Polda NTB menyelesaikan kasus korupsi Marching Band dan Poltekkes Mataram
Mataram (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat menyelesaikan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesenian Marching Band dan alat bantu belajar mengajar (ABBM) pada Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Mataram.
"Iya, dengan dilaksanakannya tahap dua, yakni pelimpahan tersangka dan barang bukti ke penuntut umum, dua penanganan kasus dugaan korupsi ini sudah selesai di kami," kata Kepala Polda NTB Irjen Pol. Djoko Poerwanto di Mataram, Selasa.
Dalam dua kasus berbeda tersebut, dia menegaskan bahwa pihaknya telah menerima pernyataan dari jaksa peneliti bahwa berkas kasus milik para tersangka telah lengkap. Hal itu yang menjadi dasar penyidik melaksanakan tahap dua.
"Salah satunya (alat bukti) berkaitan kerugian negara hasil audit BPKP. Untuk di kasus Marching Band, ditemukan kerugian negara Rp702 juta. Sedangkan, untuk Poltekkes Mataram, Rp3,2 miliar," ujarnya.
Dalam dua kasus ini, lanjut dia, penyidik menetapkan masing-masing dua tersangka, ada yang sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), pejabat pembuat komitmen (PPK), dan dari pihak swasta.
"Untuk di kasus Marching Band, telah ditemukan perbuatan melawan hukum bahwa PPK tidak melakukan survei harga perkiraan sendiri (HPS), melainkan untuk survei HPS, PPK meminta bantuan tersangka dari pihak swasta LB," ucap dia.
Dengan adanya permintaan bantuan tersebut, LB terungkap memonopoli proyek tersebut agar perusahaannya muncul sebagai pemenang lelang.
"Sedangkan, pada kasus Poltekkes Mataram, KPA menetapkan dan menentukan RAB tanpa melalui proses verifikasi dan evaluasi, melainkan membuatnya secara mandiri sehingga ada beberapa alat yang tidak sesuai dengan yang diadakan," ujarnya.
Dengan mengungkapkan gambaran kasus yang demikian, Djoko menegaskan bahwa penyidik telah menemukan indikasi pemufakatan jahat dalam pengadaan barang dari kedua kasus tersebut.
"Jadi, will in and within, unsur dia menghendaki dan dia mengetahui sudah terpenuhi," kata Irjen Pol. Djoko.
Pengadaan alat kesenian Marching Band merupakan proyek dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) NTB yang berjalan pada tahun 2017.
Kerugian negara Rp702 juta muncul dari hasil identifikasi penyaluran anggaran pengadaan dalam dua tahap. Pertama, senilai Rp1,57 miliar untuk dibagikan ke lima SMA negeri dan kedua Rp982,43 juta untuk empat SMA swasta.
Tersangka dalam kasus tersebut berinisial MI yang berperan sebagai PPK dalam jabatan sebagai salah seorang kepala bidang pada Disdikbud NTB dan LB yang merupakan direktur perusahaan pemenang lelang.
Selanjutnya, untuk kasus Poltekkes Mataram terkait pengadaan ABBM tahun 2017 yang menggunakan anggaran Kementerian Kesehatan RI senilai Rp19 miliar.
Tersangka dalam kasus ini berinisial AD dan ZF. Tersangka AD sebagai KPA, sedangkan ZF sebagai PPK.
Saat proyek tersebut bergulir, terungkap dalam struktur kepengurusan Poltekkes Mataram, AD menduduki jabatan Direktur Poltekkes Mataram dan ZF sebagai Ketua Jurusan (Kajur) Keperawatan pada Poltekkes Mataram.
"Iya, dengan dilaksanakannya tahap dua, yakni pelimpahan tersangka dan barang bukti ke penuntut umum, dua penanganan kasus dugaan korupsi ini sudah selesai di kami," kata Kepala Polda NTB Irjen Pol. Djoko Poerwanto di Mataram, Selasa.
Dalam dua kasus berbeda tersebut, dia menegaskan bahwa pihaknya telah menerima pernyataan dari jaksa peneliti bahwa berkas kasus milik para tersangka telah lengkap. Hal itu yang menjadi dasar penyidik melaksanakan tahap dua.
"Salah satunya (alat bukti) berkaitan kerugian negara hasil audit BPKP. Untuk di kasus Marching Band, ditemukan kerugian negara Rp702 juta. Sedangkan, untuk Poltekkes Mataram, Rp3,2 miliar," ujarnya.
Dalam dua kasus ini, lanjut dia, penyidik menetapkan masing-masing dua tersangka, ada yang sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), pejabat pembuat komitmen (PPK), dan dari pihak swasta.
"Untuk di kasus Marching Band, telah ditemukan perbuatan melawan hukum bahwa PPK tidak melakukan survei harga perkiraan sendiri (HPS), melainkan untuk survei HPS, PPK meminta bantuan tersangka dari pihak swasta LB," ucap dia.
Dengan adanya permintaan bantuan tersebut, LB terungkap memonopoli proyek tersebut agar perusahaannya muncul sebagai pemenang lelang.
"Sedangkan, pada kasus Poltekkes Mataram, KPA menetapkan dan menentukan RAB tanpa melalui proses verifikasi dan evaluasi, melainkan membuatnya secara mandiri sehingga ada beberapa alat yang tidak sesuai dengan yang diadakan," ujarnya.
Dengan mengungkapkan gambaran kasus yang demikian, Djoko menegaskan bahwa penyidik telah menemukan indikasi pemufakatan jahat dalam pengadaan barang dari kedua kasus tersebut.
"Jadi, will in and within, unsur dia menghendaki dan dia mengetahui sudah terpenuhi," kata Irjen Pol. Djoko.
Pengadaan alat kesenian Marching Band merupakan proyek dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) NTB yang berjalan pada tahun 2017.
Kerugian negara Rp702 juta muncul dari hasil identifikasi penyaluran anggaran pengadaan dalam dua tahap. Pertama, senilai Rp1,57 miliar untuk dibagikan ke lima SMA negeri dan kedua Rp982,43 juta untuk empat SMA swasta.
Tersangka dalam kasus tersebut berinisial MI yang berperan sebagai PPK dalam jabatan sebagai salah seorang kepala bidang pada Disdikbud NTB dan LB yang merupakan direktur perusahaan pemenang lelang.
Selanjutnya, untuk kasus Poltekkes Mataram terkait pengadaan ABBM tahun 2017 yang menggunakan anggaran Kementerian Kesehatan RI senilai Rp19 miliar.
Tersangka dalam kasus ini berinisial AD dan ZF. Tersangka AD sebagai KPA, sedangkan ZF sebagai PPK.
Saat proyek tersebut bergulir, terungkap dalam struktur kepengurusan Poltekkes Mataram, AD menduduki jabatan Direktur Poltekkes Mataram dan ZF sebagai Ketua Jurusan (Kajur) Keperawatan pada Poltekkes Mataram.