Kejujuran yang menangis di Gadel: Memoar kecil seorang jurnalis, seorang ibu, dan luka kolektif sebuah Kampung

id Kejujuran yang menangis di Gadel,Memoar kecil seorang jurnalis,memoar seorang ibu,luka kolektif sebuah Kampung,surabaya

Kejujuran yang menangis di Gadel: Memoar kecil seorang jurnalis, seorang ibu, dan luka kolektif sebuah Kampung

Dokumentasi suasana rapat RW di Gadel yang menjadi "ruang penghakiman" warga pada Bu Siami, 9 Juni 2011 (ANTARA/HO - Eddy Prastyo suarasurabaya.net)

Surabaya (ANTARA) - Peristiwa nyontek massal di Gadel adalah salah satu peliputanku yang paling menguras energi batin. Di sana semuanya berkelindan jadi satu, tentang news value, tanggung jawab profesional seorang jurnalis, kewajiban menyampaikan peristiwa dengan jujur sekaligus dalam moralitas. Sekaligus melindungi narasumber dan menjaga kehormatan kolektif warga.

Sungguh sangat menantang, sejak pengalaman ini menampilkan realitas abu-abu dari sebuah peristiwa. Tidak pernah ada secara eksplisit detail di mata ajar perkuliahan, pun dalam kode etik jurnalistik dalam interpretasi yang saat itu kupahami. Ambiguitasnya terasa sangat kompleks.

Tapi yang kurasakan dalam insting jurnalistikku ada 2 hal : kejujuran harus dibela, dan mereka yang menjadi whistle blower harus dilindungi, meskipun realita sesudah mendalaminya, aku menemukan banyak ambiguitas lainnya.

Permasalahan yang muncul dalam penulisan memoar ini adalah soal minimnya data primer yang aku punya, semenjak seluruh file tulisanku hilang di server kantor sehingga penanda waktu dan peristiwa detailnya praktis hanya mengandalkan ingatanku saja. Ditambah rentang waktu jeda yang panjang sejak peristiwa sampai memoar kecil ini dibuat, 14 tahun. Kerangka waktu akhirnya memang jadi soal dalam rekonstruksi ingatan ini.

Waktu itu aku tidak merasa penting untuk mencatatkan semua hal off the record dalam catatanku, karena kupikir semuanya bisa aku ingat. Meskipun nyatanya....nggak semuanya

Sebenarnya isyarat tentang pentingnya peristiwa ini dicatat pernah aku alami beberapa tahun setelahnya. Saat beberapa orang dari Jakarta menemuiku. Mereka adalah para wartawan senior, produser, dan sutradara. Mereka berminat membuat film dari kisah nyata di Gadel ini. Saat itu semua yang aku ingat sudah kuberikan. Tapi sampai sekarang film itu ternyata tidak kunjung dibuat. Kupikir ini soal hitung-hitungan bisnis. Atau sebab lain yang aku tidak tahu, karena sejak itu mereka tidak menghubungiku lagi.

Syukurlah era ini sudah ada kecerdasan buatan yang mampu membantuku mencari kepingan peristiwa yang hilang itu, merangkainya jadi satu narasi yang moga-moga bermakna.

Sebuah Telepon yang Mengubah Segalanya (awal Juni 2011)

Pagi itu, sekitar pukul tujuh pagi, suasana redaksi suarasurabaya.net di Bukit Wonokitri masih lengang. Seingatku, hari itu aku datang lebih awal dari biasanya ke kantor. Biasanya aku langsung liputan ke lapangan, tapi entah mengapa pagi itu ada sesuatu yang membuatku ingin berada lebih pagi di kantor.

Tanganku seperti biasa membuka aplikasi Traffic Report, sebuah sistem internal kami yang mencatat semua laporan warga. Di sana, aku membaca satu log yang membuat jantungku berhenti sejenak.

Seorang ibu—namanya Bu Siami dari Kampung Gadel—melaporkan bahwa anaknya, Alif, siswa kelas 6 SDN Gadel II/577 Surabaya, dipaksa menjadi “server contekan massal” dalam Ujian Nasional.

