Mataram (Antara NTB)- Ketua Asosiasi Pengusaha Tahu-Tempe Kelurahan Kekalik Jaya H Hasbah menyebutkan, sebanyak 15 pengusaha tempe dan dua pengusaha tahu di Kota Mataram sudah "gulung tikar" akibat melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
"17 pengusaha tahu dan tempe itu terpaksa tidak beroperasi karena mereka tidak mampu membeli bahan baku yang terus naik sementara stoknya terbatas," katanya kepada wartawan di Mataram, Nusa Tenggra Barat, Selasa.
Menurutnya, pengusaha tahu-tempe yang saat ini berhenti sementara hingga harga kedelai impor stabil dan kedelai lokal mencukupi itu kini beralih profesi menjadi buruh angkut bahan baku.
"Mereka kini menjadi buruh angkut bahan baku seperti kayu, kedelai dan air garam ke rumah pengusaha yang tergolong mandiri," sebutnya.
Terkait dengan masalah itu pihaknya berharap pemerintah baik kabupaten/kota, provinsi maupun pemerintah pusat dapat segera mencari solusi untuk menekan nilai tukar Dolar AS hingga harga serendah-rendahnya.
"Kasihan pegusaha kita, jika Dolar AS naik terus maka akan semakin banyak pengusaha kecil `gulung tikar`," katanya.
Ia mengatakan, harga kedelai impor saat ini sudah mencapai Rp7.400 per kilogram. Harga itu sudah jauh meningkat dibandingkan dengan harga sebelumnya yang berkisar di bawah Rp7.000 per kilogram.
Sementara kedelai lokal yang harganya masih lebih murah yakni sekitar Rp7.000 per kilogram juga tidak dapat diandalkan, karena stok kedelai lokal saat ini masih sangat minim.
Sementara kebutuhan kedelai bagi 113 pengusaha tempe dan 89 pengusaha tahu di Kelurahan Kekalik Jaya saja mencapai 20 ton per hari. Jumlah itu kini mulai menurun menjadi 15 ton per hari.
Hasbah mengatakan, selama ini bahan baku kedelai lokal sebagian besar didatangkan dari Pulau Sumbawa, Lombok Timur dan Lombok Tengah.
Pasalnya, hasil produksi kedelai dari petani di Kota Mataram belum dapat mencukupi kebutuhan pengusaha tersebut, sehingga pengusaha juga menggunakan kedelai impor yang diambil dari distributor di kawasan Sweta dan Cakranegera. (*)
17 pengusaha tempe tahu di Mataram "gulung tikar"
"Terpaksa tidak beroperasi karena mereka tidak mampu membeli bahan baku yang terus naik"