Santri dan Resolusi Jihad Santri dalam lintasan literatur sejarah

id santri,resolusi jihad,literatur sejarah,hari santri Oleh Fahrurrozi *)

Santri dan Resolusi Jihad Santri dalam lintasan literatur sejarah

Direktur Pascasarjana UIN Mataram/Guru Besar UIN Mataram, Fahrurrozi (ANTARA/HO-Dok. Fahrurrozi)

Mataram (ANTARA) - Revolusi Islam Indonesia adalah revolusi dalam dua pengertian. Pertama: Dalam memandang peran kemerdekaan, kaum santri yang berjuang melawan Belanda memahami ini sebagai perjuangan untuk tujuan-tujuan Islam dan mengorganisasi diri dengan cara-cara Islam. Jadi, perubahan negara yang terjadi melalui perjuangan militer memiliki cita rasa islami bagi sebagian partisipan yang lumayan besar [antara seperempat sampai setengah rakyat Indonesia, jika merujuk data tentang kaum santri tahun 1950-an]. [Kevin. W. Fogg, Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia, Jakarta: Naora Books PT Mizan Publika, 2020, Cet. 1, Nov. H. 21].

Kedua, dalam memandang revolusi politik dengan berdirinya sebuah negara baru, ada transformasi-transformasi fundamental dalam hal Islam mempengaruhi politik dan dalam hal politik memengaruhi kehidupan Islam. Transformasi-transformasi ini menyebabkan sebuah revolusi dalam praktek dan pemahaman Islam di Indonesia, mengondisikan struktur-struktur untuk menerapkan ortodoksi yang didefinisikan negara, mendahulukan non-ulama sebagai pemimpin politik untuk masyarakat muslim, dan memecah kesatuan politik santri. Para pemimpin kaum santri yang terkemuka dalam revolusi politik juga menganut pemahaman Islam yang berbeda dengan kaum santri yang terlibat di tingkat akar rumput: Mereka menekankan rasionalitas dan modernitas. [Kevin. W. Fogg. h. 22].

Ada banyak literatur yang membahas tentang Revolusi Santri  Indonesia. 
M. C. Ricklefs, Polarizing Javanase Society: Islamic and Other Visions [c. 1830-1930], [Honolulu: University of Hawai'i, 2007]. h. 49.
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indosesia Since c. 1200, 4th ed [Stanford CA: Stanford University Press, 2008). 
Lynn. L. Thomas and Franz von Benda-Beckmann, eds, Change and Continuity in Minangkabau: Local,  Regional, and Historical Perspectives on West Sumatera. 
Anthoy Reid, The Indonesian National Revolution, 1945-1950 [Westport.CT: Greenwood Press, 1986. 
C.A. O. Van Nieuwenhuize, Islam in Period of Transition in Indonesia, dalam Aspects of Islam in Post -Colonial Indonesia, 82. 
Benedict R. O'G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Jakarta: Equinox Publishing, 2006[1999], 152-193. 
Amiq, Two Fatwas on Jihad Against the Dutch Colonuzation in Indonesia, 104. 
Koesnodiprodjo, Himpunan Undang2, Peraturan2, Penetapan2 Pemerintah Republik Indonesia 1945 (Jakarta: S.K. Seno, 1951]. 60. 
John Foran, Taking Power: On the Originis of Third World Revelotions, [Cambrigde: Cambridge University Press, 2005].
Jack A. Goldstone, ‘Toward a Fourth Generation of Revolutionary Theory’, Annual Review of Political Science 4 (2001), 141-154-156. 

Reynaldo C. Ileto, History and Criticism 

Fatwa-Fatwa Awal Revolusi Jihad Santri

Fatwa besar pertama yang diterbitkan adalah yang diputuskan tanggal 15 Oktober 1945, di Aceh. Dikeluarkan oleh pemerintahan sipil baru Aceh, teks dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin itu mengumumkan akhir perang Dunia II dan memperingatkan bahaya rekolonialisasi Belanda: 
Mereka akan memperboedakkan rakjat Indonesia mendjadi hambanja kembali dan mendjalankan oesaha oentoek menghapoes Agama Islam kita jang soetji serta menindis dan menghambat kemoeliaan dan kemakmoeran bangsa Indonesia..Maka pertjajalah wahai bangsakoe, bahwa perjoeangan dahoeloe di Atjeh jang dipimpin oleh Almarhoem Tgk. Tjhi' di Tiro dan pahlawan2 kebangsaan lain. Dari sebab itoe, bangoenlah wahai bangsakoe sekalian bersatoe padoe menjoesoen bahoe mengangkat langkah madjoe kemoeka oentoek mengikoet djedjak perdjoengan nenek kita dahoeleo. Toenduklah dengan patoeh akan segala perintah2 pemimpin kita oentoek keselamatan Tanah Air, Agama, dan Bangsa. [Arsip Provinsi Aceh, Koleksi Karesidenan Aceh 1945-49 dan 1951-52, #217. 