Telepon itu diterima oleh Emma, salah satu gatekeeper kami. Sesuai SOP, Emma meminta agar Bu Siami melapor dulu ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Baru setelah itu kasusnya bisa diangkat sebagai bahan siaran.

Tapi… ada sesuatu dalam hati kecilku yang bilang…

“Ini bukan laporan biasa.”

Sebagai jurnalis, aku sudah dua tahun bergumul dengan cerita-cerita senyap tentang praktik nyontek massal di Surabaya. Tapi selama itu juga, tak satupun orang tua berani bicara on record. Dan hari itu… aku merasa… pintu yang selama ini terkunci… terbuka sedikit.

Pertemuan Pertama di Rumah Bu Siami (awal Juni 2011)

Setelah menghubungi Bu Siami pagi itu juga, aku bergegas ke rumahnya di kawasan Gadel. Letaknya di ujung Barat Surabaya. Lebih dekat ke Gresik daripada pusat kota Surabaya. Menuju rumah Bu Siami, aku melewati hamparan kebun kosong sampai tiba di sebuah kampung. Rumahnya saling berhimpitan, padat, tapi bersih. Siang itu aku sudah duduk di ruang tamu rumah Bu Siami di Gadel.

Di depanku, seorang ibu sederhana dengan wajah lelah tapi matanya menyala karena amarah moral. Dia pernah kerja jadi buruh pabrik lantas keluar, mencoba peruntungannya menjual jasa pembuatan gorden. Di sampingnya, Pak Widodo, suaminya. Dan di pojok ruangan, Alif… anak 12 tahun dengan wajah murung dan tatapan kosong.

Alif mulai bercerita. Tentang bagaimana selama berhari-hari sebelum UN, guru-guru melakukan simulasi nyontek di kelas. Bagaimana dia ditunjuk sebagai anak paling pintar untuk menjadi pusat distribusi jawaban. Bagaimana dia harus menuliskan jawaban di kertas dan mengedarkannya ke teman-temannya di tengah ujian.

Yang paling menohok adalah cerita tentang malam pasca ujian.
Alif menangis.
Dengan tubuh gemetar, dia bilang ke ibunya:
“Bu… aku gak kuat… aku gak mau bohong lagi…”

Dan Bu Siami berkata kalimat yang sampai hari ini masih terpatri di dadaku:

“Saya ajari anak saya jujur sejak kecil, Mas. Tapi sekarang… sekolah malah merusaknya.”

Aku pulang dari rumah itu dengan dada sesak. Tapi aku juga tahu… ini akan jadi perjalanan panjang. Dengan segala risiko yang menyertainya.

Strategi Liputan dan Koordinasi Media (awal Juni 2011)

Keesokannya, aku menyusun mind mapping risiko pemberitaan ini.

Titik rawan pertama: Dampaknya terhadap psikologis Alif dan keamanan Bu Siami.

Titik rawan kedua: Dampaknya terhadap reputasi sistem pendidikan Surabaya.

Titik rawan ketiga: Potensi backlash sosial dari warga Gadel.

Maka aku putuskan, framing awal pemberitaan harus soal laporan resmi Bu Siami ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya, bukan langsung soal nyontek massal. Ini akan memberikan perlindungan logika pada fakta, aku meliput peristiwa pelaporannya. Bukan menegaskan peristiwa nyontek masalnya di kesempatan pertama.

Saat itu, aku juga tahu… aku tidak bisa sendirian.

Aku menghubungi seorang wartawan muda dari Jawa Pos, Ulum, yang memang punya keberanian dan sense moral yang baik. Kami bersepakat: kami akan meliput dari angle berbeda… tapi dengan tujuan yang sama: mengawal kebenaran dan melindungi Bu Siami.

Hari itu, pekan pertama Juni 2011, Bu Siami resmi melapor ke Dinas Pendidikan Surabaya.

Dan sejak itu… bola salju mulai bergulir.

