BERBURU EMAS DI PULAU LOMBOK DAN SUMBAWA Oleh Anwar Maga

id

"Ini Pak, cari emas," ujar wanita setengah baya sambil menghentikan aktivitasnya memukul bongkahan batu ketika sejumlah wartawan menghampirinya dan menanyakan apa yang hendak dicari dari batu-batu itu.
{jpg*2} Palu besi di tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih memegang bongkahan batu, ketika wanita yang mengaku bernama Hj. Munawaroh (35) itu, menatap rombongan wartawan yang makin dekat dengan posisi duduknya.
Dengan gaya bersahaja dan penuh keramah-tamahan, wanita itu kemudian menceritakan upayanya mencari butiran-butiran emas dari bongkahan batu yang harus dipecahkan menjadi batu-batu kerikil berdiameter sekitar satu sentimeter.
Batu-batu kerikil itu kemudian dimasukkan dalam tabung berdiameter sekitar 30 sentimeter. Tabung itu diberi air dan air raksa (merkuri) serta batangan logam yang berfungsi menghancurkan kerikil-kerikil itu ketika tabung itu berputar yang digerakkan oleh mesin listrik, hingga menjadi lumpur.
Seperangkat mesin listrik beserta tabung-tabung besi dan peralatan lainnya itu disebut mesin gelondongan emas tradisional, yang nilainya mencapai Rp20 juta hingga Rp25 juta per unit. {jpg*4}
Dalam lumpur itu akan terlihat gumpalan berkilau karena air raksa tidak larut dalam air. Diyakini dalam gumpalan itu mengandung butiran emas, sehingga gumpalan air raksa itu disaring menggunakan kain tipis, dan yang tersisa dalam kain itu merupakan butiran emas bewarna putih. {jpg*5}
"Nanti, kalau sudah dipanaskan emas putih ini akan bewarna kuning," ujar Munawaroh sambil menunjuk butiran emas putih dalam genggaman tangan putranya yang diperoleh dari proses gelondongan dalam tabung besi itu.
Istri dari H. Zainal Arifin yang telah mempunyai tiga orang anak itu merupakan satu dari ribuan warga Desa Sekotong Tengah, dan desa-desa lainnya di sekitar pegunungan Sekotong, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yang setiap hari memecahkan bongkahan batu yang diyakini mengandung kadar emas.
Tidak jauh dari kediaman Munawaroh, warga Dusun Lendang Re, Desa Sekotong Tengah lainnya seperti Nasri (49) dan keponakannya Andi (23) yang juga menggeluti usaha serupa. {jpg*3}
Sejak dua tahun terakhir ini, satu demi satu warga Sekotong yang dulunya bekerja sebagai petani, beralih menjadi pemecah batu berkadar emas. Selain butiran emas yang dapat dihasilkan dari bongkahan batu itu, lumpur hasil gelondongan juga dapat dijual.
Bagi para wanita dalam sehari mampu memecahkan dua karung bongkahan batu kemasan 50 kilogram, dan bagi kaum pria mampu 3-4 karung. Setiap karung bongkahan batu itu dapat menghasilkan 0,5-2 gram butiran emas jika mujur, sementara satu karung bongkahan batu itu dijual dengan harga Rp25 ribu.
Butiran-butiran emas itu dapat langsung dijual kepada pedagang pengumpul dengan harga Rp400 ribu/gram untuk kadar emas 24 karat, Rp160 ribu untuk 12 karat dan Rp30 ribu untuk 10 karat.
Bongkahan-bongkahan batu itu diperoleh dari ratusan lubang tambang tradisional di pegunungan Sekotong, dan hasil pencarian secara acak di permukaan bukit Sekotong. Namun, warga yang menggali dari lubang tambang dan mencari di permukaan bukit, umumnya tidak melakukan proses gelondongan.
Pencarian bongkahan batu mengandung kadar emas secara langsung di lubang galian tambang lebih berisiko, dan tidak sedikit yang tewas terkubur dalam lubang, atau terlibat perkelahian memperebutkan bongkahan batu itu hingga mati sia-sia.
