Terungkapnya belang Lutfi sang kepala daerah dari Dana Mbojo

id mantan wali kota bima,Muhammad Lutfi ,korupsi,Dana Mbojo,KPK Oleh Dhimas Budi Pratama

Terungkapnya belang Lutfi sang kepala daerah dari Dana Mbojo

Terdakwa selaku mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi menjalani sidang dakwaan kasus dugaan korupsi dan gratifikasi dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa pada lingkup kerja Pemkot Bima di Pengadilan Tipikor, Mataram, NTB, Senin (22/1/2024). (ANTARA FOTO/Dhimas Budi Pratama/sgd/foc.)

Mataram (ANTARA) - Pada 5 Oktober 2023, dari Gedung Merah Putih di Jakarta Selatan, Firli Bahuri kala itu masih menjabat  Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi sebagai tersangka.

Pengumuman di hari Kamis itu digelar melalui konferensi pers, Firli tampil ke hadapan media massa bersama Ali Fikri dan penyidik dengan menunjukkan Lutfi berompi tahanan KPK.

Sontak, momentum itu menjadi lara bagi sebagian besar warga Kota Bima. KPK mengukir sejarah baru tentang korupsi kepala daerah dari Dana Mbojo, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat.

Bagi sebagian pengamat, penetapan ini bak tamparan keras bagi sosok politisi yang punya pengaruh besar di daerah. Apalagi, pada waktu itu, Lutfi tercatat baru 9 hari mengakhiri jabatan sebagai Wali Kota Bima.

Iya, Lutfi menjabat lima tahun sebagai kepala daerah Kota Bima terhitung sejak 26 September 2018 hingga 26 September 2023. Dia pun tercatat pernah mendapat kepercayaan dari masyarakat selama dua periode duduk di kursi legislatif pada kompleks parlemen di kawasan Senayan, Jakarta Selatan.

Dalam konferensi pers, Firli menyatakan penyidik telah menemukan sedikitnya dua alat bukti untuk menetapkan Lutfi sebagai tersangka.

Alat bukti yang menguatkan, berkaitan dengan hasil penyidikan. Sebagai kepala daerah, Lutfi diduga menggunakan kuasanya mengatur dan menentukan pemenang proyek pengadaan barang dan jasa di lingkup kerja Pemerintah Kota Bima.

Atas pengaturan itu, KPK dengan dukungan auditor menemukan adanya dugaan penerimaan suap dalam jabatan senilai Rp8,6 miliar. Lutfi diduga menerimanya dari para pemenang proyek.

Proyek yang diduga menjadi sumber pendapatan gelap Lutfi, sebagian besar bergulir di Dinas PUPR dan BPBD di Kota Bima. Keduanya masuk dalam berkas penyidikan.

Pada akhir pengumuman, Firli menyampaikan bahwa penyidik melanjutkan penetapan tersangka Lutfi ke proses penahanan.

Karena itu, terhitung sejak 5 Oktober 2023, Lutfi resmi menjalani penahanan penyidik di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK.


Pemufakatan Jahat

Dugaan yang dituduhkan kepada Lutfi sebenarnya berpotensi dalam setiap jabatan di lingkup kerja pemerintahan. Apalagi, jabatan seorang kepala daerah yang sudah tentu punya pengaruh besar dalam menjalankan roda pemerintahan.

Kabar angin yang menghembuskan nuansa politis, kala itu kental dalam penetapan Lutfi sebagai tersangka. Kasus korupsi ini santer tersiar datang dari kerabat politik Lutfi saat maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah tahun 2018.

Namun, kabar angin itu telah ditepis pihak KPK dengan menunjukkan kesungguhan dalam menuntaskan penyidikan. KPK melimpahkan berkas perkara milik Lutfi ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Senin (15/1).

Bahkan, sepekan kemudian penuntut umum dari KPK secara gamblang menguraikan perbuatan korupsi Lutfi dalam agenda pembacaan dakwaan pada gelaran sidang perdana.

Sidang tersebut dipimpin Ketua Pengadilan Negeri Mataran Putu Gde Hariadi dengan hakim anggota Agung Prasetyo dan Djoko Soepriyono.

Penuntut umum dalam dakwaan mengungkapkan bahwa Lutfi adalah pemeran utama dari pengaturan dan penentuan pemenang proyek yang bergulir semasa menjabat sebagai kepala daerah.

Dengan menyebut demikian, penuntut umum mengungkapkan adanya keterlibatan orang lain. Lutfi didakwa tidak menjalankan perbuatan korupsi seorang diri, melainkan secara bersama-sama.

Mereka yang terlibat, bukan hanya dari kalangan pejabat, ada pula orang dekat, yakni Eliya alias Umi Eli, istri Lutfi dan Muhammad Makdis alias Dedi, adik ipar Lutfi.

Untuk kalangan pejabat yang terlibat, pertama terungkap nama Muhammad Amin, Kepala Dinas PUPR Kota Bima. Kemudian, Iskandar Zulkarnain, Kepala Bagian Lembaga Pengadaan Barang dan Jasa (LPBJ) Pemkot Bima yang menjabat periode 2019-2020.

Selanjutnya, pengganti Iskandar Zulkarnain sebagai Kepala LPBJ Pemkot Bima periode 2021-2022, Agus Salim, dan pejabat lain bernama Fahad, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUPR Kota Bima.

Dengan peran berbeda, penuntut umum menemukan adanya pemufakatan jahat dalam pengaturan dan penentuan pemenang proyek. Semua berada di bawah kendali Lutfi sebagai kepala daerah.