Laporan Yang Menghentak Bumi Gadel

Laporan Bu Siami menyebabkan Walikota Surabaya menindak tegas guru-guru yang terlibat. Kepala sekolah Sukatman dinonaktifkan dan dua guru kelas VI (Fatchur Rohman dan Prayitno) juga mendapat sanksi penurunan pangkat . Sekolah dan guru diduga mendesain skenario menyontek massal, termasuk simulasi pemberian jawaban sebelum UN .

Namun, analisis hasil ujian yang dilakukan Kemendiknas ternyata menemukan tidak ada pola jawaban identik di antara 60 siswa kelas VI tersebut. M. Nuh Menteri Pendidikan menyatakan, “karena pola jawaban tidak identik maka tidak ada contek massal” . Dengan kata lain, secara teknis didapati tidak terbukti nyontek masif, sehingga Kemdiknas membatalkan rekomendasi ujian ulang. Meskipun demikian, Kemdiknas mengakui ada instruksi kecurangan dari guru, dan guru-guru tersebut tetap diberi sanksi.

Sikap pemerintah sempat berubah-ubah. Awalnya Mendiknas sempat mengagumi keberanian Bu Siami dan merekomendasikan UN diulang, namun dua hari kemudian ia mengeluarkan pernyataan berlawanan. Keputusan tidak ada bukti nyontek massal tersebut mendapat sorotan publik dan bahkan dikritik karena dinilai menuduh Siami berdusta.

Prof. Daniel M. Rosyid seorang pengamat pendidikan yang saat itu menjabat Ketua Dewan Pendidikan Jatim mengingatkan bahwa menyontek adalah “budaya buruk” dan “menjadi awal dari korupsi” . Ia menekankan bahwa ketaatan pada kejujuran harus dipertahankan karena menyontek yang dianggap lumrah bisa membuka perilaku koruptif di masyarakat .
____

Pengadilan Jalanan di Balai RW (9 Juni 2011, Pagi)

Kamis pagi, 9 Juni 2011, aku hadir di Balai RW Gadel.

Bu Siami diadili oleh tetangganya sendiri.

Teror verbal, cacian, makian…
Jilbab hijaunya ditarik-tarik.
Anak-anak menyorakinya.
“Pengkhianat!”
“Sok suci!”
"Usir!!"
“Gara-gara kamu, nama Gadel jelek di media!”

Dan pagi itu juga selesai rapat warga yang berakhir ricuh, Polsek Tandes mengevakuasi Bu Siami dan keluarganya dengan mobil patroli ke Mapolsek Tandes.

… Aku mendampinginya. Duduk berhadapan dengan Bu Siami dan Pak Widodo suaminya di ruang tamu Mapolsek Tandes.

Udara siang Surabaya saat itu terasa berat. Bukan hanya karena hawa panas tropis bulan Juni… tapi karena kepadatan rasa yang menumpuk di antara kami.

Bu Siami duduk menunduk. Wajahnya letih. Matanya sembab, tapi sorotnya… masih mengandung sisa-sisa keberanian yang sama seperti pertama kali aku temui di ruang tamu rumahnya.

Aku tahu… siang itu, dia sudah berada di titik paling rentan dalam hidupnya.

Dan setelah menimbang, berpikir cepat, dan membaca peta risiko yang semakin liar… Akhirnya aku putuskan:
“Ibu… malam ini juga… sebaiknya mengungsi ke rumah orang tua di Gresik. Ini bukan soal takut. Ini soal mengamankan posisi moral Ibu… sebelum badai ini makin liar.”

Bu Siami menurut. Seperti biasa, ia tidak banyak berdebat. Dia paham… ini bukan tentang lari… tapi tentang menjaga “modal moral” yang sudah dengan susah payah ia bangun.

Dan di titik itulah… fase kedua perjuangan kami dimulai: fase pengelolaan opini publik.
____

Strategi Mengangkat Moral Rate Bu Siami (10–15 Juni 2011)

Sejak Bu Siami menetap di Gresik, aku bersama Ulum, wartawan muda dari Jawa Pos, mulai menyusun “strategi konten”.

Kami hanya berdua. Dan kemudian diikuti kawan-kawan media lainnya yang pada gilirannya secara bergelombang membentuk pagar betis moral untuk menjaga Bu Siami kelak di kemudian hari.