Selain keberanian beraktivitas di lubang tambang, keahlian juga sangat menentukan keberhasilan memperoleh bongkahan batu berkadar emas. Karena itu, umumnya para penggali lubang tambang merupakan warga pendatang yang telah memiliki pengalaman di daerah lain.
Upaya berburu emas juga terlihat terlihat di sejumlah lokasi di sekitar Pegunungan Olat Labaong, Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa.
Bahkan, sejak setahun terakhir ini, aktivitas tambang emas tradisional disertai usaha gelondongan bertebaran di hampir semua kabupaten di Pulau Lombok, dan Pulau Sumbawa.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB Eko Bambang Sutedjo, mengatakan, maraknya aksi berburu emas di Pulau Lombok maupun Sumbawa itu ditengarai akibat ulah pedagang air raksa (merkuri) dan mesin gelondongan.
"Banyak warga yang terpengaruh sehingga berupaya mencari batu berkadar emas di banyak lokasi. Rupanya, para pedagang merkuri dan mesin gelondongan menyebar isu ada kadar emas di banyak lokasi, akibatnya ribuan orang tertarik untuk mencari emas di lokasi itu," ujarnya.
Menurut Eko, sejauh ini yang terbukti mengandung kadar emas baru pegunungan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, dan sejumlah lokasi secara sporadis di Lentek-Rembitan, Kabupaten Lombok Tengah, Pulau Lombok.
Di Pulau Sumbawa bagian barat, kandungan emas dan mineral pengikutnya teridentifikasi di Kecamatan Jereweh, Maluk, Brang Rea, Sateluk, Taliwang dan Sekongkang Kabupaten Sumbawa, dan Kecamatan Moyo Hilir, Lape, Meronge, Tarano, Plampang, Empang, Ropang, Lunyuk, Alas dan Utan Kabupaten Sumbawa.
Pegunungan Olat Labaong, di Desa Hijrah, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa, lebih mendominasi aktivitas penambangan tradisional di Pulau Sumbawa.
Sementara di Pulau Sumbawa bagian timur, kandungan emas dan mineral pengikutnya teridentifikasi di Kecamatan Hu'u dan Pajo Kabupaten Dompu, Kecamatan Langgudu, Sape, Lambu, Wawo, Belo, Bolo, Woha, Parado, Danggo dan beberapa kecamatan lain secara sporadis di Kabupaten Bima dan sebagian Kota Bima.
Namun, belakangan ini banyak warga yang meyakini pegunungan lainnya di Pulau Lombok seperti Gunung Prabu di Kabupaten Lombok Tengah, juga mengandung kadar emas, sehingga banyak orang berlomba-lomba mengejar bongkahan batu dari lokasi itu, meskipun tahu upaya itu dikategorikan ilegal.
Benar atau tidak, fakta membuktikan ribuan orang menjadikan sejumlah gunung di Pulau Lombok dan Sumbawa sebagai sumber mata pencaharian baru yang menjanjikan hidup sejahtera.

Peluang industri
Eko mengatakan, potensi bahan galian emas di Pulau Lombok dan Sumbawa cukup menjanjikan dan merupakan peluang bagi industri pertambangan untuk memberdayakannya secara proporsional dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya.
Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), juga memberi ruang industri pertambangan skala kecil namun tetap merujuk kepada asas manfaat dan dampak lingkungannya.
Untuk mengoptimalkan potensi tambang itu, Pemerintah Provinsi NTB kemudian merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi NTB.
Salah satu pasal yang direvisi yakni pasal 38 yang membatasi persetujuan penambangan yang diterbitkan para bupati di Pulau Lombok yang menyebabkan kerusakan sumber daya alam yang berakibat pada penurunan kualitas lingkungan.
Akan tetapi, Pasal 38 Perda Nomor 11 Tahun 2006 itu berdampak langsung terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Lombok Barat dan warga setempat nekat melakukan aktivitas penambangan secara ilegal dengan cara-cara tradisional, meskipun akrab dengan maut.
