Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo ditanya soal kemungkinan penerapan hukuman mati kepada pelaku korupsi oleh siswa SMK Negeri 47 Jakarta
"Mengapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas? Kenapa tidak berani (seperti) di negara maju misalnya dihukum mati? Kenapa kita hanya penjara tidak ada hukuman tentang hukuman mati?," tanya Harli Hermansyah, siswa kelas XII jurusan Tata Boga SMK Negeri 57, Jakarta, Senin.
Pertanyaan itu dia lontarkan kepada Jokowi dalam acara Pentas #PrestasiTanpaKorupsi di SMK Negeri 57 di Jakarta.
Baru-baru ini terpidana korupsi, Annas Maamun, diberi grasi oleh presiden; juga terpidana korupsi PLTU Riau-1, Idrus Markham, yang permohonan kasasinya dikabulkan Mahkamah Agung sehingga masa tahanannya dikurangi dua tahun dari lima tahun penjara.
Sementara di banyak negara, koruptor justru dijatuhi hukuman mati, sebagaimana terjadi di China dan Korea Selatan.
"Kalau di undang-undang ada yang korupsi dihukum mati ya dilakukan tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati ,tidak ada betul Pak Menkumham?" jawab Jokowi, seraya bertanya dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, yang juga menghadiri acara itu.
Laoly lalu menjawab bahwa dalam UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah ada aturan mengenai hukuman mati bagi pelaku korupsi tapi penerapannya terbatas.
"Kalau korupsi bencana alam dimungkinkan," kata Laoly.
Dalam pasal 2 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor disebutkan: (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Adapun yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
"Kalau korupsi bencana alam dimungkinan, kalau tidak, tidak (dihukum mati) misalnya ada gempa tsunami di Aceh atau di NTB kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana duit itu dikorupsi bisa," kata Jokowi.
Namun Jokowi menyatakan, "Tapi sampai sekarang belum ada (yang dihukum mati) karena korupsi bencana, belum ada. Yang sudah ada (aturah hukuman mati) saja belum pernah diputuskan hukuman mati meski di UU ada, belum tentu diberi ancaman hukuman mati, di luar itu belum ada undang-undang yang mengatur."
"Tapi apapun yang namanya korupsi baik bencana besar kecil itu sama saja namanya juga korupsi tidak boleh. Memang pemerintah saat ini dalam proses membuat sistem agar pejabat-pejabat yang ada itu tidak bisa melakukan korupsi agar pagarnya itu bisa menghilangkan korupsi yang ada di negara kita," katanya.
Jokowi pun mengakui bahwa pekerjaan pemberantasan korupsi bukan pekerjaan yang mudah dilakukan dan dapat dikerjakan dalam waktu singkat.
"Tapi apapun semua butuh proses, negara-negara lain juga butuh proses. Ini bukan barang gampang ditangani tapi yakinlah kita semua, pemerintah, KPK terus berupaya mengurangi, menghilangkan korupsi di negara kita," katanya.
Ia juga membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi korupsi dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Tipikor, agar itu (hukuman mati) dimasukkan, tapi sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," kata dia.
Bisa saja hal penerapan hukuman mati itu menjadi UU usulan pemerintah. "Bisa saja (usulan pemerintah), kalau jadi kehendak masyarakat," kata dia.