Mataram, (Antara) - Hasil penelitian World Wide Fund for Nature Indonesia Regional Nusa Tenggara menyebutkan nilai transaksi hasil hutan bukan kayu dari kawasan hutan kemasyarakatan Sesaot, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat mencapai Rp900 juta dalam sepuluh hari.
"Tapi sayang hasil transaksi yang cukup besar itu masih dikuasai para tengkulak karena petani tidak memiliki modal memenuhi kebutuhan sebelum masa panen," kata Koordinator World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Regional Nusa Tenggara Ridha Hakim, di Mataram, Rabu.
Ia menyebutkan, luas areal kerja Hutan Kemasyarakatan (HKm) Sesaot yang tersebar di Kecamatan Narmada dan Lingsar, mencapai 3.672 hektare, namun yang sudah terbit izin pencadangan areal kawasan (PAK) dan izin usaha pengelolaan HKm (IUPHKM) dari Kementerian Kehutanan baru 185 hektare.
Pengelolaan HKm Sesaot dilakukan oleh Forum Kawasan Hutan Lindung Sesaot, yang meliputi tujuh desa, yakni Desa Sesaot, Lembah Sempage, Sedau, Suranadi, Batu Mekar, Pakuan dan Buwun Sejati. Seluruhnya tersebar di Kecamatan Narmada dan Lingsar.
Forum Kawasan Hutan Lindung Sesaot, memayungi tiga kelompok yang bergantung dari kawasan HKm, yakni kelompok HKm, yang terdiri atas beberapa kelompok tani.
Selain itu, kelompok ekowisata yang terdiri atas kelompok-kelompok yang mengelola areal ekowisata dan jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan dan areal kerja HKm dan di luar kawasan.
Ada juga kelompok usaha yang terdiri atas Koperasi Sunggih Engger, kelompok penanganan dan pengolahan HHBK dan hasil hutan lainnya, serta kelompok usaha angkutan dan pedagang.
Menurut Ridha, adanya kelompok-kelompok masyarakat pengelola HKm tersebut belum mampu membentuk semacam kelembagaan yang kuat dari sisi penghimpunan modal, sehingga tidak lagi terjerat dengan tengkulak.
"Perlu semacam gerakan untuk membentuk skema kelembagaan kelompok yang kuat untuk mengatasi masalah permodalan. Misalnya koperasi. Kalau 10 persen saja dana masuk dari transaksi sebesar Rp900 juta dalam 10 hari itu, maka ada 90 juta modal dikelola dalam 10 hari," katanya.
Namun, kata dia, karena belum adanya pendataan dan regulasi yang kuat dari pemerintah daerah, potensi dana yang besar hanya dari HHBK terus menerus dinikmati pada cukong yang mengambil keuntungan besar.
"Pemerintah daerah mestinya tergerak melihat potensi itu. Nilai transaksi HHBK itu juga bisa menjadi potensi pendapatan asli daerah karena banyak yang diantarpulaukan tapi tidak begitu tercatat di pelabuhan," ujar Ridha.
Transaksi HHBK di Lombok Barat Rp900 Juta
Tapi sayang hasil transaksi yang cukup besar itu masih dikuasai para tengkulak karena petani tidak memiliki modal memenuhi kebutuhan sebelum masa panen