Kupang (ANTARA) - Berkomentar mengenai kasus pemalsuan dokumen dalam pernikahan sesama jenis di Bekasi, Jawa Barat, baru-baru ini, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan bahwa seorang penghulu memang tidak memiliki kewenangan untuk mengecek fisik calon pengantin, termasuk memastikan jenis kelaminnya.
Di negeri ini, tak ada aturan seorang penghulu untuk memeriksa fisik calon pengantin, apa lagi melihat secara fisik sampai detail kedua calon mempelai, kata Suryadharma Ali di Kupang, Rabu, usai kunjungan kerjanya di Nusa Tenggara Timur (NTT) selama dua hari.
Sebelumnya Menag di Kupang sempat berdialog dengan para mahasiswa Universitas Muhammadiyah setempat dan meletakkan batu pertama pembangunan masjid di lingkungan kompleks kampus tersebut pada Rabu siang.
Pada saat yang sama, Rabu petang, Suryadharma Ali -- yang selama kunjungan kerjanya itu ditemani Menteri Perumahan Rakyat, Suharso Monoarfa, -- meletakkan batu pertama bagi pencanangan pembangunan dan pengembangan Masjid Raya dan Pusat Dakwah Nurussa`adah Kupang.
Kembeli ke persoalan kasus pemalsuan identitas dalam pernikahan pasangan sesama jenis, Suryadharma Ali mengatakan bahwa yang berwenang mengecek secara fisik jenis kelamin calon pengantin adalah keluarga dari kedua mempelai.
Kasus pemalsuan identitas pengantin di Bekasi ramai disoroti media belakangan ini.
Fransisca Anastasya (19) alias Icha yang ternyata adalah seorang pria bernama asli Rahmat Sulistyo, telah menikah dengan Muhammad Umar (32). Muhammad Umar tidak mengetahui kalau istrinya, Icha, yang sudah dinikahinya sejak enam bulan lalu itu ternyata seorang pria.
Setelah mengenai bahwa istrinya bukanlah seorang wanita, Muhammad Umar kemudian melaporkan yang dialaminya itu kepada polisi.
Menurut Menag, tanggung jawab seorang penghulu adalah memeriksa kelengkapan administrasi. Tidak melakukan cek fisik. Apalagi sampai mendata, apakah calon pengantin itu benar-benar berkelamin pria atau wanita.
"Itu di luar tanggung jawab penghulu," kata Suryadharma Ali sambil melepas tawa.
Sambil tertawa, Menag Suryadharma Ali mengingatkan bahwa perkawinan dimaksudkan untuk membentuk keluarga sakinah, mawadah dan warohmah. Untuk itu, kedua belah pihak, calon pengantin pria maupun wanita, hendaknya waspada.
"Ya, harus waspada," ujarnya sambil tertawa.
Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Muhaimin Lutfi mengatakan, sejak lama para ulama sudah mengingatkan bahwa perkawinan tak semata menyatukan pasangan cucu Adam dan Hawa untuk sesaat.
Sejatinya, setiap pasangan menghendaki kebahagian dalam perkawinan yang akan dijalaninya. Sebagian ulama berpendapat, selain perlu melakukan pengecekan terhadap babat, bebet, dan bobot dari masing-masing pasangan juga melakukan cek fisik terhadap para calon pengantin.
Hanya saja, kata Muhaimin, dewasa ini banyak orang tak melakukan. Cara yang dilakukan tentu harus beretika dan berakhlak sehingga tak menimbulkan ketersinggungan.
Misalnya, kata dia, bila calon pengantin ragu akan jenis kelamin wanita sebagai pasangan hidupnya dapat menggunakan pihak ketiga untuk mengecek kelamin wanita.
Sebab, katanya, ada wanita yang memiliki kelamin yang disebut "rataq". Kelamin wanita seperti itu terjadi akibat kelainan biologis sejak lahir.
Bisa saja, setelah pihak ketiga melakukan pemeriksaan diketahui bahwa wanita bersangkutan "rataq". Lalu, calon pasangannya menolak untuk menikahinya.
Hak pihak wanita pun sama. Calon pengantin perempuan bisa meminta pihak calon lelaki untuk diperiksa, apakah jantan atau tidak. Bila ditemui tak sehat, seperti impoten, bisa pula calon wanita menolak untuk dinikahi.(*)