Surabaya (ANTARA) - Krisis air dunia. Meskipun menggunakan kata "dunia", bukanlah sekedar isu global yang seolah jauh dari keseharian. Sebagai salah satu orang yang berurusan dengan rantai pasok air, saya merasakan tanda-tanda krisis air ini semakin menguat dari waktu ke waktu. Tidak hanya terbatas pada menurunnya kualitas, perlahan kita harus mulai mewaspadai ketersediaannya. Keprihatinan Sekjen PBB dengan menunjuk Retno Marsudi sebagai utusan khusus urusan air untuk PBB harus ditafsirkan sebagai penghargaan tak ternilai bagi peradaban.
Indonesia adalah salah satu negara yang menyatakan pentingnya air dalam konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 lahir dari kesadaran kritis para bapak bangsa akan pentingnya air. Kesadaran yang lahir dari kearifan Nusantara dalam memuliakan air.
Kesadaran yang lambat terhadap krisis air
Pada masyarakat yang tidak merasakan secara langsung sulitnya mendapatkan air, kesadaran akan krisis air ini seolah tak terlihat. Ini yang disebut dengan Persepsi Keberlimpahan. Keberlimpahan air yang terlihat menciptakan persepsi bahwa air tidak akan pernah habis. Padahal persentase air tawar di bumi hanya 3,5% dari total air di bumi. 69% persen diantaranya berupa terperangkap dalam es. Hanya sekitar 0,7% yang dapat diakses dalam bentuk air permukaan dan air tanah. Walakin, menjaga setitik air bersih dan layak tersebut adalah kerja keras.
Kompleksitas rantai pasok penyediaan air bersih juga menambah ilusi keberlimpahan air ini. Sebagai ilustrasi, Kota Surabaya yang 90% pasokan air bakunya berasal dari satu-satunya sungai memaksa instalasi pengolahan airnya bekerja lebih keras lagi untuk mengolah air baku karena kualitasnya semakin menurun waktu demi waktu. Konsekuensi yang timbul kemudian adalah pada membengkaknya biaya operasional.
Populasi dunia terus meningkat, dampak perubahan iklim semakin nyata, dan tekanan hunian masyarakat perkotaan semakin besar. Lambatnya kesadaran krisis ini harus segera diubah. Edukasi yang efektif dan kampanye konservasi menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan kesadaran krisis air dengan menyeimbangkan ilusi keberlimpahan air. Tidak perlu menunggu kebenaran ungkapan Benjamin Franklin "when the well is dry, we know the worth of water."
Pendekatan konservasi yang efektif
Kompleksnya ekologi air memerlukan pendekatan yang multifaset untuk konservasi air. Apalagi ketika dalam proses penyediaannya memerlukan proses yang tidak sederhana. Praktek-praktek pengelolaan air/sumber air dalam sejarah Nusantara layak untuk ditengok kembali. Menghidupkan kembali melalui rekontekstualisasi bisa jadi sumbangan yang kesekian dari Indonesia untuk dunia. Kearifan lokal pengelolaan air di Nusantara bahkan telah melibatkan pemangku kepentingan. Sejak inisiatif komunal hingga intervensi regulasi oleh otoritas kerajaan tercatat pernah dijalankan. Lebih dalam, kearifan lokal pengelolaan air tersebut bukan hanya tentang metode pengelolaan, tetapi juga tentang membangun komunitas yang peduli dan bertanggung jawab terhadap sumber daya air mereka.
Insentif bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam upaya konservasi, seperti insentif pembiayaan atau penghargaan komunitas, dapat mendorong partisipasi aktif. Penting juga untuk menjajaki apakah mekanisme kredit karbon bisa diimplementasikan untuk konservasi air ini. Mekanisme yang lain adalah tanggung biaya pemulihan pada pihak yang menyumbang pada menurunnya daya dukung ekologis di daerah aliran sungai. Tetapi terpenting dan mendasar adalah transparansi dalam pembiayaan konservasi agar dana yang terkumpul benar-benar dialokasikan pada upaya konservasi tersebut. Kombinasi insentif, biaya pemulihan dan transparansi alokasi pembiayaan, bersama-sama akan memperkuat upaya konservasi air ini.
Menjamin pasokan dan kualitas air
Sebagai operator, tugas utama Perusahaan Air Minum adalah memastikan pasokan air yang cukup dan berkualitas bagi Masyarakat (3K). Namun, kualitas dan keandalan pasokan air sangat bergantung pada kondisi dan ketersediaan air di alam. Namun, tugas utama tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Kualitas air yang didistribusikan sangat tergantung pada kualitas air baku, yang memerlukan upaya konservasi dari semua pihak. Sementara volume pasokan sangat tergantung dari kapasitas pengolahan air baku menjadi air bersih. Oleh karena itu, dukungan dan kerjasama dengan seluruh pemangku kepentingan adalah keniscayaan dalam menjaga dan melestarikan sumber daya air. Kolaborasi ini adalah tanggung jawab kolektif yang harus diemban bersama untuk memastikan masa depan yang lebih baik. Melalui pengelolaan yang berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa pasokan air tetap terjaga meskipun menghadapi tantangan alam dan antropogenik.
Menjaga air adalah menyelamatkan kehidupan. Setiap langkah kecil menuju konservasi adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik.
*) Penulis adalah Ketua Umum PERPAMSI sekaligus Direktur Utama PDAM Surya Sembada – Kota Surabaya