DPRD NTB menuntut Pj Gubernur rombak OPD tak berkinerja baik

id DPRD NTB,OPD Pemprov NTB

DPRD NTB menuntut Pj Gubernur rombak OPD tak berkinerja baik

Anggota Komisi I DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB), TGH Najamudin Moestafa. (ANTARA/Nur Imansyah).

Mataram (ANTARA) - Anggota Komisi I DPRD Nusa Tenggara Barat, TGH Najamudin Moestafa mengingatkan Penjabat Gubernur NTB Gita Ariadi untuk segera merombak jajaran pejabat pemerintah provinsi (Pemprov) sebagai perwujudan normalisasi tata kelola birokrasi. 

"Rekam jejak birokrasi Pemprov NTB dalam lima tahun terakhir menunjukkan betapa tidak sehat dari sisi struktur dan lemah dalam kinerja. Penjabat (Pj) Gubernur tidak mungkin akan bisa membawa "NTB Maju dan Melaju" jika tetap mempertahankan jajaran pejabat yang merupakan warisan pemerintahan Zul-Rohmi ini," ujarnya di Mataram, Senin.

Politisi asal Kabupaten Lombok Timur ini kemudian mengurai bagaimana lemahnya kinerja birokrasi Pemprov NTB dalam lima tahun terakhir kepemimpinan Gubernur Zulkieflimansyah dan Wakil Gubernur Sitti Rohmi Djalilah. Antara lain bisa dilihat dari angka stunting di NTB yang masih tertinggi di Indonesia mencapai 14 persen. Juga penurunan angka kemiskinan. 

Saat dilantik pada tahun 2018, angka kemiskinan di NTB kata TGH Najamuddin mencapai 14,63 persen. Lima tahun kemudian, saat Zul-Rohmi mengakhiri masa jabatannya, angka kemiskinan NTB sebesar 13,85 persen.

"Itu berarti dalam lima tahun, birokrasi NTB di bawah Zul-Rohmi hanya mampu menurunkan angka kemiskinan cuma 0,78 persen, atau rata-rata cuma 0,156 persen tiap tahun," terang Najamuddin.

Secara struktur, birokrasi Pemprov NTB juga sangat tidak sehat lantaran terlalu banyak rentetan mutasi yang mencapai 40 kali, sehingga menyebabkan kultur dan psikologi birokrasi menjadi sangat tidak baik. Najamuddin menyebut, Zul-Rohmi terlalu banyak melakukan "naturalisasi pegawai" dari kabupaten/kota, sehingga banyak di antara para pegawai tersebut yang hanya staf di kabupaten/kota, namun tiba-tiba malah menjadi pejabat eselon III di provinsi.

"Birokrasi juga jadi kacau balau, tidak kredibel dan profesional," katanya.

Najamuddin menyatakan dengan terang-terangan memberi contoh bagaimana istri kedua Gubernur Zul yang semula hanya staf biasa, tiba-tiba dilantik menjadi pejabat eselon III tanpa pernah menjabat eselon IV dan mengikuti proses asesmen selayaknya.

Bahkan Najamuddin menegaskan, dirinya tidak anti dengan pindah-nya pegawai dari kabupaten/kota ke Pemprov NTB. Namun, apa yang dilakukan pemerintahan Zul-Rohmi dinilainya sudah di luar nalar, lantaran "naturalisasi pegawai" yang sudah terlalu banyak dan dengan terang benderang disebut Najamuddin mengabaikan sistem nikah yang merupakan salah satu prasyarat terwujudnya reformasi birokrasi.

Banyak pula ujarnya pegawai-pegawai yang merupakan bagian dari "naturalisasi" tersebut sudah teramat biasa bekerja dengan pola pikir lingkup dan skala kabupaten sehingga, ketika mereka pindah untuk menjalankan tugas dengan level dan skala provinsi, kadang mereka keteteran, atau paling tidak memerlukan waktu yang cukup lama untuk adaptasi dan menyesuaikan diri.

Akibatnya, ada pejabat yang akhirnya hanya duduk di jabatannya tak lebih dari umur jagung. Najamuddin mencontohkan bagaimana Amry Rakhman yang ditarik gubernur sebelumnya dari Sumbawa Barat, menduduki sejumlah jabatan eselon II yang boleh disebut hanya "numpang lewat". Mulai dari Kepala Bappeda, Kepala Bappenda, Kepala Badan Riset Daerah, dan kini malah mengajukan pengunduran diri.

Struktur birokrasi yang tidak sehat dan berkinerja lemah tersebut, kata Najamuddin, akhirnya berdampak pula terhadap tata kelola keuangan daerah. Antara lain terlihat dari munculnya utang Pemprov NTB yang nilainya ratusan miliar kepada kontraktor yang telah menuntaskan pengerjaan proyek milik Pemprov NTB. 

"Sebuah sejarah buruk yang belum pernah terjadi di pemerintahan sebelumnya. Hingga Zul-Rohmi meletakkan jabatan pada 19 September 2023, masalah utang kepada kontraktor tersebut ternyata belum juga tuntas dan harus diselesaikan oleh Penjabat Gubernur NTB. Belum lagi defisit APBD yang nilainya mencapai Rp650 miliar," katanya.

"Data-data dan angka-angka itu jelas menunjukkan bahwa birokrasi Pemprov NTB dalam lima tahun terakhir telah gagal total. Oleh karena itu, untuk bisa NTB Maju dan Melaju, mutasi pejabat Pemprov NTB adalah sebuah keharusan. SDM di pemerintahan ini harus dirombak," sambung Najamuddin.

Di sisi lain, ia mengungkapkan, mutasi dan perombakan jajaran pejabat Pemprov NTB ini menjadi cara terbaik bagi Penjabat Gubernur NTB untuk lepas dari berbagai tudingan miring yang dialamatkan kepada dirinya. Sebab, kata dia, banyak selentingan yang mengaitkan posisi Pj Gubernur NTB yang sebelumnya merupakan Sekretaris Daerah NTB, sehingga disebut merupakan bagian dari masalah dan ikut andil terhadap birokrasi sebelumnya yang tidak bekerja optimal. Banyak juga kata Najamuddin yang menyebut dengan terang-terangan, bahwa Pj Gubernur tidak akan berani melakukan mutasi pejabat, sebab merupakan bagian dari rezim pemerintahan sebelumnya.

"Semakin lama mutasi diulur dan digelar, maka tudingan-tudingan itu akan semakin menemukan pembenaran-nya. Kami juga di DPRD NTB patut curiga, jika mutasi tak kunjung dilakukan maka jangan-jangan Pj Gubernur memang bagian dari masalah dan bagian dari rezim pemerintahan sebelumnya," katanya.