapan demikian. Seharusnya, kata dia, apabila ada persoalan seperti ini, pemprov langsung mengambil sikap tegas mengingat investasi di sektor pariwisata menjadi salah satu pintu masuk pendapatan daerah paling besar.

"Terus apa manfaat dari perjanjian ini? Apa untung dari perjanjian ini? Yang ada hanya merugikan klien kami dan menguntungkan pemda. Ini baru satu, biar tahu sebenarnya banyak masalah seperti ini, dan pemda harus cepat ambil sikap, jangan dibiarkan karena akan berdampak besar bagi iklim investasi pariwisata di NTB," ujarnya.

Dia turut mengharapkan kepada Penjabat Gubernur NTB Lalu Gita Ariadi sebagai kepala daerah agar memperhatikan persoalan ini. Menurut dia, persoalan ini dapat terselesaikan apabila Pj. Gubernur NTB yang turun lapangan.

"Kalau Pj. Gubernur NTB 'turun gunung', kami sangat apresiasi sekali. Tetapi, kalau enggak bisa lakukan itu, tidak ada tanggapan, kami pun akan bersurat resmi ke Presiden agar mencopot Pj. Gubernur NTB dari jabatannya," kata Asmuni.

Baca juga: Tempat pengolahan sampah di Gili Trawangan Lombok terbakar

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa dalam gugatan secara perdata ini kliennya meminta ganti rugi senilai Rp12 miliar. Kerugian itu muncul dari segi materil dan imateril.

"Secara materil bisa kami buktikan, kerugian nyatanya itu Rp2,5 miliar. Untuk imateril ini yang cukup besar, karena itu berkaitan dengan psikologis klien kami. Bahkan, anak dari klien kami mengalami trauma karena mendapat ancaman, sampai takut balik ke Trawangan," ujarnya.

Kepala Biro Hukum Pemprov NTB Lalu Rudy Gunawan sebagai kuasa hukum dari pihak tergugat mengatakan pihaknya tidak hadir dalam agenda sidang perdana pada 16 Januari 2024 di Pengadilan Negeri Mataram karena terlambat menerima surat pemberitahuan dari pengadilan.

"Tetapi, hal itu tidak menjadi masalah, karena baru sidang pertama (tahap mediasi), dan kami sudah menerima informasi dari pengadilan bahwa sidang berikutnya akan digelar 23 Januari 2024, dan kami pastikan akan hadir. Kami juga sudah menyiapkan SKK (surat kuasa khusus) untuk tim kuasa hukum Biro Hukum Pemprov NTB," kata Rudy.