Mataram, (Antara NTB) - Belasan mahasiswa yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi wilayah Nusa Tenggara Barat mendesak pemerintah mencabut izin usaha pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Freeport karena melanggar hukum Indonesia.
Desakan itu disampaikan ketika berunjuk rasa di depan Kantor Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Nusa Tenggara Barat (NTB), di Mataram, Senin.
"PT Newmont dan PT Freeport harus tunduk terhadap sistem perundang-undangan yang ada di Indonesia, jika tidak pemerintah harus tegas mencabut izin usaha pertambangan kedua perusahaan tambang itu," kata koordinator aksi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) NTB Adi Faisal.
Dalam orasinya, ia mengatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah melakukan pertemuan dengan PT Freeport Indonesia untuk membicarakan ulang terkait nota kesepahaman (MoU) tentang pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 103 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 4/2009 tentang Minerba, bahwa operasi produksi perusahaan tambang wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Batas waktu pembangunan smelter yang berjangka waktu lima tahun sejak UU tersebut diundangkan, sebagaimana termuat dalam pasal 170 UU Minerba, sudah habis masa tenggang waktunya pada 11 Januari 2014.
Namun, pemerintahan pada saat itu dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memberikan kelonggaran dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1/2014 dengan membolehkan ekspor konsentrat yang sebenarnya melanggara UU.
Kemudian pada pertengahan 2014, pemerintah kembali menandatangani MoU dengan perusahaan milik Amerika Serikat yang berbadan hukum Indonesia itu untuk menindaklanjuti pembangunan smelter dengan batas waktu enam bulan yang berakhir pada 25 Januari 2015.
Tetapi, kata Adi, hingga batas waktu berakhir, pihak PT Freeport tidak melaksanakan hasil MoU yang telah disepakati dengan pemerintah Indonesia, hingga pemerintah kembali memberikan kelonggaran dengan batas waktu enam bulan.
"Hal itu secara eksplisit menegaskan bahwa PT Freeport Indonesia dengan sengaja tidak mematuhi sistem perundang-undangan di Indonesia," ujarnya.
Perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang beroperasi di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB, menurut Adi, juga tentunya pada posisi sama dengan PT Freeport Indonesia yang beroperasi di Papua.
Perlu diingat, kata dia, pada pertengahan 2014, PT Newmont telah menghina Indonesia dengan menggugat ke Pengadilan Arbitrase Internasional atas ketidakmauan PT NNT menerima UU Republik Indonesia tentang ekspor bahan mentah hasil pertambangan.
Padahal saat itu, Pemerintah Provinsi NTB sedang membuka negosiasi terkait persoalan tersebut, namun tidak dihiraukan oleh PT NNT.
Sebagaimana roh konstitusi bangsa Indonesia, pada pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
"Sebagaimana program Trisakti yang dikampanyekan Presiden Joko Widodo, pada saat pemilihan presiden, dari sinilah kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam budaya bangsa Indonesia dimulai," kata Adi.
Menanggapi hal itu, Kepala Distamben NTB Muhammad Husni mengatakan pihaknya tidak bisa bertindak terlalu jauh terkait persoalan UU Minerba yang mengaruskan perusahaan tambang, termasuk PT Newmont, membangun smelter karena merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Usai mendengar penjelasan singkat dari Kepala Distamben NTB H Muhammad Husni, para pengunjuk rasa membubarkan diri dengan tertib.
Aksi unjuk rasa mendesak pemerintah mencabut IUP PT NNT dan PT Freeport juga digelar mahasiswa di Selong, ibu kota Kabupaten Lombok Timur. (*)