Mataram (ANTARA) - Demokrasi tidak bisa dilihat dengan cara hitam putih, karena pada demokrasi kita akan menemukan harapan, antusiasme tetapi juga pesimisme, kecemasan dan ironi terhadap merebaknya individualisme, kapitalisme, dan matinya kebebasan sipil. Ini menjadi semacam ancaman serius dihadapi oleh demokrasi. Tulisan ini bersifat teoritis dan reflektif dan saya mengutip tulisan dari Alexis de Tocquiviletentang democracy In Amerika. Terutama keutamaan demokrasi di Amerika yang memberikan semacam komparasi kultur, sistem dan ide-ide demokrasi. Sehingga perdebatan tentang demokrasi selalu menarik perhatian para teoritikus sosial Francis Fukuyama, Robert Dahl, Martin Lipset Seymur, hingga rohaniawan terkemuka Thomas Aquinas. Pendekar utama demokrasi Aristoteles bahkan dengan lantang menyatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang baik.
Pandangan inipun diamini oleh Fukuyama The Last history And the Last Man, yang menegaskan bahwa demokrasi faktanya telah berhasil menaklukan dan menundukan komunisme dan sosialisme di Eropa timur dan memenangkan seluruh pertarungan ideologi politik dunia. Sehingga separuh dari negara-negara di dunia telah menjadikan demokrasi sebagai sistem politik ideal negara. Di era modern ini, banyak negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip penting demokrasi sebagai landasan pemerintahan mereka.
Daya tarik demokrasi disukai pula oleh Michel Foucalt, karena sifat dan kelenturannya (eleastisitas),pada banyak kasus demokrasi berhasil menciptakan sirkulasielite yang adil dan mencegah terjadinya pemusatan(konsentrasi) dan sentralisme kekuasaan pada segelintir elite ekonomi dan aristokrat.
Namun, akhir-akhir ini, seiring menurunnya indeks demokrasi Indonesia (2024), kebajikan, kemuliaan dan mistifikasi terhadap kesempurnaan sistem demokrasi mulai pudar dan semakin digugat publik karena adanya upaya penyingkiran ide agama, pemberangusan kebebasan sipil dan reduksi kelompok oposisi yang di tubuh pemerintahan demokrasi yang makin marak. Padahal, gagasan tentang kebebasan, kesetaraan dan partisipasi publik merupakan DNA otentitik dari demokrasi yang tidak boleh direduksi oleh pragmatisme dan materialisme politik.
Ide dasar demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah menarik minat banyak negara untuk mengadopsi sistem ini. Seturut data yang dipublikasikan oleh Pewresearch, hingga tahun 2017, sekitar57% atau 97 dari 196 negara-negara di dunia sudah menggunakan sistem demokrasi sebagai asas pemerintahannya. Ini merupakan angka yang cukup menggembirakan, di mana hal ini menunjukkan adanya aspirasi universal untuk pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif, dan akuntabel.
Namun, seiring dengan berkembangnya demokrasi, muncul tantangan-tantangan kompleks yang menimbulkan adanya ketidakpuasan terhadap sistem ini. Salah satu isu aktual yang mencuat diataranya soal larangan penggunaan identitas, atribut dan simbol agama di ruang publik seperti jilbab di sekolah umum. Hal ini, semakin menciderai nurani etika demokrasi yang menjamin kebebasan penuh beragama dalam konteks negara. Termasuk peristiwa pelarangan penggunaan hijab bagi anggota Paskibraka di Ibu Kota Nusantara (IKN) beberapa waktu lalu menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Penyempitan ruang dan nilai-nilai sakral agama dalam episentrum kekuasaan tak ayal memicu beragam reaksi adanya indikasi menguatnya sikap anti-agama. Publik melihat sebagai potret buram dan wajah buruk demokrasi Indonesia yang melihat relasi agama dan negara sebagai dua entitas yang saling menegasikan dan bertentangan. Pandangan ini seolah menggemakan narasi kuno tentang perang antara agama dan rasionalitas, antara iman dan ilmu pengetahuan.