Dokumen ini ditandatangani oleh empat ulama sepuh dari beberapa wilayah di Aceh, dan disetujui oleh pemerintah sipil pada hari itu. 
Fatwa ini sejalan dengan proklamasi provinsi lain-lainnya- dalam hal ini perintah dari pemerintah, bukan perintah keagamaan- yang dikeluarkan di Aceh. Dalam proklamasi itu, Tuanku Mahmud, Kepala Cabang regional pemerintahan baru Indonesia, menyerukan hubungan-hubungan damai antarsesama agama dan kemakmuran untuk semua.
Fatwa kedua: Ditulis dalam bahasa Jawi [bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab], bahasa pelajaran guru-guru Islam. Fatwa ini mungkin dikeluarkan oleh para ulama Islam Aceh, yang dibacakan pada khutbah Jumat dan diajarkan di sekolah-sekolah Islam. Tapi naskahnya tak akan terjangkau oleh banyak birokrat pemerintah dan para pemimpin berhaluan sekuler. Fatwa Jawi ini dikeluarkan dari tempat yang sama, dengan tanggal yang sama, tapi dengan pesan secara terang-terangan lebih religius: 

Bismillah Nasihat kepada sekalian Muslimin. Alhamdulilah....Diharap kepada sekalian saudara Muslimin bahwa sekalian kita bersambung dengan nikmat Allah yaitu kemerdekaan negeri kita Indonesia. Hendaklah sekalian kita memberi Syukur kepada Allah atas nikmat....dan lain-lain pun hendaklah kita berapit-apit bersama-sama atas  menghampiran Tentara Mujahid bahwa berkat Agama Allah dan meninggi kalimat Allah dan mengukuh aturan Islam [ayat-ayat] Wajiblah atas kita bersambung-sambung atas melawan musuh Allah dan musuh Rasul dan mengikut....Muslimin jangan mengikut penjajah Kafir atau yang miring kepada mereka itu yang hendak menjajah kembali Indonesia, wajiblah atas kita kasih dan jinak kepada Allah dan Rasulnya dan hendaklah kamu mengorbankan jiwa dan harta-harta kita pada menulang agama Allah dan kerajaan yang sah. 
[Koleksi Karisedinan Aceh 1945-49 dan 1951-52,#217]. [Kevin. W. Fogg, Spirit Islam pada masa Revolusi Indonesia, h. 106. ]

Fatwa berikutnya: melalui seruan ayat-ayat al-Quran, penggambaran bahaya Belanda dalam terminologi Islam [bahasa Arab, bukan Sangsekerta, terutama menggunakan kata káfir, dan seruan dari Rasulullah di samping Tuhan. Menfokuskan pembaca pesan yang lebih ketat dan teologis. Jadi, sekalipun dalam kasus Aceh, yang merupakan cabang lokal pemerintah Republik secara terbuka mengakui sejumlah aspirasi relegius di awal revolusi, niat dan motivasi ulama Islam justru lebih radikal secara Islam daripada yang diakui pemerintah. Khusus untuk wilayah ini, visi dekolonialisasi ditulis ke dalam narasi perlawanan secara Islam terhadap Belanda, merujuk pada perang Belanda untuk menaklukkan Aceh yang dimulai pada tahun 1873. [Edward Adpinal, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia [Singapore: NUS Press, 2009], 25-30. Lihat juga, Kevin W. Fogg, Spirit Islam, h. 107. 

Fatwa paling terkenal yang muncul dalam mendukung revolusi dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama di Jawa Timur pada malam sebelum Pertempuran Surabaya. Berkumpul bersama pada malam 21 Oktober 1945 di bawah kepemimpinan KH. Wahab Hasbullah dan atas sepengetahuan pemimpin tertinggi organisasi NU, KH. Hasyim Asy'ary, para pemikir tradisionalist terkemuka di wilayah itu membahas situasi militer dan politik dalam lingkup kewajiban agama. Pagi buta 22 Oktober 1945, mereka menuntaskan keputusan berikut ini:
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, wajib dipertahankan.
Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa. 
Musuh-musuh Republik Indonesia terutama Belanda yang datang membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Amerika-Inggris) dalam masalah tawanan perang besar Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. 
Umat Islam terutama warga Nahdlatul Ulama. Wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
Kewajiban tersebut adalah "jihad" yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang muslim (fardlu 'ain) yang berada dalam jarak radius 95 km (yakni jarak saat umat Islam boleh sembahyang jama' dan qosor). Adapun yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudara yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut. [Tim Penyusun Buku PWNU Jatim, Peranan Ulama dalam perjuangan Kemerdekaan, 59. 

Fatwa ini sangat penting dalam membangun dukungan lasykar Islam untuk perjuangan total yang meletus di Surabaya. Lebih khusus lagi, keputusan ini tidak sejalan dengan arah sekuler nasional negara Indonesia.[Gugun El-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar'i: Biarkam Kebenaran yang Hampir Setengah Abad Dikaburkan Catatan Sejarah itu Terbongkar! [Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010. ]

Resolusi yang memproklamasikan jihad segera memberi makna Revolusi Indonesia bagi mereka yang mengikuti fatwa itu. Hal ini menyebabkan mereka berpikir tentang perjuangan nasional dalam wilayah agama, bukan sekuler. Secara alamiah, hal ini mengarah pada pembentukan hasil perjuangan dalam wilayah agama juga. NU tidak sendirian dalam mengeluarkan fatwa organisasi untuk perjuangan agama melawan Belanda [Kevin W. Fogg, Spirit Islam, h. 109].

