Taman Gora semarak. Sorot lampu dengan watt besar menerangi hampir seluruh lapangan di Jalan Udayana, Kota Mataram. Di satu sudut, berdiri panggung yang cukup luas. Sejumlah grup musik dari berbagai sanggar di Pulau Lombok, tampil membawakan lagu-lagu daerah khas Sasak. Merdu dan menghibur.
Lapangan Gora yang biasanya hanya dipadati penjaja makanan dan anak-anak muda, malam itu terlihat meriah. Anak-anak, remaja, dewasa serta orang tua dari Kota Mataran dan sekitarnya seperti tumpah di satu arena.
Mereka rela duduk beralaskan rumput untuk bisa mengikuti penampilan grup musik yang mendendangkan lagu-lagu khas Sasak. Grup musik dari berbagai sanggar di Pulau Lombok pun berusaha tampil maksimal, karena mereka sadar bahwa mereka sedang beradu dalam ajang Festival Cilokaq.
Sekilas lagu yang didendangkan para peserta seperti halnya lagu dangdut pada umumnya. Namun, jika disimak, ada nuansa berbeda dari seni musik Cilokaq itu dibandingkan musik dangdut pada umumnya.
Selain lagu-lagu yang ditampilkan merupakan lagu-lagu berbahasa Sasak, dalam satu-kesatuan musik Cilokaq ada pula alat musik banjo, alat musik yang biasa mengiringi seni musik padang pasir. Karena itu, meski suara berbagai alat musik seperti berlomba memperoleh ruang, tapi petikan banjo masih cukup dominan.
Konon, Cilokaq merupakan seni musik yang bernafaskan padang pasir yang gubahan-gubahan lagunya bersumber dari nada gambus tunggal. Tetapi, dalam perkembangannya, musik Cilokaq dikembangkan lagi dengan penambahan alat-alat musik lainnya seperti jidur, suling, gitar, gendang (ketipung).
Musik Cilokaq dulunya sebagai penghibur biasa, namun karena hanyak permintaan untuk mengisi berbagai acara akhirnya tidak dapat dihindari kalau seni musik asli Cilokaq mengikuti perkembangan yang ada.
Festival
Guna melestarikan kesenian Cilokaq, Pemerintah Kota (Pemkot) Mataram, menggelar festival Cilokaq (musik tradisional Sasak) yang melibatkan peserta dari empat kabupaten/kota di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Festival musik tradisional Sasak yang digelar menyongsong HUT ke-64 Kemerdekaan RI dan HUT ke-16 Kota Mataram dan dipusatkan di Taman Gora, Jalan Udayana itu, dimulai Jumat malam dan akan berakhir Minggu (9/8) mendatang.
Pesertanya merupakan perwakilan dari sembilan sanggar kesenian tradisional Sasak yang ada di Pulau Lombok.
Saat membuka Festival Cilokaq, Walikota Mataram, H.M. Ruslan, mengajak semua pihak untuk menyukseskan acara itu demi kelestarian seni musik tradisional Sasak di masa mendatang.
Pihaknya menyelenggarakan festival itu karena merujuk kepada antusiasme masyarakat Lombok terhadap musik tradisonal yang masih tergolong baik di tengah kehidupan modernisasi.
"Itu sebabnya kita semua berkewajiban mengembangkan, melindungi dan melestarikan kekayaan budaya Sasak," ujarnya.
Tapi, Walikota Mataram dua periode sejak tahun 2000 itu mengaku prihatin terhadap pengembangan lagu-lagu Sasak yang belakangan ini makin diwarnai nuansa modernisasi sehingga "menciderai" makna musik tradisional warisan nenek moyang itu.
Menurut dia, alangkah baiknya jika lagu-lagu Sasak yang terus dikembangkan tidak dinodai oleh hal-hal yang jauh dati nilai-nilai yang telah ditanamkan para leluhur.
"Sesungguhnya filosofi lagu-lagu Sasak itu bernuansa religi dan peringatan, sehingga di masa lalu orangtua sering menggunakan lagu Sasak untuk meninabobokan anak-anaknya, sehingga sangat tidak terpuji jika lagu-lagu Sasak sekarang ini dikembangkan menjadi lagu yang tidak agamis," ujarnya.
Versi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) NTB, kini terdapat sedikitnya 910 lagu berbahasa Sasak. Lagu-lagu itu bergendre Cilokaq, Bahasa Sasak dan Cibane (lagu Sasak yang diiringi bunyi rebana secara dominan).
Lagu-lagu Sasak digemari masyarakat Lombok karena berirama pop dan dangdut, syair dan liriknya pun diciptakan dengan mengambil idiom-idiom canda atau kelakar yang dalam bahasa Sasak disebut bejorak.
Namun, perkembangan lagu-lagu berbahasa Sasak yang dilempar ke pasaran akhir-akhir ini mulai membentur norma dan nilai-nilai dalam masyarakat Sasak.
Beberapa lagu kemudian terpublikasikan dalam jebakan lirik yang menyerempet ke hal-hal berbau porno dan tendesius, sehingga KPID NTB melakukan pencekalan terhadap penyiaran dan penayangan 13 lagu tersebut.
Pencekalan dilakukan KPID NTB beserta para pihak terkait seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) NTB, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB, setelah mereka melakukan pengkajian secara konprehensif.
{jpg*5}
Pengkajian itu merujuk kepada banyaknya aduan atau laporan masyarakat yang merasa terganggu dengan lirik-lirik lagu tersebut yang dianggap melanggar norma-norma agama.
Pergumulan seni dan waktu memang terkadang berdampak terhadap suatu perubahan. Tapi, kreativitas berkesenian tidak semestinya harus mengeksplorasi potensi yang mengarah ke ranah yang negatif.
Anda berminat menikmati Cilokaq? Silahkan datang ke Pulau Lombok. Di daerah tujuan wisata ini, anda akan disuguhi berbagai khasanah seni musik tradisi yang atraktif. (*)
(FOTO: ANTARAMataram.com/Slamet Hadi Purnomo)