Alkisah Penghargaan untuk Bu Ote-Ote

id Bu Ote-Ote

Alkisah Penghargaan untuk Bu Ote-Ote

Ilustrasi - Kerajinan aksesoris bermotif bunga (Ist)

Saya sampai dapat panggilan Bu Ote-Ote di kalangan murid-murid sekolah karena saking larisnya dagangan ote-ote yang saya tawarkan
Cobaan demi cobaan yang menghadang dan sempat mengolengkan perahu bisnis aksesorisnya, tidak lantas membuat Ni Nyoman Sumertini patah arang dan menghentikan langkah.

Di mana bersandarkan kepercayaan pada Tuhan, perempuan ini kembali menuang kreativitas pada media logam.

"Menggunakan bahan baku emas, perak dan tembaga, saya menawarkan berbagai perhiasan yang mengusung etnik khas Pulau Dewata," kata Nyoman Sumertini, pelaku usaha kerajinan perhiasan di Denpasar, Bali.

Mengawali usaha pada awal tahun 2001, perjalanan usaha itu tidak senantiasa berjalan lancar sesuai dengan harapan. Beberapa cobaan sempat menghadang. Salah satu cobaan yang cukup telak ketika seorang relasi bisnis dengan terang-terangan takmau mengembalikan berbagai aksesoris yang dipinjamnya. Padahal, harga produk yang dipinjam mencapai Rp54 juta.

Sumertini dan suaminya, Wayan Toya, sempat dibuat kelabakan. Berbagai upaya dilakukan demi menemuikan solusi. Namun, tidak kunjung berhasil. Dikarenakan tidak jua mendapat penyelesaian, urusan itu berlanjut hingga ke kepolisian.

"Sekarang, saya lebih selektif menilai relasi. Namun, yang lebih penting, saya jadi lebih dekat kepada Sang Hyang Widi Wasa. Saya percaya, di balik musibah, selalu ada hikmah," kata perempuan asal Bangli ini.


                         Bu Ote-Ote


Bisnis aksesoris, menurut Sumertini, pada awalnya diterjuni secara taksengaja. Setelah tamat sekolah menengah atas di kampungnya, Sumertini memilih bekerja di toko swalayan di Denpasar. Sembari bekerja, dia menjual berbagai aksesoris, yang didapatkan dari kampungnya di Banjar Pande, Desa Cempaga, Bangli.

Sampai suatu ketika, seorang teman baiknya mengingatkannya agar memikirkan masa depan. Apabila sehari-hari hanya sekadar mengandalkan gaji karyawan toko meski suaminya bekerja sebagai PNS, tentu sulit untuk memperbaiki kualitas hidup, terutama dari segi finansial.

Peringatan sahabatnya, membuat Sumertini terus memikirkannya, hingga akhirnya mengambil keputusan berani dengan keluar dari tempat kerjanya. Sebagai gantinya, dia mencoba peruntungan dengan berjualan jajanan ote-ote untuk anak-anak sekolah pada tahun 1995.

"Saya sampai dapat panggilan Bu Ote-Ote di kalangan murid-murid sekolah karena saking larisnya dagangan ote-ote yang saya tawarkan. Banyak murid yang menunggu ote-ote yang saya jual sebelum mereka membeli nasi," katanya sembari tersenyum mengenang.

Saat masa laris-larinya jajan itu, dalam sehari Sumertini bisa menghabiskan 1,5 sak tepung terigu. Begitu tepung terigu diolah menjadi bahan makanan, ote-ote yang dijual Sumertini nyaris takpernah tersisa. Semuanya ludes diperebutkan murid-murid. Sayangnya, bisnis jajanan ini akhirnya membuat Sumertini kewalahan.

"Lama-lama harga tepung terigu dan gas merangkak naik. Saat mulai berjualan, harga tepung terigu masih Rp20 ribu/sak. Dan, gas yang 12 kg masih Rp12 ribu/tabung. Pada tahun 2005, terigu sudah mencapai Rp65 ribu/sak dan gas Rp60 ribu/tabung. Keuntungan jadi makin tipis meski dagangan tetap laris. Apa boleh buat, saya terpaksa menutup usaha itu," ucapnya dengan wajah sendu.


