BKSDA NTB KESULITAN DETEKSI PERDAGANGAN TRENGGILING

id

          Mataram, 29/10 (ANTARA) - Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Barat (NTB), hingga saat ini masih kesulitan mendeteksi perdagangan ilegal trenggiling (manis javanica) karena lemahnya kemampuan untuk melakukan identifikasi baik di bandara maupun pelabuhan.

         "Yang masih menjadi kendala adalah kemampuan kita untuk mengidentifikasi kalau trenggiling dibawa dalam kondisi sudah menjadi produk,"  kata Kepala BKSDA NTB Asep Sugiharta di sela-sela kegiatan asistensi implementasi "Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora" (CITES) di Mataram, Kamis.

         Trenggiling adalah mamalia yang mempunyai sisik di sekujur tubuhnya. Hewan ini mirip komodo dengan ukuran yang lebih kecil. Hewan ini menggunakan mulutnya yang moncong meruncing di bagian depan untuk mencari semut atau hewan kecil lain di antara bebatuan dan semak sebagai makanannya.

         Sugiharta mengakui bahwa perdagangan trenggiling secara ilegal di wilayah NTB ada tetapi pihaknya belum mampu mendeteksi berapa jumlah yang diperdagangkan setiap hari karena pada saat ada temuan baik di bandara maupun di pelabuhan dokumennya dalam bentuk produk lain seperti daging ayam atau daging sapi.

         "Itu yang susah. Kita tidak bisa menangkap langsung orang yang punya barang karena kita belum punya pembanding yang bisa membedakan apakah itu daging trenggiling atau bukan," ujarnya.

         Selain lemahnya kemampuan mengidentifikasi  daging trenggiling yang sudah menjadi produk makanan, kata Asep, pihaknya juga kesulitan melakukan penggeledahan terhadap mobil truk atau mobil box yang dicurigai membawa daging trenggiling.

         Untuk bisa melakukan hal itu perlu ada informasi yang akurat dari masyarakat, sehingga pihaknya bisa leluasa melakukan pengamanan baik di pelabunan maupun di bandara tanpa ada resiko tuntutan hukum.

         "Kita punya kewenangan menggeledah kendaraan yang akan menyeberang kalau sudah ada informasi positif dari masyarakat bahwa mobil itu membawa trenggiling, tetapi kalau tidak ada, lantas kita menggeledah sembarangan, kita bisa dituntut," tegasnya.

         Ia mengatakan, pihaknya mendapatkan informasi bahwa para pelaku menjual daging hewan yang dilindungi undang-undang itu secara ilegal di dalam negeri seharga sekitar Rp100 ribu perkilogram, sedangkan di luar negeri harganya bisa mencapai sekitar Rp500 ribu perkg.

         Para pelaku juga memperoleh pasokan hewan mamalia itu dari wilayah Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur dan Pulau Sumbawa.

         Trenggiling yang dijual ke luar negeri di kirim melalui jasa kargo dengan status dokumennya produk lain, sehingga tidak dicurigai oleh petugas Bea Cukai.

         "Trenggiling banyak dijual ke Taiwan dan Hongkong, karena warga negara itu cukup menggemari daging trenggiling, dan kulitnya juga laku keras untuk pembuatan sepatu, tas dan produk kerajinan lainnya," ujarnya.

         Oleh sebab itu, kata Asep, melalui media asistensi implementasi CITES  atau kesepakatan antarnegara tentang perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar (TSL) mampu memperkuat posisi masing-masing lembaga yang memiliki peran seperti BKSDA, kepolisian, Balai Karantina Hewan dan Tumbuhan, Bea Cukai dan instansi lain yang terkait dalam upaya meminimalisasi perdagangan TSL secara ilegal.(*)