Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Royke Tumilaar menyampaikan bahwa BNI lebih hati-hati dalam menyalurkan kebutuhan kredit berbasis valuta asing (valas) di tengah fluktuasi nilai tukar (kurs) rupiah.
Royke mengatakan BNI terus memantau perkembangan nilai tukar rupiah sambil terus menjaga kualitas portofolio kredit valas.
"Selain itu, BNI juga menerapkan manajemen risiko yang ketat dengan melakukan stress test terhadap kondisi makro ekonomi Indonesia mulai dari pergerakan nilai tukar hingga suku bunga ke depan," kata Royke saat konferensi pers virtual di Jakarta, Senin.
Sementara itu, Direktur Risk Management BNI David Pirzada mengatakan, pihaknya juga melakukan mitigasi risiko dengan memastikan debitur valas BNI merupakan korporasi besar dengan manajemen risiko valas yang prudent dan memiliki natural hedge dalam bisnis model mereka, sehingga volatilitas nilai tukar tidak akan memberikan dampak pada kualitas aset.
Mengingat kondisi likuiditas industri yang masih ketat ditambah adanya penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah, David mengatakan hal ini secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kondisi likuiditas perbankan.
Pergerakan kondisi likuiditas valas di BNI, jelas David, secara garis besar searah dengan kondisi likuiditas perbankan. Di sisi lain, permintaan kredit valas juga masih cukup banyak terutama dari segmen korporasi yang membutuhkan dukungan likuiditas.
"Untuk menjaga kondisi likuiditas valas, BNI secara ketat menjaga likuiditas melalui strategi pengelolaan cashflow valas melalui penghimpunan DPK yang prudent dengan kebijakan pricing yang juga efisien," kata David.
Selain melalui sumber DPK terutama melalui dana murah (current account savings account/CASA), BNI memanfaatkan positioning yang kuat di pasar internasional untuk memperoleh alternatif pendanaan lain yang lebih luas seperti pendanaan valas non-DPK melalui term loan, repo, sertifikat deposit, obligasi, dan lainnya.
"Tidak hanya itu, BNI juga dapat menggunakan channel dari kantor luar negeri sehingga liquidity backstop yang cukup kuat ini dapat dimanfaatkan BNI apabila dibutuhkan," ujar David.
Pada 5 April 2024, BNI menerbitkan obligasi global senilai 500 juta dolar AS atau sekitar Rp7,95 triliun. David mengatakan bahwa hal ini juga sebagai salah satu strategi untuk mendiversifikasi sumber pendanaan, refinancing pendanaan dan mendukung pertumbuhan kredit terutama dalam valas.
Penerbitan obligasi global dengan tenor 5 tahun itu mendapat respons positif dari investor global, ditandai dengan kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga 6,4 kali dari rencana nilai yang diterbitkan. Tingginya kepercayaan investor global membuat BNI mampu menekan yield obligasi hanya di kisaran 5,3 persen ketika bookbuilding dilakukan.
Baca juga: BNI bawa UMKM kopi binaan Xpora ke Amerika
Baca juga: Bulog dan BNI kolaborasi penguatan cadangan pangan
"Penerbitan obligasi global tersebut juga dilakukan sebelum terjadi fluktuasi nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, sehingga BNI memperoleh harga yang optimal," ujar David.
Sebelum menerbitkan obligasi global, BNI juga telah melakukan kajian mendalam terhadap berbagai aspek risiko termasuk risiko pasar, kredit dan likuiditas. Kajian tersebut memastikan bahwa penerbitan obligasi dilakukan dengan prudent.
"Nilai emisi global bond ini tidak melebihi 20 persen dari ekuitas BNI. Hal ini juga menunjukkan penerbitan obligasi ini terkendali dan juga dikelola dengan baik," kata David.