Mataram (ANTARA) - Rakyat Palestina pada Rabu (26/6) mencemooh rencana perdamaian yang digembar-gemborkan banyak pejabat AS buat konflik Palestina-Israel, dan mengatakan kerangka kerjanya bagi dorongan perdagangan dan penanaman modal mengabaikan aspirasi politik mereka bagi negara merdeka.
Negara-negara Teluk yang menghadiri pertemuan internasional di Bahrain, yang dipelopori oleh arsitek rencana itu --menantu Presiden AS Donald Trump, Jared Kushner, memberinya dukungan berkualitas.
Tapi mereka juga menekankan bahwa setiap penyelesaian perdamaian harus dilandasi atas penyelesaian dua-negara, demikian laporan Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis.
Kushner mengatakan kepada wartawan timnya akan menyiarkan perincian politik dalam rencana tersebut, yang masih menjadi rahasia. "Ketika kita siap," ia menambahkan, "kita akan melihat apa yang terjadi."
Ia mengatakan kesepakatan perdamaian akan terjadi ketika kedua pihak siap mengatakan "ya". Ia mengakui bahwa mereka tak pernah sampai ke sana.
Baik Pemerintah Palestina maupun Israel tidak mengirim wakil ke pertemuan itu, yang berlangsung di tengah kebuntuan selama beberapa tahun dalam upaya lain internasional guna menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama lebih dari 70 tahun.
Pejabat senior Organisasi Pembebasan Palestina Hanan Ashrawi, yang berbicara di Kota Ramallah, Tepi Barat Sungai Jordan, mengatakan konferensi Manama "sangat tidak jujur".
"Itu benar-benar bercerai dari kenyataan. Gajah di dalam ruangan adalah pendudukan (Israel) sendiri," kata Hanan Ashrawi dalam satu taklimat.
Beberapa ribu orang Palestina berdemonstrasi di Jalur Gaza, yang dikuasai HAMAS, dan membakar poster Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. "Tidak buat konferensi pengkhianatan, tidak buat konferensi yang memalukan", demikian tulis pada satu spanduk.
Kepala HAMAS, Ismail Haniyeh, mengecam rencana tersebut sebagai penipuan terhadap rakyat Palestina.
"Uang ini tak boleh datang dengan mengorbankan hak abadi kami, atau dengan mengorbankan Jerusalem atau hak pulang atau dengan mengorbankan kedaulatan dan perlawanan," katanya.
Sementara itu menteri luar negeri Bahrain mengatakan rencana tersebut --yang dipersiapkan selama hampir dua tahun-- adalah "peluang yang tak boleh lepas".
Ia kembali menyampaikan perlunya bagi penyelesaian dua-negara, yang telah melandasi setiap rencana perdamaian selama beberapa dasawarsa, tapi tim Trump terus-menerus telah menolak untuk menyampaikan komitmen pada itu.