Surabaya (ANTARA) - Dalam satu kesempatan memberikan Kultum Ramadhan di suatu masjid, saya menawarkan gagasan paradigma baru masjid memakmurkan Jemaah atau umat. Gagasan ini terkesan outside the box, mengingat yang populer kita dengar adalah paradigma jemaah memakmurkan masjid.
Saya mengawali dengan pertanyaan retoris, “sudahkah hadirin jemaah masjid menjadi umat terbaik?” Lalu, saya menyampaikan kutipan QS Surat Ali-Imran Ayat 110, “Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nsi…”, yang artinya, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia…”.
Konteks kesejarahan yang melatari turunnya ayat tersebut (asbabun nuzul) meriwayatkan bahwasannya ayat ini sebagai motivasi dan penegasan bahwa kaum muslim adalah umat terbaik dengan menjalankan prinsip amar ma'ruf, nahi munkar dan keimanan kepada Allah. Kala itu, umat Islam, yang masih dalam fase pertumbuhan dan menghadapi kelompok Yahudi Madinah. Mereka membanggakan diri sebagai umat terbaik dan mengklaim lebih mulia dibanding umat Islam dan umat lainnya.
Namun, frasa, "khaira ummatin" atau umat terbaik ini tentunya bukanlah mahkota yang otomatis tersemat pada setiap Muslim. Gelar kehormatan ini merupakan sebuah predikat yang harus diraih dengan perjuangan. Dus, simbol kemuliaan ini bukan sekadar status yang diwariskan, tetapi amanah yang menuntut kesungguhan. Kesungguhan perjuangan berbasis ilmu yang mencerahkan, iman yang kokoh, dan amal yang bermanfaat, barulah umat ini layak menyandang kehormatan itu di hadapan Allah dan manusia.
Revitalisasi Peran Masjid Wujudkan Khaira Ummatin
Selama ini, paradigma yang dominan dalam kehidupan keagamaan adalah jemaah memakmurkan masjid, dimana umat Islam berperan aktif dalam membangun, merawat, dan mendukung kegiatan masjid secara finansial maupun sosial. Namun, paradigma ini perlu dikembangkan lebih jauh, agar masjid juga aktif memakmurkan jemaahnya. Masjid tidak hanya menjadi pusat ibadah-ibadah mahdhah, melainkan juga ibadah-ibadah ghairu mahdhah yang diorientasikan mewujudkan profil umat terbaik (khaira ummatin) sebagaimana firman Allah dalam QS Surat Ali-Imran Ayat 110.
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang bentuk, tata cara, dan waktunya telah ditentukan secara langsung oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam ibadah ini, manusia tidak boleh menambah, mengurangi, atau mengubahnya sesuai keinginan sendiri. Penciri ibadah mahdhah diantaranya: harus ada dalil yang jelas dari Al-Qur'an atau Hadis, tidak boleh dimodifikasi atau dikreasikan, bersifat khusus dan langsung ditujukan kepada Allah SWT, dan jika tidak diperintahkan, maka otomatis dilarang. Contohnya shalat, puasa, zakat, Haji dan Umrah, dzikir dan doa tertentu.
Ibadah ghairu mahdhah adalah segala bentuk aktivitas yang bersifat umum dan boleh dilakukan selama niatnya karena Allah SWT serta sesuai dengan syariat Islam. Ibadah ini tidak memiliki aturan yang ketat dalam bentuk dan tata caranya. Penciri ibadah ghairu mahdah diantaranya: tidak memiliki aturan khusus dalam pelaksanaannya, bisa berkembang sesuai konteks zaman dan tempat, bersifat lebih fleksibel, asalkan tidak bertentangan dengan syariat, dan segala sesuatu dianggap boleh atau mubah, kecuali ada dalil yang melarangnya. Contohnya bekerja dan mencari nafkah, belajar dan mengajarkan ilmu, menolong sesama dan bersedekah, menjaga lingkungan dan kebersihan, serta bersilaturahmi dan berbuat baik kepada orang lain.
Dalam konteks inilah revitalisasi peran masjid menjadi suatu keniscayaan, agar terjadi keseimbangan dwifungsi masjid sebagai pusat ibadah-ibadah mahdhah, maupun ghairu mahdhah. Saat ini, banyak masjid masih lebih dominan dalam menjalankan fungsi ibadah mahdhah seperti salat, pengajian, dan dzikir, sementara peran sosial-ekonomi belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa di masa Rasulullah SAW, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah mahdhah atau ritual ansich, melainkan juga berfungsi sebagai pusat pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, dan pertahanan. Misalnya, Masjid Nabawi dan Masjid Quba di masa awal Islam berperan sebagai pusat kemajuan peradaban umat, bukan sekadar tempat salat.
Masjid Memakmurkan Umat
Paradigma jemaah memakmurkan masjid, dan masjid memakmurkan jemaah sejatinya memiliki perbedaan mendasar dalam orientasi dan dampaknya terhadap masyarakat. Paradigma jemaah memakmurkan masjid acapkali menekankan peran donasi dan infaq dari Jemaah atau umat untuk membangun dan menjaga keberlangsungan masjid. Namun, paradigma masjid memakmurkan jemaah mendorong masjid agar lebih aktif dalam menciptakan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.