Jejak perbuatan korupsi itu pun banyak terekam dalam pertemuan di kediaman pribadi Lutfi yang dijadikan rumah dinas Wali Kota Bima di jalan Gajah Mada, Kelurahan Rabadompu Barat, Kecamatan Raba.

Dalam dakwaan, penuntut umum turut mengungkap proyek-proyek yang diduga menjadi objek pengaturan. Sedikitnya, ada 22 proyek periode 2018-2022 dengan nilai ratusan juta hingga belasan miliar berjalan tidak sesuai aturan akibat campur tangan Lutfi bersama kroninya.

Sebagian besar proyek terungkap dijalankan oleh adik ipar Lutfi, Muhammad Makdis menggunakan perusahaan bernama PT Risala Jaya Konstruksi dan pinjam bendera perusahaan lain.

Ada juga proyek yang terungkap diberikan kepada mantan tim sukses Lutfi saat kontestasi politik pemilihan Wali Kota Bima periode 2018-2023.


Tangan Kanan

Sebagai seorang istri kepala daerah, sudah sepatutnya mendukung tugas suami. Sosok ini ternyata dijalankan Eliya layaknya "tangan kanan" Lutfi dalam mengatur dan menentukan pemenang proyek.

Semasa tinggal bersama Lutfi di rumah dinas, penuntut umum dalam dakwaan menyampaikan bahwa Eliya kerap membantu suaminya melakukan eksekusi "uang panas" hasil pemenangan proyek.

Salah satunya, terkait pekerjaan pelebaran jalan Nungga Toloweri Cs pada Bidang Bina Marga Dinas PUPR Kota Bima tahun 2019 dengan nilai kontrak Rp6,71 miliar. Pelaksana proyeknya, PT Risala Jaya Konstruksi dengan kepala cabang Muhammad Makdis, adik ipar Lutfi.

Dari uraian dakwaan, setidaknya terungkap Eliya pernah tiga kali menerima "uang panas" secara berkala dari pencairan termin pertama proyek pelebaran jalan senilai Rp2,76 miliar. Itu pada 1 November 2019.

Penerimaan pertama, penuntut umum mencatat pada tanggal 5 November 2019, adanya pencairan Rp1 miliar oleh Rohficho Alfiansyah dari rekening PT Risala Jaya Konstruksi. Atas perintah istri Muhammad Makdis, Nafilah, uang tersebut diminta dibawa ke rumah dinas Wali Kota Bima.

Saat itu, orang suruhan Nafilah bertemu dengan Eliya yang kemudian memerintahkan agar uang tersebut disetorkan ke rekening lain dari PT Risala Jaya Konstruksi. Rekening itu terungkap dalam dakwaan, berada di bawah kendali dan kuasa Eliya.

Selanjutnya, pada 6 November 2019. Kembali Rohficho Alfiansyah melakukan penarikan tunai sebesar Rp350 juta dari rekening PT Risala Jaya Konstruksi.

Uang tersebut diminta Nafilah untuk dibelikan perhiasan. Selanjutnya, perhiasan yang berasal dari pencairan termin proyek itu dibawa dan diberikan kepada Eliya di rumah dinas Wali Kota Bima.

Terakhir, tanggal 11 November 2019. Penarikan tunai dari uang termin proyek kembali dilakukan sebesar Rp500 juta oleh Rohficho Alfiansyah.

Kala itu, Lutfi meminta langsung kepada Rohficho Alfiansyah untuk menyetorkan ke rekening lain PT Risala Jaya Konstruksi yang berada di bawah kendali Eliya.

Selanjutnya, Lutfi menghubungi adik iparnya, Muhammad Makdis agar mengeluarkan cek senilai Rp500 juta. Hal itu diminta untuk pembelian satu unit mobil Toyota Vios sebagai hadiah ulang tahun Eliya.

Dengan menguraikan hal tersebut dalam dakwaan, penuntut umum menyatakan total keseluruhan dari "uang panas" sebesar Rp1,95 miliar sebagai nilai suap yang diterima Lutfi.

Atas penerimaan tanpa alas hak yang sah menurut hukum, Lutfi sebagai penyelenggara negara disebut juga dalam dakwaan tidak pernah melaporkan hal itu kepada KPK sampai batas waktu 30 hari sesuai ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan uraian dakwaan demikian, penuntut umum menyatakan perbuatan Lutfi bersama Eliya menerima uang senilai Rp1,95 miliar telah berlawanan dengan kewajiban sebagai penyelenggara negara.

Sehingga, penuntut umum mendakwa Lutfi dalam dua dakwaan alternatif. Pertama, atas perbuatan Lutfi mengatur dan menentukan pemenang proyek. Penuntut umum mendakwa Lutfi melanggar Pasal 12 huruf i juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Kedua, atas perbuatan Lutfi bersama-sama dengan Eliya menerima "uang panas" senilai Rp1,95 miliar. Penuntut umum mendakwa Lutfi dengan Pasal Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.


Baca juga: KPK titip penahanan mantan Wali Kota Bima di Lapas Kelas II Lombok Barat
Baca juga: Ini peran Wali Kota Bima dalam perkara gratifikasi proyek
Baca juga: KPK hadirkan lima saksi pada sidang korupsi mantan Wali Kota Bima
Baca juga: Mantan Wali Kota Bima minta hakim Tipikor hadirkan 92 saksi