Namun, saya sepakat dengan apa yang diutarakan oleh filsuf Jerman Ane Von Kugelgen bahwa agama, negara dan sains tidak perlu dibenturkan karena masing-masing domain dapat menjadi sumber harmoni. Namun, benarkah agama dan negara harus selalu berada pada posisi yang berseberangan?Pertanyaan ini membawa dan menuntun kita pada ide, gagasan dan pemikiran tajam filsuf demokrasi kawakan asal Prancis, Alexis de Tocqueville.
Dalam pengamatannya terhadap masyarakat industri Amerika Serikat pada abad ke-19, Tocqueville menemukan bahwa agama berperan krusial dalam menopang demokrasi. Temuan yang sama juga dieloborasikan dengan apik dan sangat baik oleh Max Webber dalam Protestan Ethic and the spirit Of Capitalismbahwa kemajuan peradaban ekonomi, politik, sains dan soisaldi Eropa tidak lepas dari pengaruh dan berkah agama Kristen Calvinis. Lantas, apa yang sebenarnya dilihat oleh Tocqueville tentang kekuatan demokrasi di Amerika? Dan bagaimana pandangannya dapat memberikan kita pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara agama, negara, dan demokrasi di Indonesia dewasa ini?
Belajar, Berguru dan Memburu Model Demokrasi di Amerika
Tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak mengakui jika Amerika sebagai The Dream Country (negara impian). Keunggulan mereka di bidang sains, ekonomi, militer, pendidikan, politik dan hegemoni globalnya, membuat banyak negara lain iri dan berdecam kagum. Warga negara menikmati kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan negara sebagai buah dari prinsip demokrasi yang diterapkan dengan sangat baik oleh negara.
Alexis de Tocqueville (1981) seorang filsufdan aristokrat Prancis, melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk mempelajari keunggulan demokrasinya. Dia melihat beberapa hal positif dalam demokrasi Amerika, tetapi juga mencatat beberapa kekurangan, seperti tirani mayoritas, individualisme, dan materialisme. Peran institusi dan praksisagama sangat penting di negara demokrasi seperti Amerika yang identitik dengan suburnya ateisme dan meningkatnya sekularisme, agama menurutnya berguna mencegah bahaya tirani mayoritas, invidualisme dan materialime. Alexis de Tocqueville menemukan bahwa kekuatan kunci dari keberhasilan dan kemapanan demokrasi di Amerika disumbang kuat oleh gagasan ‘kesetaraan” yang berkembang luas di seluruh masyarakat Amerika.
Ide dan gagasan tentang kesetaraan atau persamaan di Amerika lebih embaded (membatin) dalam institusi dan kebijakan negara bukan sekedar wacana, retorika dan basabasi yang diobral politisi Indonesia di musim pemilu. Amerika menawarkan contoh kesetaraan yang paling maju dalam bentuk tindakan dan kebijakan nyata negara. Kesetaran di negara kita masih abstrak dan mengawang-awang contohnya di bidang hukum, kesetaraan dan persamaan hak masih langka jauh panggang dari api terutama bagi orang kecil yang mencari keadilan. Sebabnya karena hukum telah dijadikan komoditas industri, untuk menghasilkan banyak uang dengan memperjualbelikan diskresi, otoritas dan pengaruh dengan harga murah. Akibatnya yang berlaku tidak jarang hukum rimba karena insttiusi negara kehilangan basis legitimasi publik. Orang enggan lapor jika ada kasus takut dieksploitasi dan dikriminalisasi.
Di Ameika penegakan hukum dilakukan dengan cara-cara profesional, transparan, penuh integritas sehingga siapa salah dan benar dihukum dan setiap mendapatkan keadilan yang dicari tanpa diskriminasi. Nyaris, sulit lagi temukan penegak hukum yang sarat integritas Ala Baharudin Lopa. Jaksa, hakim dan polisi rentan, mudah disuap karena banyak akali perkara sehingga kerapkali tersandung dalam banyak perkara hukum. Equality Before The Law hanya menjadi isapan jempol, koruptor leluasa main kanakrobat atur remisi dan abolisi, rakyat kecil hanya panen diskriminasi karena tak punya akses hanya bisa rayakan dan nikmati ketidakadilan dalam fantasi mereka. .Ini menjadi potret dan sisi gelap dari praktek demokrasi di negara kita yang belum tuntas diatasi.