Semula, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) NTB tahun 2005-2025, Pulau Lombok diprioritaskan untuk pusat pengembangan pariwisata dan agrobisnis, kecuali Pulau Sumbawa yang masih diorientasikan ke usaha penambangan.
Setelah melewati serangkaian pembahasan, akhirnya Pemprov NTB yang didukung DPRD NTB merevisi Perda 11 tahun 2006 itu menjadi Perda Nomor 3 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi NTB.
Dari Perda RTRW 2010 itu ditetapkan 16 Kawasan Strategis Pembangunan (KSP), salah satunya yakni kawasan zona tambang baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa, hingga ditetapkan Wilayah Penambangan (WP) seluas 891.590 hektare atau 44 persen dari luas daratan wilayah NTB.
Rinciannya, WP di Pulau Sumbawa seluas 56 persen dari luas daratan dan WP di Pulau Lombok hanya seluas 10,8 persen dari luas daratan.
Bardasarkan Undang Undang Minerba dan Perda RTRW NTB itu serta tetap mengacu kepada luas wilayah penambangan yang ditetapkan, para bupati di Pulau Lombok sesuai kewenangannya dapat menerbitkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
"Itu berarti industri pertambangan diperbolehkan di Pulau Lombok selain di Pulau Sumbawa," ujar Eko.
Kendati regulasi yang membolehkan usaha penambangan di Pulau Lombok sudah ada, aktivitas penambangan ilegal masih saja marak, disertai dampak ikutannya seperti kerusakan bentangan alam, dan adanya pencemaran lingkungan karena limbah tambang dibuang sembarangan.
Pascapenerbitan Perda Nomor 3 Tahun 2010 sekaligus menyikapi maraknya aktivitas penambangan ilegal itu, pada16 Desember 2010, Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi, menyurati para bupati/wali kota untuk menerbitkan perda pertambangan rakyat.
Selain itu, para bupati/wali kota diminta untuk mengajukan usulan Wilayah Pertambangan (WP) di daerahnya masing-masing untuk diteruskan ke pusat agar ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atas persetujuan DPR sebagai kawasan tambang yang boleh digarap masyarakat.
WP yang diusulkan itu nantinya terbagi dalam Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Namun, baru dua kabupaten yang menanggapi arahan Gubernur NTB terkait usulan WP itu masing-masing Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sumbawa Barat. Bahkan, Kabupaten Lombok Barat sudah membuat perda penambangan.
Pemkab Lombok Barat mengusulkan sebagian wilayah Sekotong sebagai WP dan Pemkab Sumbawa Barat mengusulkan Bangkat Monte, Kecamatan Brang Rea sebagai WP yang nantinya boleh digarap masyarakat.
Hanya saja, dari dua kabupaten yang telah mengajukan usulan penetapan WP itu, baru Kabupeten Lombok Barat yang lebih siap, selain menyiapkan perda juga anggaran kajian dan SDM. Sementara Sumbawa Barat baru sebatas mengajukan usulan.
"Usul penetapan WP di Kabupaten Lombok Barat dan Sumbawa Barat itu sudah sampai di meja Pansus DPR setelah direkomendasikan Menteri ESDM. Tinggal tunggu hasil penetapannya saja," ujar Eko.
Selanjutnya, jika usulan WP itu telah ditetapkan, maka kriteria dan aturan penambangan harus ditegakkan. WP itu juga harus terakomodasi dalam RTRW kabupaten tersebut, baru bupati/wali kota diperbolehkan menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Kriteria zonasi pertambangan rakyat itu telah diatur dalam Pasal 26 ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.
Regulasi lainnya yakni PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kriteria itu antara lain kajian teknis penambangan yang harus dilengkapi pemerintah kabupaten/kota, adanya kajian lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja serta kajian manajemen dan permodalan.
"Hasil kajian itu menjadi milik pemegang IPR untuk dilaksanakan. Karena, tanggungjawab daerah untuk memetakan WPR itu ada di kabupaten/kota disertai risiko yang harus ditanggung kabupaten/kota," ujarnya.
