Tangis sunyi di lereng Rinjani

id Julina Marins, Pendaki Brazil, Gunung Rinjani, Lombok Timur, NTB, Basarnas Oleh M. Riezko Bima Elko Prasetyo

Tangis sunyi di lereng Rinjani

Tim SAR melakukan menuruni jurang dengan tali sembari membawa kantung jenazah untuk mengevakuasi Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang tergelindir jatuh ke jurang hingga sedalam 600 meter di jalur pendakian Gunung Rinjani, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Rabu (25/6/2025) (ANTARA/HO-Kantor SAR Mataram)

Jakarta (ANTARA) - Tidak ada alarm yang berbunyi sebagai tanda peringatan. Hanya jejak langkah terputus pada pagi yang dingin, ketika seorang perempuan muda asal Brasil tergelincir ke jurang terjal di jalur pendakian Gunung Rinjani, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Nama pendaki Gunung Rinjani itu Juliana Marins. Usianya 26 tahun. Ia datang dengan semangat menjelajah, menembus lintasan savana, menantang lereng berbatu, berharap tiba di salah satu puncak tertinggi di Pulau Lombok itu.

Hanya saja, langkahnya terhenti di Cemara Nunggal, salah satu titik paling terjal di Rinajni dari jalur pendakian Sembalun.

Jalur Sembalun merupakan salah satu rute utama menuju puncak Rinjani, selain jalur Senaru di utara, Timbanuh di selatan, dan Aik Berik di sisi barat.

Sembalun dikenal sebagai lintasan terpanjang di Rinjani, namun paling bersahabat dalam hal elevasi. Pendakian biasanya berlangsung selama dua, hingga empat hari, melewati jalur tanah pasir berdebu, dan tanjakan terjal.

Peristiwa jatuhnya Juliana di Rinjani bukan sekadar kecelakaan, melainkan awal dari sebuah operasi penyelamatan yang menggemparkan.

Kabar itu menyebar dengan cepat, menembus kabut dan terjalnya medan pergunungan di Rinjani, hingga menjangkau ke "Negeri Samba" yang jauh di seberang benua.

Juliana, awalnya dikabarkan hilang di Rinjani oleh pendampingnya pada Sabtu (21/6) pagi. Perempuan malang itu baru ditemukan 600 meter di bawah jalur pendakian, dengan posisi tertelungkup di dasar jurang berbatu, lima hari kemudian.

Alumni jurusan periklanan dari Universitas Federal Rio de Jeneiro itu hanya bisa berdiam menunggu untuk diselamatkan dari kedalaman jurang kawasan Cemara Nunggal Rinjani yang tidak mudah itu.

Gunung Rinjani memang menawarkan keindahan alam luar biasa, namun juga menyimpan risiko yang besar. Setiap musim pendakian, gunung setinggi 3.726 meter di atas permukaan laut ini menyambut ribuan pendaki dari seluruh dunia. Jalurnya panjang, cuacanya tidak menentu, dan medannya menyimpan kejutan.

Cemara Nunggal dikenal sebagai salah satu titik paling rawan yang mengarah ke Danau Segara Anak. Jalur sempit di ketinggian 2.800 meter di atas permukaan laut (MDPL) ini hampir selalu diselimuti kabut tebal, dengan kontur terjal yang menuntut konsentrasi penuh dari para pendaki.

Di sana Juliana tidak mendaki sendirian. Ia bersama lima pendaki warga negara asing yang didampingi seorang pemandu. Pada pagi itu, ia diduga luput dari pengawasan dan beristirahat sendirian, sementara anggota lain melanjutkan pendakian. Ketika pemandu kembali menjemput, Juliana telah hilang.

Informasi hilangnya pemilik ratusan ribu pengikut di akun media sosialnya, @ajulianamarins itu menyebar dengan cepat, sekencang embusan angin gunung.

Video permintaan bantuan dari unggahan rekan-rekan pendaki menuai simpati dan sorotan publik. Dalam hitungan menit, kolom komentar di media sosial, termasuk akun Basarnas, dibanjiri tuntutan agar upaya penyelamatan segera dilakukan.

Sebagian pihak menilai Basarnas lamban merespons laporan pendaki hilang. Anggapan itu muncul dari ketidaktahuan mereka mengenai medan yang sulit, cuaca yang buruk, dan keterbatasan infrastruktur telekomunikasi di kawasan pergunungan Pulau Lombok.

Faktanya, saat informasi diterima, Basarnas Kantor SAR Mataram langsung mengaktifkan operasi SAR. Tim gabungan dibentuk, juga melibatkan belasan personel, di antaranya dari TNI/Polri dan Satuan Polisi Pamong Praja Lombok Timur. Mereka bersama para relawan Rinjani sigap menyiapkan skema evakuasi.