Persoalan dan akses kesetaraan ekonomi di Indonesia,nyaris sama terjadi seperti dalam soal hukum di atas, masih menjadi barang langka dan dirindukan kehadirannya karena angka pengagguran masih tinggi. Orang sulit cari pekerjaan terjadi merata di mana-mana. Berbeda cerita dan kisah jika anak pejabat dan penguasa dengan pengaruh jabatan akan mudah mendaptkan banyak akses untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Sehingga tidak ada kesetaraan dan persamaan peluang juga kesempatan memperoleh akses pekerjaan. fasilitas dan kemewahan kebijakan ekonomi negara masih dinikmati oleh hanya segelintir elite penguasa dan pengusaha. Berbeda dengan di Amerika akses ekonomi dinikmati luas oleh seluruh warga negara dengan setara tanpa diskriminasi etnik, ras, dan kelas. Sehingga tidak ada ceritagetir orang miskin dilarang sekolah dan sakit karena tidak ada biaya. Tidak ada bayi dan orang sakit meninggal di jalan karena tidak ada layanan ambulance. Mengapa, karena demokrasi di Amerika menjamin bahwa keselamatan warganegara adalah hukum negara dan hukum sosial tertinggi. Temuan Alexis De tocquivile, tentang penerapan ide kesetaraan yang utuh, meluas dan konkrit bagi seluruh warganegara.
Hal ini menjadi modal dan kekuatan sosial kohesif yang berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat demokratis di Amerika. Alexis De tocquivile tidak lupa menggambarkan Amerika sebagai “revolusi demokratis yang disebabkan oleh pengaruh industrialisasi.”
Dalam pengamatannya terhadap kehidupan sosial-politik Amerika, De Tocqueville percayabahwa ketika industrialisasi mampu dan berhasil mengurangi kesenjangan ekonomi antara kelas-kelas sosial, Tentu revolusi politik yang menuntut adanya “kesetaraan” akan muncul secara alami.
Jika tidak ada perbedaan ekonomi antara bangsawan, orang kaya, dan rakyat biasa, maka perbedaan politik juga akan hilang. Inilah kondisi yang memungkinkan lahirnya masyarakat demokrasi ideal Amerika. Wajar sejauh ini negara adi daya tersebut, menjadi kiblat dan patron negara lain dalam soal kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi karena seluruh pilar demokrasi diberikan ruang untuk menciptakan emansipasi dan transformasi yang memungkinkan seluruh ide demokrasi terealisasi. Namun, faktanya, AS adalah republik, dan bukan demokrasi. Bagi De Tocqueville mengamati bahwa meskipun Amerika adalah republik di atas kertas, ia lebih berfungsi seperti demokrasi. Namun, demokrasi ini pun bukanlah demokrasi murni, sebab menurutnya, demokrasi di Amerika adalah bentuk pemerintahan mayoritas.
Potensi Tirani Mayoritas dalam Demokrasi
Salah satu resiko dan bahaya dari praktek negara demokrasi yakni adanya bentuk penindasan yang disebut“tirani mayoritas.”Dalam konteks demokrasi, tirani mayoritas memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk menentukan kebijakan publik. Namun, kekuasaan mayoritas yang tidak terkendali, kontrol dan kritisisme publik ini dapat menjadi sebuah ancaman bagi penggerusan dan eliminasi hak-hak minoritas. Karena semua tingkat pemerintahan dibentuk oleh pendapat mayoritas, (Onesimus, Febryan (2024), tidak ada entitas yang bisa dijadikan tempat untuk mengajukan banding ketika seseorang mengalami ketidakadilan dari pemerintah itu sendiri. Tocqueville menggambarkan bahwa :“Ketika seseorang atau sebuah golongan menderita ketidakadilan di Amerika Serikat, kepada siapa mereka ingin mereka mengajukan banding? Kepada opini publik? Itu adalah mayoritas. Kepada badan legislatif? Itu mewakili mayoritas… Kepada polisi? Polisi adalah mayoritas yang bersenjata.”
