ADB: PERTUMBUHAN ASEAN AKAN MODERAT TAHUN DEPAN

id

     Jakarta (ANTARA) - Bank Pembangunan Asia (ADB) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN serta sejumlah negara Asia Timur lainnya akan mengalami pertumbuhan yang moderat pada tahun 2012.

     Berdasarkan laporan semitahunan ADB Asia Economic Monitor (AEM) yang diterima di Jakarta, Kamis, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur akan menjadi moderat pada tahun 2011 dan 2012 seiring dengan langkah yang dilakukan otoritas negara-negara di kawasan tersebut dalam mengatasi inflasi.

     Laporan itu memperkirakan pertumbuhan agregat untuk negara-negara di kawasan itu akan berubah dari 7,9 persen pada 2011 menjadi 7,7 persen pada 2012.

     Pada tahun 2010, masih menurut laporan AEM, pertumbuhan agregat untuk negara-negara tersebut mencapai hingga sebesar 9,3 persen.

     Menurut Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional ADB, Iwan Azis, pertumbuhan menjadi melambat karena berbagai pemerintahan di kawasan itu antara lain memperketat kebijakan moneter untuk menangkal lonjakan tingkat inflasi.

     Laporan AEM tersebut mengkaji potensi pertumbuhan ekonomi antara lain dari 10 negara ASEAN, Republik Rakyat China, dan Korea Selatan.

     Selain itu, laporan itu juga menyorot risiko meningkatnya volatilitas pasar finansial dan potensi terjadinya destabilisasi aliran dana modal.

     Sebelumnya, pemerintah juga telah mengubah asumsi pertumbuhan ekonomi 2011 pada usulan APBN Perubahan dari sebelumnya 6,4 persen menjadi 6,5 persen karena membaiknya kinerja ekspor dan investasi di Indonesia.

     "Pertumbuhan diperkirakan tumbuh 6,5 persen lebih tinggi dari asumsi APBN 2011 karena pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia yang membaik akan mendorong ekspor dan investasi di Indonesia," ujar Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati dalam rapat kerja dengan komisi XI DPR RI di Jakarta, 6 Juli.

     Anny juga mengatakan pemerintah mengubah beberapa asumsi makro seperti laju inflasi dari sebelumnya 5,3 persen menjadi 6 persen, nilai tukar rupiah dari Rp9.250 menjadi Rp8.800, suku bunga SPN 3 bulan dari 6,5 persen menjadi 5,6 persen.

     Kemudian, harga minyak "ICP" dari 80 dolar AS per barel menjadi 95 dolar AS per barel dan "lifting" minyak 970 ribu barel per hari menjadi 945 ribu barel per hari.

     Ia menjelaskan perubahan asumsi tersebut dikarenakan meningkatnya harga komoditas internasional, sehingga berdampak pada kenaikan inflasi dunia, termasuk di Indonesia. (*)