Mataram (ANTARA) - Inna lillaahi wainna ilaihi rooji’uun. Selamat jalan Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso. Mantan Panglima TNI itu berpulang ke Rahmatullah pada Minggu pagi 10 Mei 2020 dalam usia 68 tahun. Semoga almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisiNya.
Djoko Santoso meninggal dunia setelah beberapa hari dirawat secara intensif di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta karena mengalami pendarahan di otak.
Almarhum meninggalkan istri, Angky Retno Yudianti dan dua anak, sepasang putera-puteri yang keduanya kini menjadi anggota DPR, Andika Pandu Puragabaya dan Ardhya Pratiwi Setyowati.
Djoko Santoso adalah Panglima TNI pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia menjabat Panglima sejak 28 Desember 2007 hingga 28 September 2010.
Pensiun dari militer, Djoko Santoso melanjutkan kariernya, bergabung dengan Partai Gerindra pada 2015. Dia masuk struktur Dewan Pembina, dan pada Pilpres 2019 menjadi Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.
Catatan perjalanan hidupnya menunjukkan bahwa Djoko Santoso adalah jenderal yang berdedikasi tinggi, mempunyai kemampuan lobi yang mumpuni, dan bisa diterima semua kalangan. Tetapi dia dikenal tetap rendah hati dan tidak suka menonjolkan diri.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang bisa berfikir jernih dan tajam untuk berbagai urusan, mulai dari strategi tempur, manajemen pengelolaan massa, reformasi TNI, penciptaan perdamaian, sampai mendorong kembali gerakan Keluarga Berencana (KB) Nasional.
Djoko Santoso berpegang pada adagium Jawa “Sepi ing pamrih rame ing gawe”, alias karya nyata yang diutamakannya ketimbang berwacana sampai berbusa-busa di depan media untuk kepentingan pencitraan.
Dalam banyak kesempatan ia menyatakan ingin memberikan kontribusi nyata “membayar hutang sejarah” sebagai rakyat yang meniti karier militer mulai dari bawah hingga menduduki posisi tertinggi di ketentaraan nasional, yakni Panglima TNI.
Catatan karier militernya menunjukkan, Djoko Santoso adalah tokoh yang mampu meredam konflik di Ambon pada 2002. Sebelumnya banyak kalangan berpendapat, konflik berdarah-darah yang bernuansa SARA dan sangat mengerikan itu akan selesai dalam 50 tahun.
Dua Pangdam XVI/Pattimura sebelumnya gagal meredam konflik tersebut. Tetapi ketika Djoko Santoso menjadi Pangdam Pattimura, konflik Ambon dapat diselesaikan dalam enam bulan. Para tokoh agama di Ambon, apakah Kristen, Katolik atau Islam mengakui prestasi gemilang putera Solo kelahiran 8 September 1952 itu.
Sebelumnya, saat menjadi Danrem 072/Pamungkas di Yogya pada 1998, Djoko Santoso juga berhasil menjadikan demo sejuta massa untuk menjatuhkan Soeharto berjalan aman dan damai, bahkan tidak satupun kaca retak, sementara Jakarta, Makassar, bahkan Solo saat itu bergolak, rusuh, dan mencekam.
Djoko Santoso lulus Akademi Militer Indonesia tahun 1975 dan mengikuti pendidikan penjenjangan militer, yakni Suslapa Infantri, Kursus Dasar Para, Kursus Pengamanan dan Penyelidikan, dan Seskoad sampai Lemhannas.
Di luar pendidikan kemiliteran ia mendapatkan gelar kesarjanaan S-1 Sosial Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Terbuka yang dilanjutkannya dengan Program Pendidikan S-2 Bidang Manajemen di perguruan tinggi yang sama.
Sebagai pengakuan berbagai pihak atas kualitas kepemimpinannya di lingkungan kemiliteran, Djoko Santoso telah dianugerai berbagai bintang dan medali dari TNI dan Polri, termasuk Satya Lencana Seroja, Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Bayangkara Utama, dan Bintang Mahaputra Adipradana.
Dari negara tetangga, Djoko Santoso juga menerima sejumlah penghargaan, di antaranya Bintang Pingit Jasa Gemilang dari Angkatan Bersenjata Singapura dan The Knight Grand Cross of The Most Noble Order of The Crown dari Angkatan Bersenjata Thailand.
Selain itu ia menerima Bintang Darjah Paduka Keberanian Laila Terbilang Yang Amat Gemilang Darjah Pertama dari Angkatan bersenjata Brunei dan Bintang Pahlawan Gagah Angkatan Tentara dari Angkatan Bersenjata Malaysia.
Tentang mantan Panglima TNI itu, Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siraj dalam beberapa kesempatan mengatakan, Djoko Santoso adalah jenderal yang bersih dari pelanggaran HAM dan korupsi serta merupakan tokoh penting di balik reformasi TNI.
Ketua Umum PBNU juga mengapresiasi Djoko Santoso yang bisa bersikap tegas terhadap negara-negara tetangga, terutama dalam urusan batas wilayah laut saat ia menjabat Panglima TNI.
Dalam rentang rekam jejak perjalanan karier militernya, almarhum dikenal sebagai komandam yang setulusnya dicintai anggota-anggotanya di pleton, kompi, batalyon, brigade, divisi, daerah militer sampai Cilangkap, Markas Besar TNI di Jakarta Timur saat ia menjabat Panglima TNI.
Pelajaran yang bisa diamati, dicermati, kemudian dicerna dari kualitas diri Djoko Santoso antara lain di sekitar kemampuan dirinya untuk “lebih bisa merasa daripada merasa bisa”.
Falsafah inilah yang tampak sekali telah menjadikan dirinya sebagai figur prajurit berkelas yang kemudian bisa menyandang empat bintang pada pundaknya.
Ia juga dikenal sebagai prajurit militan yang menjalani karier ketentaraannya dengan merujuk kepada keteladanan luhur tokoh idolanya, Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Inti pelajaran yang tampak banyak diambil oleh Djoko Santoso dari idolanya itu ialah di sekitar kecintaannya pada bangsa dan negara, berlandaskan pada patriotisme dan militansi sebagai prajurit dari sebuah negara besar dan bersejarah besar: Indonesia.
*Penulis, Aat Surya Safaat adalah Direktur Pemberitaan LKBN ANTARA 2016-2017. Wartawan Senior itu, bersama Edi Utama, rekannya sesama wartawan ANTARA menulis buku “Djoko Santoso Bukan Jenderal Kancil” dan “Djoko Santoso: Dari Baret Hijau ke Kopiah Putih”.