Dalam keterbatasan itu, kami bekerja dengan presisi. Satu-satunya cara melindungi Bu Siami saat itu adalah dengan mengangkat “morality rate”-nya setinggi mungkin di mata publik.

Logikanya sederhana… tapi penuh risiko:
“Semakin tinggi rating moralnya… semakin kuat public shielding-nya… semakin kecil kemungkinan dia dikriminalisasi… atau dikorbankan secara sosial oleh sistem.”

Langkah pertama: mengelola arus media nasional yang mulai berdatangan ke Gresik.

Setiap hari, wartawan dari Kompas, Tempo, Detik, Republika, hingga stasiun TV nasional seperti TV One, Metro TV, dan RCTI… datang bergantian ke rumah orang tua Bu Siami.

Dan di balik layar… aku tetap menjadi bayang-bayang di balik narasi.
Membisikkan pesan-pesan kunci… memberinya briefing singkat sebelum setiap wawancara.

“Bu… kalau ditanya soal alasan melapor, jawab dengan tetap menegaskan soal kejujuran… soal anak… soal moral… jangan sekali pun menyerang warga Gadel… jangan emosional… jangan reaktif… cukup tegas… dan konsisten.”

Dan seperti biasa… Bu Siami melakukannya dengan sangat baik.

Hasilnya mulai terlihat.

Tanggal 11 Juni 2011, headline mulai bergeser. Dari sebelumnya narasi tentang “geger kampung”, kini masuk ke isu “Ibu Kejujuran dari Gadel.”

Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua MPR, mulai memberikan statement positif di media: “Bu Siami adalah simbol kejujuran di tengah krisis moral bangsa ini.” (Kompas, 12 Juni 2011)

Dan puncaknya… media nasional mulai menayangkan profil panjang tentang perjuangan moral Bu Siami.

Kompas menulis feature berjudul “Ibu Siami, Si Jujur yang Malah Ajur”, terbit 15 Juni 2011, lengkap dengan foto-foto eksklusif dari Gresik. Tempo pun ikut mengangkat cerita ini dengan narasi lebih dalam tentang dilema moralitas di dunia pendidikan.

Bahkan, The Economist edisi Juni 2011 membuat artikel khusus berjudul “More Cheating, or Else!”, menjadikan kasus Gadel sebagai contoh buruk sistem pendidikan di Indonesia.

Moral rating Bu Siami melesat.

Tapi… di Gadel… suasana menjadi gelap.

Undangan dari Segala Penjuru

Dengan cepat, gelombang dukungan publik mulai membesar. Undangan datang dari berbagai lembaga: MPR, KPK, Komnas HAM, hingga komunitas pendidikan di Jakarta.

Program talkshow di TV swasta nasional mulai berlomba menghadirkan Bu Siami sebagai narasumber.

Dan setiap kali ada undangan… Bu Siami selalu berkonsultasi denganku.

“Mas, ini ada undangan dari stasiun TV… sebaiknya saya datang nggak?”

Atau…

“Ini dari KPK, mau diskusi soal pendidikan jujur… bagaimana menurut Mas?”

Dan aku… tetap pada prinsip yang sama:
“Ibu… setiap langkah Ibu… harus tetap dalam koridor nilai yang sama: kejujuran. Jangan sampai Ibu dibajak oleh agenda politik atau framing yang bisa jadi boomerang.”

Setiap pesan publiknya, kami atur.
Setiap angle berita, kami pantau.
Setiap statemen, kami pastikan tetap konsisten.

Dan yang terjadi?
Morality rate Bu Siami terus naik…
Hingga akhirnya… publik menjadikannya sebagai simbol nasional perlawanan terhadap budaya menyontek.

Stigma dan Luka Kolektif

Beberapa hari setelahnya, aku kembali ke Gadel. Bukan untuk wawancara, tapi untuk mengobservasi suasana sosial.

Aku masuk ke warung-warung kopi, pusat denyut perbincangan warga. Dan di situ aku mendengar: stigmatisasi terhadap seluruh warga Gadel sudah terjadi.