Perbedaan paradigma tersebut setidaknya dapat ditinjau dari enam aspek utama, antara lain: orientasi, peran masjid, dampak sosial, dampak ekonomi, pemberdayaan umat, dan keberlanjutan. Pertama, Orientasi: Dari Partisipasi Jemaah ke Kebermanfaatan Masjid. Paradigma jemaah memakmurkan masjid berorientasi pada peran aktif jemaah dalam mendukung masjid melalui kontribusi finansial, tenaga, dan waktu. Sebaliknya, paradigma masjid memakmurkan jemaah menempatkan masjid sebagai pusat kebermanfaatan yang berperan aktif dalam meningkatkan kesejahteraan jemaah dan masyarakat sekitarnya.
Kedua, Peran Masjid: Dari Penerima Manfaat ke Pemberi Manfaat. Dalam paradigma jemaah memakmurkan masjid, peran masjid lebih banyak diposisikan sebagai penerima manfaat yang bergantung pada donasi dan partisipasi jemaah untuk keberlangsungannya. Sebaliknya, dalam paradigma masjid memakmurkan jemaah, masjid berperan sebagai pemberi manfaat yang aktif dalam meningkatkan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan pendidikan umat.
Ketiga, Dampak Sosial: Dari Rasa Memiliki ke Pemberdayaan Komunitas. Paradigma jemaah memakmurkan masjid menumbuhkan rasa memiliki di kalangan jemaah, mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pemeliharaan masjid. Sementara itu, dalam paradigma masjid memakmurkan jemaah, masjid bertransformasi menjadi pusat kegiatan sosial yang aktif, menghadirkan program pendidikan, bantuan sosial, dan pemberdayaan komunitas yang berdampak nyata bagi masyarakat.
Keempat, Dampak Ekonomi: Dari Donasi ke Kemandirian Ekonomi. Dalam paradigma jemaah memakmurkan masjid, pertumbuhan ekonomi masjid bergantung pada infaq dan donasi dari jemaah, namun belum tentu memberikan manfaat ekonomi langsung bagi mereka. Sebaliknya, paradigma masjid memakmurkan jemaah menciptakan dampak ekonomi yang lebih luas, dimana masjid berperan aktif sebagai motor pemberdayaan ekonomi umat melalui wakaf produktif, koperasi syariah, dan program pelatihan dan pengembangan usaha bagi jemaah.
Kelima, Pemberdayaan Umat: Dari Ibadah Ritual ke Transformasi Sosial. Paradigma jemaah memakmurkan masjid cenderung membatasi pemberdayaan umat pada aspek ibadah ritual dan pengelolaan masjid saja. Sebaliknya, paradigma masjid memakmurkan jemaah menjadikan masjid sebagai pusat transformasi sosial yang menawarkan layanan pendidikan, kesehatan, dan peluang usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keenam, Keberlanjutan: Dari Ketergantungan ke Kemandirian. Dalam paradigma jemaah memakmurkan masjid, keberlanjutan masjid sangat bergantung pada kesadaran dan donasi jemaah, yang sifatnya fluktuatif seiring fungsi waktu. Sementara itu, paradigma masjid memakmurkan jemaah lebih menjamin keberlanjutan karena masjid bertransformasi menjadi lembaga yang mandiri, berdaya, dan aktif dalam membangun ekosistem sosial-ekonomi yang berkelanjutan.
Beranjak dari keenam aspek tersebut, jelas bahwa paradigma jemaah memakmurkan masjid lebih bersifat tradisional, menekankan partisipasi umat dalam menjaga keberlangsungan masjid. Sementara itu, paradigma masjid memakmurkan jemaah lebih progresif, menempatkan masjid sebagai pusat kesejahteraan, pembangunan, dan kemajuan peradaban umat. Dengan orientasi yang lebih inklusif dan berbasis pada pemberdayaan, paradigma ini dapat menjadi model bagi masjid di era modern untuk tidak sekadar menjadi tempat ibadah ritual, melainkan juga sebagai motor penggerak transformasi sosial dan ekonomi masyarakat.
Mengakhiri tulisan ini, marilah kita renungkan dan kembangkan paradigma baru masjid memakmurkan umat. Dengan paradigma ini, diharapkan umat Islam benar-benar bisa mewujudkan khaira ummatin, umat terbaik, dengan menjadi teladan dan terdepan dalam keilmuan, intelektualitas, etika, moralitas, dan kemajuan peradaban. Sebagai role model bagi masyarakat dunia, umat Islam harus mampu memberikan manfaat nyata, mengukuhkan eksistensinya sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam, serta berperan aktif dalam menebarkan kebaikan, menegakkan kebenaran, mewujudkan keadilan sosial, dan menjadi solusi bagi berbagai permasalahan umat manusia. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya membawa kemajuan bagi dirinya sendiri, tetapi juga berkontribusi dalam membangun umat dan bangsa yang berdaya, adil, dan sejahtera. Wallahu a‘lam bis-shawab.
*) Penulis adalah Ketua Takmir Masjid Kampus ITS Manyar “Al-Azhar”, dan Wakil Rektor II Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya