Jakarta (ANTARA) - Pria yang mengalami trauma setelah istri melahirkan mengeluarkan beberapa gejala seperti mudah cemas, sensitif hingga sering teringat pada kejadian saat persalinan.
Psikolog Ajeng Raviando mengatakan jika tanda-tanda trauma atau stres pasca-persalinan atau PTSD (Post-natal Post Traumatic Stress Disorder) yang dialami pria tidak jauh berbeda dengan wanita.
Berbeda dengan istri yang sumber traumanya lebih banyak karena sensasi nyeri, suami cenderung teringat dengan seluruh suasana yang terekam di otaknya. Apa yang ia dengar dan lihat, sulit terhapus dari ingatan.
"Karena suami kan melihat langsung, jadi kemungkinan besar gambaran proses melahirkan itu terekam jelas. Misalnya, ketika melihat darah, ia jadi teringat saat istrinya perdarahan, atau saat mendengar anaknya nangis. Bahkan ingatan dari penciuman, seperti bau obat atau bau yang mengingatkan dengan rumah sakit, akan memicu rasa cemas," jelas Ajeng melalui keterangan resminya dikutip Minggu.
Ajeng menjelaskan untuk beberapa kondisi yang lebih ekstrem, suami dengan stres dan trauma pasca-melahirkan akan mengalami mimpi buruk. Post-natal PTSD juga bisa memicu perubahan perilaku.
Beberapa pria menjadi super sensitif dan terlalu khawatir dengan kondisi sang istri serta anaknya. Respons ini mungkin bisa tergolong cukup baik karena pada akhirnya suami menjadi lebih perhatian terhadap istri dan juga sang anak, selama tidak berlebihan.
Respons tidak peduli juga mungkin ditunjukkan oleh pria yang mengalami kondisi ini. Menurut Ajeng, ada suami yang menjadi pasif dan tidak peduli dengan istri yang sibuk merawat bayi mereka.
Ajeng mengatakan dukungan istri sangat dibutuhkan untuk membantu suami melewati trauma meski mungkin dirinya sendiri juga membutuhkan bantuan.
"Meski sulit, istri harus paham dengan kondisi suami dan sebisa mungkin memberikan dukungan," ujar Ajeng.
Penanganan terbaik untuk mengatasi trauma pasca-melahirkan bagi suami adalah dengan berkonsultasi pada seorang profesional, psikiater atau psikolog. Menurut Ajeng, pendekatan terapi yang dilakukan adalah Trauma Focus Cognitive Behavioral Therapy (TFCBT).
"Terapi difokuskan pada traumanya. Memang akan tidak nyaman karena pasien dipaksa mengingat kembali kejadian. Tapi, ini membantu mereka untuk bisa lebih menerima kondisi dengan realistis, menghadapi dan bukan menghindar, yang pada akhirnya bisa melepaskan itu semua," jelas Ajeng.