Dia melihat bahwa dalam sistem demokrasi, di mana mayoritas memiliki kekuasaan mutlak, kelompok minoritas sangat rentan terhadap penindasan. Tanpa adanya mekanisme yang efektif untuk melindungi hak-hak minoritas, mayoritas dapat dengan mudah membuat kebijakan yang merugikan kelompok-kelompok tertentu. Dalam konteks inilah agama mendapat perannya untuk menjegal tirani mayoritas dengan membela hak-hak minoritas.
Agama Sebagai Penuntun dan Penjaga Demokrasi
Di negara sekuler seperti Amerika peran dan kontribusi agama tidak dapat disepelekan meski perangkat dan instrumen demokrasi kerapkali dinilai menegasikan ide-dan gagasan agama agar dihalau keluar untuk tidak masuk dalam tubuh negara. Namun, Tocqueville melihat bahwa agama tetap sebagai benteng kuat yang dapat menjaga moralitas demokra sidari berbagai bahaya yang dapat mengancam masyara katpolitik, seperti tirani mayoritas, atomisasi individu, dan materialisme. Agama dalam demokrasi di Amerika memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap masyarakat, yang yakini berperan penting dalam keberhasilan sistem pemerintahannya.Di Indonesia atau di negara-negara lain yang menganut sistem demokrasi, hal ini sebetulnya sangat relevan untuk dipelajari. Sebagai contoh konkret, dalam menghadapi tirani mayoritas, agama sering kali menjadi suara moral yang menentang ketidakadilan, agama dapat menjadi kekuatan yang menantang keputusan mayoritas yang tidak adil. Ide, emosidan solidaritas keagamaan dapat ampuh digunakan untuk memobilisasi dukungan dan menuntut perubahan atas ketidakadilan negara. Hal ini menunjukkan bahwa agama dapat menjadi alat untuk melindungi hak-hak minoritas dalam demokrasi.
Selain itu, agama dapat mengatasi atomisasi individu dengan memperkuat ikatan sosial dan menciptakan komunitas yang saling mendukung. Gereja, masjid, pura, sinagoga, dan tempat ibadah lainnya sering menjadi pusat kegiatan sosial dan komunitas, di mana orang-orang dari berbagai latarbelakang dapat berkumpul, berbagi nilai, dan mendukung satu sama lain. Hal ini sangat membantu untuk mengurangi isolasi individu atau individualisme dengan menciptakan rasa keterikatan dalam masyarakat.
Dalam menghadapi materialisme, agama juga sering menekankan nilai-nilai spiritual dan kebajikan di atas kepuasan material. Misalnya, banyak agama yang mengajarkan pentingnya kemurahan hati, pengorbanan, dan pelayanan kepada sesama, yang bertentangan dengan kecenderungan materialistis dalam demokrasi modern. Melalui ajaran ini, agama dapat mengarahkan perhatian masyarakat dari kesejahteraan pribadi menuju kesejahteraan bersama, yang pada akhirnya menguatkan demokrasi dengan menjaga fokus pada kepentingan umum. Dari narasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Alexis de Tocqueville melihat agama sebagai pilar penting dalam menopang demokrasi. Agama, menurutnya, bukan hanya sekadar institusi, tetapi juga sebagai kekuatan moral yang mampu membendung potensi negatif dari demokrasi seperti tirani mayoritas, atomisasi individu, dan materialisme. Agama berperan sebagai penyeimbang yang mengingatkan masyarakat akan nilai-nilai luhur seperti keadilan, persaudaraan, dan spiritualitas. Namun, peran agama dalam demokrasi bukanlah tanpa tantangan. Di zaman modern ini, sekularisme dan pluralisme semakin menguat. Hal ini menghadirkan pertanyaan mendasar: Bagaimana kita dapat mengharmonisasikan nilai-nilai agama dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan kesetaraan. Agama jangan sampai dipahami sebagai ancaman terhadap demokrasi, tetapi sebagai mitra yang dapat memperkaya kehidupan berbangsa.
*) Penulis adalah Wadir IV Politeknik MFH dan Dosen Fisip dan Ilmu Komunikasi Upatma Mataram.