Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat berencana mengembalikan persoalan penempatan lahan eks pengelolaan PT Gili Trawangan Indah (GTI) seluas 65 hektare di kawasan wisata Gili Trawangan ke pemerintah daerah.
"Untuk persoalan penempatan lahan eks GTI ini kami mau proses menyerahkan ke Pemprov NTB. Apakah nantinya mau diserahkan ke Polda NTB atau pemprov sendiri yang langsung berkontrak dengan para pihak? Itu pemprov yang tentukan," kata Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Selasa.
Persoalan penempatan lahan eks pengelolaan GTI ini terjadi pasca Pemprov NTB memutus kontrak kerja sama pemanfaatan lahan dengan PT GTI pada medio September 2021.
Sejak pemutusan kontrak tersebut, lahan seluas 65 hektare itu kembali menjadi milik Pemprov NTB dengan status hak pengelolaan (HPL).
Baca juga: Kejati NTB serahkan kasus dugaan pungli sewa lahan GTI ke kepolisian
Baca juga: Kejati NTB menggandeng BPKP audit kerugian perkara korupsi aset Trawangan
Dengan status lahan demikian, pemprov membuka ruang kepada masyarakat maupun investor yang telah menempati lahan seluas 65 hektare sejak GTI berkontrak dengan Pemprov NTB pada tahun 1998 itu untuk mendapatkan legalitas berupa hak guna bangunan (HGB) dalam berusaha.
Ada sejumlah syarat yang ditetapkan pemerintah agar masyarakat maupun investor bisa mendapat HGB. Salah satunya, bersedia menyetorkan iuran pajak ke pemerintah dengan nominal Rp15 juta per tahun.
Seiring berjalannya kebijakan tersebut, timbul gejolak di tengah lahan 65 hektare eks PT GTI, antara masyarakat yang sebelumnya membuat kesepakatan kerja sama dengan para investor.
Gejolak itu berkaitan dengan kesadaran investor yang kini telah beralih membangun kerja sama pengelolaan lahan dengan pemprov. Mereka mendapatkan HGB untuk membangun usaha di lahan eks PT GTI.
Baca juga: Kejaksaan: Penyidikan korupsi aset Gili Trawangan terus berjalan
Baca juga: Harga sewa kaveling di areal GTI Rp1 miliar per tahun
Namun, pada proses perjalanan, banyak investor yang tidak mulus menjalankan usaha, meskipun telah mengantongi HGB dari pemprov.
Mereka berhadapan dengan masyarakat setempat yang masih berpatokan dengan kesepakatan kerja sama sebelum adanya pemutusan kontrak Pemprov NTB dengan PT GTI.
Dia tidak memungkiri bahwa pihaknya sudah melakukan kajian terhadap persoalan yang muncul dengan turut melibatkan ahli audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.
Menurut hasil kajian, adanya kesepakatan dengan objek berupa lahan yang kini telah kembali menjadi HPL Pemprov NTB itu sudah masuk ke ranah pidana.
"Transaksi-transaksi di atas lahan itu 'kan potensi (pelanggaran hukum), dan itu pidana umum, penyerobotan tanah itu, karena itu lahan milik pemprov," ujar dia.
Dengan menyampaikan hal demikian, pihaknya menyimpulkan bahwa persoalan tersebut tidak masuk ke ranah tindak pidana korupsi, mengingat objek lahan masih berada di bawah kendali Pemprov NTB.
"Itu makanya kenapa kami berencana kembalikan ke pemprov. Biar pemprov yang nantinya menentukan, apakah memberikan HGB ke masyarakat atau melanjutkan ke proses hukum pidana hukum," ucapnya.
Baca juga: Kejati NTB menangani laporan dugaan pungli aset di Gili Trawangan
Baca juga: Menteri Bahlil menyerahkan SK pemutusan kontrak GTI kepada Gubernur NTB