                          Bisnis Aksesoris


Keterpaksaan menutup usaha jajanan, membuat perempuan tiga anak ini kembali berpikir keras agar bisa melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan penghasilan. Kali ini, pilihannya adalah berbisnis aksesoris perhiasan dari bahan logam, berhubung di kampungnya telah banyak warga yang membuatnya sebagai mata pencaharian, dan telah dilakoni berpuluh-puluh tahun.

"Saya tidak mau main-main lagi dalam bisnis, dan tertekad akan berjuang agar bisa eksis. Modal yang saya siapkan saat itu mencapai Rp54 juta," ujarnya.

Modal itu dipergunakan untuk melengkapi produk aksesoris dan membenahi etalase di ruang usaha yang waktu itu terletak di Dusun Kertha Bumi, Desa Sumerta Kaja, Denpasar Timur. Sekarang usaha Sumertini sudah berganti alamat di wilayah Tulip, Denpasar.

Sumertini menuturkan, semasa awal memulai usaha, dirinya berjuang keras dengan mendatangi teman-temannya untuk mempromosikan produknya. Takhanya itu, dia juga rajin datang ke salon-salon dan menyebarkan kartu nama usahanya. Setelah berjalan beberapa bulan, konsumen mulai berdatangan. Usaha Sumertini pun mulai melaju lancar.

"Usaha saya makin dikenal setelah beberapa kali saya mengikuti pameran. Pada suatu event pameran, desainer Anne Avantie dan Ghea Panggabean tertarik pada produk saya. Sampai sekarang, kedua desainer itu masih sering memesan aksesoris pada saya. Anne lebih sering memesan bros dan gelang, sedang Ghea pesanannya lebih variasi. Kadang perhiasan rambut, ikat pinggang, atau gelang," ucap dia panjang lebar.

Keikutsertaan Sumertini dalam berbagai pameran, diakuinya sudah dilakukan sejak 2002 saat dirinya belum lama membuka usaha. Berkat kualitas produknya, akhirnya Dinas Perindustrian Kota Denpasar menawarkan padanya untuk berpartisipasi dalam pameran di Surabaya. Pameran itu meninggalkan kesan bagi perempuan ini karena sambutan konsumen di Kota Pahlawan amat luar biasa. Berbagai produk aksesoris yang dibawa Sumertini mendapat perhatian yang tersendiri dari konsumen.

Jenis aksesoris yang ditawarkan Sumertini ke konsumen, meliputi mahkota atau hiasan kepala, suweng, cincin, ikat pinggang, bros, dan gelang. Aksesoris itu dibuat dari bahan kuningan, tembaga, dan perak yang bagian luarnya disepuh menggunakan emas sehingga terlihat berkilauan serta menarik perhatian saat dikenakan.

Model aksesoris itu sebagian besar terinspirasi dari desain tradisional Bali sehingga mayoritas bertema aneka flora. Misalnya, bunga mawar, tunjung, waru, semanggi atau jepun. Biasanya, Sumertini yang menentukan sendiri desain sebuah produk. Setelah itu, baru disampaikan kepada karyawannya untuk dikerjakan.

"Sering juga ada konsumen yang memesan desain tertentu. Misalnya, layang-layang, gurita, atau anak kodok, yang biasa disebut berudu, untuk model bros. Tidak ada tambahan harga untuk konsumen yang memesan desain tertentu. Yang jelas harga didasarkan pada bahan baku dan kerumitan pengerjaan saja," tutur wanita kelahiran tahun 1968 ini.

Untuk harga-harga aksesoris, dipatok mulai Rp125 ribu--Rp12 juta. Omzet yang diperoleh berkisar Rp65 juta. Harga aksesoris Rp125 ribu berupa bros berbentuk keris dengan bahan tembaga, sedangkan produk yang dijual dengan harga Rp12 juta adalah seperangkat perhiasan yang lazim dipesan pengantin. Bahkan, bukan hanya warga lokal saja yang tertarik, sesekali ada wisatawan asal Jerman yang memesan hiasan kepala untuk dipakai karnaval di negaranya.

"Saya bersyukur dengan pencapaian ini. Bersyukur pula karya-karya aksesoris saya mendapat apreasiasi karena beberapa kali saya mendapatkan penghargaan atas desain perhiasan. Seperti penghargaan dari desainer senior dan Dekranasda. Penghargaan ini memacu saya untuk berkreasi lebih kreatif lagi," katanya.

*) Penulis buku dan artikel