Mataram (ANTARA) - Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Nusa Tenggara Barat memperkuat vonis pengadilan tingkat pertama yang menyatakan bahwa EPR (Eka Putra Raharjo) sebagai seorang jaksa fungsional terbukti menerima gratifikasi dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS).
"Hakim banding menyatakan terdakwa Eka Putra Raharjo terbukti melakukan tindak pidana korupsi beberapa kali secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua penuntut umum," kata Juru Bicara Pengadilan Negeri (PN) Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Senin.
Dakwaan tersebut berisi Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 421 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dia menjelaskan putusan banding Eka Putra Raharjo ini telah teregister di Pengadilan Negeri (PN) Mataram dengan Nomor: 13/PID.TPK/2023/PT MTR.
Dalam uraian putusan, jelas dia, hakim menerima permintaan banding para pihak dengan mengubah putusan pengadilan tingkat pertama (PN) sekadar mengenai kualifikasi tindak pidana.
"Untuk vonis pidana yang dijatuhkan, hakim banding tetap menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara dengan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan badan," ujarnya.
Dengan menyatakan demikian, kata dia, hakim banding memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan dengan menjalani sisa pidana.
Pada akhir putusan, hakim mengembalikan berkas terdakwa ke penuntut umum untuk dipergunakan dalam perkara lain.
Hakim banding turut sependapat dengan putusan pengadilan tingkat pertama yang berpendapat bahwa saksi Jatima dan saksi Husni Tamrin harus masuk dalam proses pengembangan penyidikan dari perkara Eka Putra Raharjo.
Hakim juga sepakat dengan putusan pengadilan tingkat pertama (PN) yang yang menyatakan Eka Putra Raharjo memanfaatkan jabatan sebagai jaksa fungsional untuk melakukan aksi pemerasan terhadap sejumlah peserta CPNS yang ikut dalam seleksi di tubuh kejaksaan dan Kemenkumham NTB periode 2020 sampai dengan 2021.