Fatwa-Fatwq Resolusi di Luar Jawa Oleh Ormas-Ormas Islam

Sejarawan Anthoney Reid berpendapat bahwa pola seruan perang sabil di semua lapisan masyarakat "segera mereda" sekitar sebulan kemudian, dari November 1945, karena ulama meragukan "apakah jihad merupakan bentuk yang tepat dari perjuangan untuk negara yang tidak menjanjikan tempat yang lebih kuat bagi Islam daripada pendahulunya, Jepang dan Belanda. [Anthoney Reid, Indonesian National Revolution, 56].

Tren mengeluarkan fatwa untuk melabeli revolusi Indonesia dengan perang sabil begitu besar dan mencolok sehingga mendapat tanggapan dari pemerintah nasional. Begitu fatwa-fatwa publik marak, Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 berlabel “Permakluman Perang: Larangan untuk mengutjapkan perang [sabil] oleh seseoorang”. Dengan menggunakan alasan bahwa Indonesia harus mengkoordinasikan pertahanannya secara hati-hati dan menjadikan lebih baik di hadapan bangsa-bangsa lain. Wakil Presiden menyatakan bahwa siapapun di luar pemerintah, ilegal mendeklarasikan perang atau mengumumkan sabil. [Kevin W. Fogg, Spirit Islam, h. 109. 

Untuk menggambarkan keberlanjutan arus fatwa, orang bisa melihat paruh pertama tahun 1947, dua tahun sesudah revolusi dimulai. Pada Juli 1947 setelah agresi Pertama Belanda yang diperhalus oleh Belanda  sebagai ‘Aksi Polisionil’ para pemimpin muslim di seluruh Jawa  mengeluarkan seruan-seruan baru untuk jihad fi sabilillah. 

Pertama: Fatwa Toentoenan Perang Sabil M. Arsyaf Thalib Lubis, Pendiri Al Jam'iyah Al-Wasliyah Medan Sumatera Utara

Salah satu dari banyak seruan aksi perang sabil di Indonesia yang lengkap secara dokumen sejarahnya adakah karya M.Arsjad Thalib salah seorang ulama Medan yang berjudul, Toentoenan Perang Sabil yang ditulisnya pada tanggal 8 Februari 1946 yang terdiri dari 90 halaman. 
Di antara ungkapan fatwa-fatwanya yang termaktub di dalam buku tersebut adalah sebagai berikut:
Menoeroet faham dan pendirian saja, pertempoeran dalam peperangan melawan bangsa Belanda dan pembantoe2nya jang hendak mengoesai tanah air kita Indonesia ini, adalah termasuk dalam bahagian peperangan jang diridlai Allah, peperangan melawan moesoeh-moesoeh Allah dan perjuangan yang dapat mempertinggi kalimatoellah di Indonesia. Sebab itoe, siapa jang toeroet dalam peperangan tersoebut dengan nijat jang ikhlas, dengan nijat akan meninggikan kalimatoellah, dengan nijat menoentoet keridlaan dan pahala dari pada Allah, dengan nijat untoek membinasakan moesoeh-moesoeh Allah, maka adalah dia berperang itoe di dalam sabilillah fan djikalau mati terboenoeh matinja sjahid fi sabilillah, sjoerga mendjadi tempatnya, Wallahu a’lam. 

Arsjad Lubis lebih lanjut menambahkan lima fatwa lain di Sumatera maupun di Jawa yang mendeklarasikan perjuangan Indonesia melawan Belanda sebagai perang sabil. Semakin banyak bukti mengenai banyaknya fatwa yang dikeluarkan sekitar masa itu. 
Pertama, dia menunjuk resolusi kongres Masjumi pada 7-8 November 1945 yang menyatakan “Kemerdekaan Noesa dan Bangsa Indonesia menjadi sjarat jang moethlak soepaja Islam dapat hidoep dengan selamat dan baik di tanah air. Tiap-tiap moeslimin wajib mempertahankan kemerdekaan itoe. Kemudian, Lubis mengutip fatwa organisasinya sendiri, Jamiyyah Washliyah pada awal Desember 1945, yang menyatakan; 
Wadjib atas tiap-tiap ummat Islam di Indonesia menolak kedatangan orang-orang belanda dan pembantunya yang hendak berkuasa di Indonesia. 
Orang Islam yang mati dalam pertempuran menolak orang belanda dan pembantunya itu, dan matinja disebabkan pertempoeran tersebut dengan nijat menegakkan agama Islam, dihoekoemkan sjahid fi sabilillah. 

Fatwa Resolusi Jihad Maulanasyaikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid Al-Fansyaury Al-Anfenâny Al-Masyhur. 


*) Penulis adalah Direktur Pascasarjana UIN Mataram/Guru Besar UIN Mataram