Risiko yang harus ditanggung pemerintah kabupaten/kota yang menerbitkan WPR dan IPR seperti regulasi, reklamasi areal tambang, penyediaan anggaran pengkajian dan dampak pencemaran lingkungan.
Karena itu, banyak kabupaten/kota masih harus mempertimbangkan risiko-risiko itu sehingga ragu-ragu menerbitkan WPR dan IPR.
"Itu sebabnya banyak bupati/wali kota lebih memilih menerbitkan WIUP skala menengah dan besar karena mudah mendatangkan pendapatan daerah, namun risikonya dibebankan kepada pemegang izin. Tapi, akhirnya banyak aktivitas penambangan ilegal meski sudah ada regulasi yang mengaturnya," ujar Eko.
Versi Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB, sejauh ini, pemerintah sudah menerbitkan 76 izin penambangan di wilayah NTB, terbanyak di Pulau Sumbawa.
Dari 76 izin penambangan, dua diantaranya berbentuk Kontrak Karya (KK) yang diberikan kepada PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) untuk wilayah penambangan emas dan mineral ikutannya di Kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa, dan PT Sumbawa Timur Mining, di Kabupaten Dompu dan Bima.
Sementara 74 izin penambangan lainnya berbentuk Izin Usaha Penambangan (IUP) yang diberikan kepada 68 investor dan Kuasa Penambangan (KP) yang diberikan kepada enam investor.
Sesuai Undang Undang Minerba 2009, pemegang KP harus mengubahnya menjadi IUP sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku. IUP dan KP diterbitkan oleh bupati/walikota.
Dari dari 76 izin penambangan baik KK, IUP dan KP itu, sebanyak 18 izin diantaranya beroperasi di Pulau Lombok, 27 izin di Pulau Sumbawa bagian barat dan 31 izin di Pulau Sumbawa bagian timur.

Peran industri pertambangan
Ketika industri pertambangan mulai beroperasi di wilayah NTB, sejatinya berbagai manfaat dapat diperoleh dari setiap tahapan, baik ekplorasi maupun ekploitasi atau operasi produksi.
Pada tahapan eksplorasi terjadi aktivitas penyelidikan umum hingga penelitian dan pengambilan sampel batuan serta studi kelayakan.
Manfaat yang diperoleh bagi pemerintah, terutama pemerintah daerah, pada tahapan eksplorasi yakni tersedianya data cadangan mineral dengan tingkat keyakinan geologi terukur, dan tersedia data biodiversitas (keanekaragaman hayati) di lokasi eksplorasi yang diperoleh saat penelitian dan studi kelayakan.
Selain itu, adanya penerimaan pajak bagi negara dan daerah, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), retribusi dan penghasilan lain-lain yang sah, dan adanya peluang kerja baru dan kesempatan pengembangan atau penguatan kelembagaan desa.
Menurut Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB Eko Bambang Sutedjo, manfaat juga diperoleh pada tahapan operasi produksi yang dimanifestasikan dalam bentuk IUP dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), berupa konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan.
Manfaat tersebut antara lain penerimaan negara dan daerah dalam bentuk pajak, PNPB, retribusi daerah, kontribusi atau bantuan langsung dan penghasilan lain-lain yang sah sebagai modal pembangunan.
Selanjutnya, tercipta lapangan kerja baru, investasi baru dan wirausaha baru di berbagai bidang serta ikut menggerakan sektor riil di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Tersedianya kesempatan penelitian, bantuan beasiswa pendidikan serta kegiatan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sekitar tambang melalui program tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).
Selain itu, tersedianya kesempatan usaha kecil menengah dan koperasi serta badan usaha swasta lokal maupun nasional untuk mendapatkan pekerjaan sebagai sub kontraktor berbagai bidang pekerjaan dari pemegang IUP/IUPK.