Pada Selasa (24/6) sore atau sekitar 72 jam setelah laporan diterima, tim penyelamat dari Kantor SAR Mataram, Khafid Hasyadi, berhasil menjangkau korban di datum point 600 meter di bawah jalur utama. Ia menuruni tali karmantel dari anchor point 400 meter, menjangkau titik jatuhnya Juliana.

Menurut Kepala Basarnas Mohammad Syafii, cuaca buruk dan kabut pekat membuat evakuasi tidak bisa dilakukan malam itu. Tim memilih mendirikan flying camp dan berjaga semalaman di sisi korban.

Keesokan paginya, tim SAR melaksanakan evakuasi dengan teknik lifting survivor. Jenazah Juliana berhasil diangkat ke jalur utama, dengan cara ditandu, menyusuri hutan serta medan berbatu, hingga tiba di Posko Pelawangan Sembalun, jaraknya diperkirakan delapan kilometer.

Lagi-lagi, karena cuaca buruk, helikopter Basarnas dari Lanud Atang Sanjaya Bogor yang sudah disiagakan untuk mengevakuasi Juliana batal mengudara. Dari Pos Pelawangan, jenazah perempuan berkulit kecoklatan itu kembali dibawa menuju Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR).

Jenazah korban sempat dibawa ke rumah sakit di Mataram, untuk dilakukan autopsi, sebagaimana permintaan keluarganya. Hanya saja, karena dokter forensik sedang berada di luar kota, almarhumah dilarikan menggunakan ambulans ke Pulau Bali.

Jenazah dipindahkan ke RSUD Mandara Medical Centre, Denpasar, Bali, untuk autopsi. Proses ini dijalankan dengan penuh kehati-hatian, sebagai bentuk penghormatan terhadap korban dan keluarganya.

Dokter spesialis forensik RSUD Mandara mengumumkan hasil otopsi Juliana, Jumat (27/6) malam. Pendaki pemula itu meninggal disebabkan pendarahan pada organ dalam akibat patah tulang saat korban terjatuh.

Jenazah Juliana Marins akan segera diserahkan kepada keluarga dan dikirim ke negara asalnya.

Langkah demi langkah dalam operasi SAR ini lahir dari dedikasi, meski keberhasilan hanya mengandalkan simpul tali karmantel, carabiner, oksigen darurat, dan keteguhan hati tim SAR gabungan.

Semua yang terlibat dalam operasi SAR itu bekerja bukan karena sorotan warganet, tapi karena keyakinan bahwa setiap nyawa patut diperjuangkan.

Meskipun demikian, cerita ini belum berakhir. Kepolisian, saat ini dilaporkan sedang memeriksa pemandu dan porter yang mendampingi Juliana atas dugaan kelalaian.

Komunitas pemandu pendakian gunung nasional pun turut menyuarakan desakan agar ada perbaikan prosedur pendampingan, termasuk rasio ideal antara pendaki dan pendamping, penggunaan alat pelacak GPS, hingga pemenuhan peralatan SAR berteknologi canggih yang dapat mempercepat pencarian serta pertolongan korban sebagaimana yang biasa ditemukan bila mendaki ke puncak gunung di atas lebih dari 3.000 meter, seperti Gunung Aconcagua di Mendoza, Argentina, yang berada satu daratan dengan negara asal Juliana.

Semua itu wajar disuarakan. Menyusul Basarnas mencatat lebih dari 150 operasi SAR di kawasan pergunungan pada lima tahun terakhir. Dalam periode yang sama ada lebih dari selusin kasus kecelakaan pendakian Gunung Rinjani. Sebagaimana data dari Taman Nasional Gunun Rinjani, ada lima kasus kecelakaan pendaki terjadi pada medio Mei-April 2025, dua orang di antaranya meninggal dunia.

Gunung memang tidak pernah bisa disalahkan, tapi kelalaian manusialah yang kerap memicu tragedi. Pendakian semestinya menjadi ruang refleksi, bukan ajang uji nyali. Ia menuntut kedewasaan, kesabaran, dan tanggung jawab bersama.

Operasi evakuasi di lereng Rinjani menegaskan pentingnya kesiapsiagaan, profesionalisme pemandu, kecepatan respons dalam kondisi ekstrem dan yang tidak kalah penting adalah etika pendakian, hingga ketahanan fisik individu.

Nyawa Juliana memang tidak terselamatkan, namun upaya maksimal telah dilakukan di tengah segala keterbatasan patut, sehingga patut diapresiasi. Peristiwa ini agaknya menjadi pengingat bahwa keselamatan harus menjadi prioritas utama dalam setiap pendakian ke gunung.


Editor: Abdul Hakim
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.