Ada pemuda yang ditolak kerja di bengkel tengah Kota Surabaya hanya karena KTP-nya menunjukkan alamat Gadel.

“Gara-gara kasus Bu Siami itu… kami semua jadi korban!” keluhnya kepada pemilik warung, seperti yang kudengar sendiri.

Dan di situ aku merasa: “Advokasi moral yang kukawal… ternyata melukai satu kampung.”

Fase Rekonsiliasi

Aku mulai menghubungi tokoh-tokoh masyarakat Gadel. Mengajak dialog. Mengedukasi.

Satu prinsip yang kutanamkan pada mereka: “Kalian tidak bisa pulih… tanpa mengakui… bahwa nyontek itu salah.”

Momen simbolik pun kami bangun.

Yang pertama: Tradisi Bersih Desa Gadel, yang jatuh di pekan ketiga Juni.
Saya usulkan: “Mari kita bersihkan… bukan cuma petilasan… tapi juga moral kampung ini.”

Yang kedua: Momentum Ramadan dan Idul Fitri, yang saat itu jatuh di akhir Agustus 2011.

Dan akhirnya… di pekan ketiga Juni 2011, momen islah sosial terjadi.
Tangisan pecah di Balai RW.
Pelukan maaf.
Dan Bu Siami… kembali ke kampungnya.

Rumah untuk Kejujuran (Akhir Juni–Agustus 2011)

Tanpa sepengetahuanku, sebuah paguyuban guru nasional mulai menggalang dana. Mereka meluncurkan gerakan: “Rumah untuk Kejujuran.” Setahuku itu juga dikawal oleh kawan-kawan dari Majalah Tempo.

Dan pada akhir Agustus 2011, dana itu cukup untuk membeli sebuah rumah baru untuk Bu Siami dan keluarganya… sekitar 5 km dari Gadel.

Bu Siami pindah.
Dan Alif… perlahan mulai membangun hidup baru.

Alif dan Luka yang Tersisa (2012–2025)

Setelah lulus SMP, Alif melanjutkan ke SMA Negeri 6 Surabaya. Kemudian, kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis prodi Studi Pembangunan Universitas Airlangga.
Setelah lulus, Alif diterima bekerja di sebuah bank asing besar, dan kemudian pindah ke sebuah bank BUMN. Sekarang dia masih menempuh diklat di sana dengan bekal doa Bu Siami. Doa seorang ibu yang ingin anaknya sukses dalam nilai yang mati-matian mereka bela : Kejujuran.

Satu hal lain yang kutahu pasti dalam perbincanganku dengan Bu Siami hari ini :
Luka dari peristiwa itu… tak pernah benar-benar hilang.

Trauma sosial, ketakutan akan stigma, tekanan mental. Semuanya membentuk karakter Alif menjadi pribadi yang gigih… tapi juga penuh waspada.

Epilog: Catatan Seorang Jurnalis

Kini… setelah hampir 14 tahun berlalu, aku menulis ini dengan dada yang tetap bergemuruh.

Aku sadar…
Tugas jurnalis tak berhenti di publishing… tapi juga di tanggung jawab sosial setelahnya.

Dan cerita Bu Siami adalah salah satu bab paling manusiawi dalam karir jurnalistikku.

Tentang kejujuran, tentang luka sosial,
dan tentang bagaimana satu suara kecil… dari satu ibu di sudut kampung… bisa mengguncang narasi moral satu bangsa.


*) Pernulis adalah Editor in Chief | Suara Surabaya Media

"Jurnalisme… bukan soal cerita yang tayang. Tapi soal siapa yang harus tetap utuh setelahnya"

______

Catatan Penulis
Penulis telah mendapatkan ijin dari Bu Siami untuk mempublikasikan tulisan refleksi ini. Ini adalah luka lama yang sudah 14 tahun lewat tapi belum sepenuhnya tertutup. Ada beberapa detail kejadian off the record dalam pemberitaan masa silam yang tidak dipaparkan secara lugas dalam tulisan ini, tapi cukup menjadi simbol demi menjaga privacy batiniah Bu Siami

Pewarta :
Editor: Abdul Hakim
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.