Jakarta (ANTARA) - Mantan pimpinan KPK Laode M Syarif mengusulkan agar para staf khusus Presiden Joko Widodo membuat deklarasi agar tidak melakukan konflik kepentingan selama menjabat.
"Saya kasihan sama mereka karena ini anak-anak pintar, rising star, inovatif, baik, tapi dengan mencemplungkan diri ke situ (pemerintahan) mereka jadi susah mereka. Kalau yang lain itu pengusaha semua, mereka harus membuat deklarasi antikonflik kepentingan selama jadi staf khusus," kata Syarief, di suatu diskusi dalam jaringan, di Jakarta, Jumat.
Diskusi itu bertema "Konflik Kepentingan dan Penegakan Hukum Tinda Pidana Korupsi" yang digagas Indonesia Corruption Watch (ICW).
Dari tujuh staf khusus Presiden Jokowi dari kalangan muda, ada dua orang yang sudah mengundurkan diri yaitu CEO Ruangguru, Adhamas Belva Devara, dan CEO PT Amartha Mikro Fintek, Andi Taufan Garuda Putra. Keduanya dikritik karena Ruangguru terlibat dalam pengadaan Kartu Pra Kerja bernilai triliunan rupiah dan Amartha terlibat dalam program Relawan Desa Lawan COVID-19 melalui suratnya kepada para camat se-Indonesia.
Masih ada lima orang staf khusus Jokowi dari kalangan muda ini, yaitu Putri Indahsari Tanjung (CEO dan pendiri Creativepreneur); Ayu Kartika Dewi (pendiri Gerakan Sabang Merauke), Gracia Billy Mambrasar (CEO Kitong Bisa), Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise), serta Aminuddin Maruf (santri yang juga mantan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
"Deklarasi itu mengatakan perusahaan saya tidak akan mendapatkan proyek pemerintah apapun, tapi khan sayang ya? Kalau saya jadi staf khusus saya keluar saja (dari perusahaan). Jadi memang harus ada deklarasi. Kasihan anak-anak ini terkurung padahal punya potensi," kata Laode.
Namun bila mereka ingin dilihat sebagai contoh oleh anak muda lain, hal tersebut menurut Laode harus dilakukan.
"Berat kalau memang, tapi bila ingin dikenang sebagai contoh oleh teman-teman milenial, mereka harus bikin deklarasi benturan kepentingan bahwa diri pribadi mereka dan perusahaan mereka tidak akan mendapat keuntungan dari proyek negara karena konflik kepentingan adalah satu tangga terakhir sebelum perbuatan korupsi," katanya.
Ia mengaku bahwa sebelumnya ia pun berharap anak muda bertindak lebih baik dibanding kaum senior atau mauk golongan baby boomers.
"Tapi selama saya di KPK sebenarnya perilaku orang tua atau orang muda sama saja juga. Contohnya Pak Setya Novanto ya memang sudah berkarir sejak Orde Baru tapi ada (mantan) Gubernur Jambi, Zumi Zola, atau dari daerah saya, Waode Nurhayati. Memang misalnya mereka mengatakan niat baik saya mau membantu kampung tertentu tapi saya dahulukan kampung saya dibanding yang sebelah," kata Syarif.
Namun ia pun menghargai pengunduran diri Belva dan Andi Taufan.
"Contohnya Andi Taufan menyurati camat agar kalau bisa dibantu, ini adalah konflik kepentingan. Saya hargai pengundurkan diri mereka termasuk Belva. Tapi jangan-jangan anak-anak muda sudah teracuni kepalanya dengan konflik kepentingan, ternyata milenial dan 'kolonial' sama saja sifatnya kalau sudah uang, lupa semuanya," kata Syarif.
Sedangkan peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, meski kedua staf khusus presiden mundur, ia berharap Jokowi juga meminta maaf karena salah memilih staf khusus.
"Harusnya yang dilakukan presiden meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia karena perilaku dua staf khusus ini," kata Ramadhania yang juga berusia muda alias milenial.
Ia pun mengutip TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih berlaku.
Di dalam Ketetapan MPR itu dinyatakan: Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
"Kita juga tidak tahu mereka mundur apakah karena sadar melakukan konflik kepentingan atau karena didesak oleh masyarakat luas, jadi dorongannya dia mundur sudah tanggung jawab presiden. Ini juga jadi evaluasi bagi Presiden Jokowi agar tidak sembarangan mengangkat staf khusus karena gimmick milenial hancur karena pengangkatan dan tindakan dua orang staf khusus itu," katanya.
Selain staf khusus dari kalangan muda, dia juga mengkritik staf khusus lain presiden.
Saat ini, Jokowi juga punya enam orang staf khusus lain, yaitu Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana (staf khusus bidang politik dan pemerintahan), Sukardi Rinakit (staf khusus bidang politik dan pers), Arif Budimanta (ahli ekonomi dari Megawati Institute, Diaz Hendropriyono (ketua umum PKPI dan juga staf khusus bidang sosial), Dini Shanti Purwono (staf khusus bidang hukum dan kader PSI), serta Fadjroel Rachman (staf khusus sebagai juru bicara presiden).
"Saya tidak tahu apa fungsi 14 orang ini memberikan rekomendasi apa, jadi lebih baik saran yang mereka berikan ke presiden juga diberikan ke publik untuk mengukur kualitas stafsus itu. Kalau tidak bisa memberikan saran ya buang-buang duit saja membayar mereka di sekitar presiden," kata dia.
Ia pun berharap Jokowi mengevaluasi seluruh staf khusus dari kalangan muda atau staf khusus yang sudah berumur. "Sudahkan saran mereka membantu atau tidak (terhadap) kebijakan Presiden Jokowi," kata dia.