"Berbagai manfaat itu yang diharapkan dari usaha penambangan 76 pemegang izin beroperasi di wilayah NTB. Sejauh ini setidak-tidaknya Newmont telah memberi beragam manfaat semenjak beroperasi di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, meski masih ada pihak yang merasa belum cukup," ujarnya.
Semenjak memulai aktivitas penambangan emas dan tembaga di Pulau Sumbawa, atau sejak 1999 hingga 2010, PTNNT telah berkontribusi kepada Pemerintah Indonesia dalam bentuk pajak, nonpajak dan royalti sebesar Rp21,174 triliun.
Selain manfaat keuangan langsung kepada pemerintah, keberadaan PTNNT juga memberikan manfaat ekonomi lainnya melalui pembayaran gaji kepada sekitar 4.000 karyawan dan 3.000 kontraktor.
Manfaat lainnya yakni adanya pembelian barang dan jasa dari lokal maupun nasional, serta program-program pengembangan masyarakat.
Khusus 2010, PTNNT menyetor kewajiban keuangan kepada Pemerintah Indonesia sebesar Rp5,761 triliun selama 2010. Kewajiban keuangan kepada Pemerintah Indonesia itu berupa pajak, non-pajak dan royalti sesuai ketentuan dalam Kontrak Karya (KK). {jpg*1}
Manager Senior Hubungan Eksternal PTNNT Arif Perdana Kusumah, mengatakan, pembayaran terbesar adalah Pajak Penghasilan Badan sebesar Rp4,658 triliun, disusul Pajak atas Dividen sebesar Rp636 miliar, Pajak Penghasilan Karyawan PPh 21 sebesar Rp177 miliar dan Pajak Penghasilan lainnya sebesar Rp24,3 miliar.
Sementara pembayaran royalti produksi selama 2010 mencapai Rp265,9 miliar.
"PTNNT selalu melaksanakan kewajiban keuangan kepada pemerintah tepat waktu dan memenuhi semua ketentuan perpajakan. Sejak 2003 PTNNT selalu mendapatkan predikat wajib pajak patuh dari pemerintah," ujar Arif.
PTNNT pun melaksanakan program tanggungjawab sosial (CSR) semenjak mengekploitasi mineral berharga di Batu Hijau, hingga berkali-kali mendapat penghargaan dari pemerintah, antara lain Pandu Daya Masyarakat (Padma) atas kinerja CSR di bidang peningkatan hasil pertanian dengan penerapan System of Rice Intensification (SRI).
Newmont juga dinilai sukses dengan indikator penilaian utama program unggulan pengembangan masyarakat yang didasarkan pada manfaat keberlanjutan dan partisipasi masyarakat.
Program peduli lingkungan itu mengacu kepada empat pilar utama yakni kesehatan masyarakat, pengembangan pendidikan, pengembangan ekonomi dan pembangunan serta partisipasi masyarakat.
Kendati demikian, keberadaan industri tambang juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan hidup, terutama jika pengelolaannya tidak mengindahkan kewajiban yang digariskan pemerintah.
Dampak negatif itu antara lain perubahan bentangan alam, penurunan kualitas air, penurunan kesuburan serta menurunkan tingkat keanekaragaman hayati pada ekosistem tertentu.
Karena itu, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan harus ketat dan berkesinambungan.
Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi, dalam berbagai kesempatan mengomentari usaha penambangan di Pulau Lombok maupun Sumbawa, selalu memberi penegasan agar bupati/wali kota di wilayah kepemimpinannya lebih selektif dalam memberikan izin usaha pertambangan kepada para investor.
"Jika bupati/wali kota asal memberi izin usaha pertambangan sesuai Wilayah Izin Usaha Pertambangan, dikhawatirkan mencuat konflik sosial yang dipicu penurunan atau degradasi sumber daya alam," ujarnya.
Majdi menyimpulkan, usaha pertambangan di suatu daerah otonom biasanya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah itu, atau malah sebaliknya merusak tatanan kehidupan bermasyarakat jika pengelolaannya tidak sesuai dengan ketentuan. (*)