PEMKOT MATARAM GELAR FESTIVAL "CILOKAQ" SE-LOMBOK

id

Mataram, 7/8 (ANTARA) - Pemerintah Kota (Pemkot) Mataram, menggelar festival "Cilokaq" (musik tradisional Sasak) yang melibatkan peserta dari empat kabupaten/kota di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Festival musik tradisional Sasak yang digelar menyongsong HUT ke-64 Kemerdekaan RI dan HUT ke-16 Kota Mataram dan dipusatkan di Taman Gora Udayana itu, dimulai Jumat malam dan akan berakhir Minggu (9/8) mendatang.

Pesertanya merupakan perwakilan dari sembilan sanggar kesenian tradisional Sasak yang ada di Pulau Lombok.

Saat membuka festival "Cilokaq" itu, Walikota Mataram, H.M. Ruslan, mengajak semua pihak untuk menyukseskan acara itu demi kelestarian seni musik tradisional Sasak di masa mendatang.

Pihaknya menyelenggarakan festival itu karena merujuk kepada antusiasme masyarakat Lombok terhadap musik tradisonal yang masih tergolong baik di tengah kehidupan modernisasi.

"Itu sebabnya kita semua berkewajiban mengembangkan, melindungi dan melestarikan kekayaan budaya Sasak," ujarnya.

Walikota Mataram dua periode sejak tahun 2000 itu mengaku prihatin terhadap pengembangan lagu-lagu Sasak yang belakangan ini makin diwarnai nuansa modernisasi sehingga "menciderai" makna musik tradsional warisan nenek moyang itu.

Menurut dia, alangkah baiknya jika lagu-lagu Sasak yang terus dikembangkan itu tidak dinodai oleh hal-hal yang jauh dati nilai-nilai yang telah ditanamkan para leluhur.

"Sesungguhnya filosofi lagu-lagu Sasak itu bernuansa religi dan peringatan, sehingga di masa lalu orangtua sering menggunakan lagu Sasak untuk meninabobokan anak-anaknya, sehingga sangat tidak terpuji jika lagu-lagu Sasak sekarang ini dikembangkan menjadi lagu yang tidak agamais," ujarnya.

Versi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) NTB, kini terdapat sedikitnya 910 lagu berbahasa Sasak. Lagu-lagu itu bergendre Cilokaq, Bahasa Sasak dan Cibane (lagu Sasak yang diiringi bunyi rebana secara dominan).

Lagu-lagu Sasak digemari masyarakat Lombok karena berirama pop dan dangdut, syair dan liriknya pun diciptakan dengan mengambil idiom-idiom canda atau kelakar yang dalam bahasa Sasak disebut bejorak.

Namun, perkembangan lagu-lagu berbahasa Sasak yang dilempar ke pasaran akhir-akhir ini mulai membentur norma dan nilai-nilai dalam masyarakat Sasak.

Beberapa lagu kemudian terpublikasikan dalam jebakan lirik yang menyerempet ke hal-hal berbau porno dan tendesius, sehingga KPID NTB melakukan pencekalan terhadap penyiaran dan penayangan 13 lagu tersebut.

Pencekalan dilakukan KPID NTB beserta para pihak terkait seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) NTB, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB, setelah mereka melakukan pengkajian secara konprehensif.

Pengkajian itu merujuk kepada banyaknya aduan atau laporan masyarakat yang merasa terganggu dengan lirik-lirik lagu tersebut yang dianggap melanggar norma-norma agama.(*)