Pernyataan Presiden Prabowo di MA jadi angin segar bagi kesejahteraan hakim adhoc

id FSHA,prabowo,MA,mahkamah agung,kesejahteraan hakim adhoc Oleh FSHA *)

Pernyataan Presiden Prabowo di MA jadi angin segar bagi kesejahteraan hakim adhoc

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato pada sidang istimewa laporan tahunan Mahkamah Agung (MA) 2024 di Gedung MA, Jakarta, Rabu (19/2/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wpa.)

Mataram (ANTARA) - Forum Solidaritas Hakim Adhoc Indonesia (FSHA) menyambut baik dan memberi apresiasi terhadap pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto yang disampaikan dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) mengenai pentingnya menjaga kualitas hidup dan kesejahteraan hakim.

Presiden menyebut dirinya mendapat laporan bahwa banyak hakim yang tidak memiliki rumah dan tinggal di rumah kos.

FSHA juga mencatat dengan sungguh-sungguh pesan Presiden agar para hakim dapat memberikan keadilan melalui putusan-putusannya.

Menurut FSA, pernyataan Presiden tersebut memberi angin segar bagi seluruh hakim di Indonesia, khususnya para hakim adhoc, yang kesejahteraannya belum mengalami perubahan sejak tahun 2013.

Hal itu mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2024 yang disahkan pada akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo tersebut, hanya "dinikmati" oleh hakim karir dan terkesan "melupakan" hakim adhoc.

Hal demikian terjadi karena peraturan yang mengatur mengenai hak keuangan dan fasilitas hakim adhoc, yakni Perpres Nomor 5 tahun 2013 tidak ikut diubah.

Perpres ini pernah mengalami perubahan pada tahun 2023 untuk mengakomodasi Hakim Adhoc Hak Asasi Manusia, namun bagi hakim adhoc yang lain (hakim adhoc tindak pidana korupsi, hakim adhoc hubungan industrial dan hakim adhoc perikanan) tidak ada kenaikan penghasilan sejak tahun 2013.

Akibat dari tidak ada perubahan terhadap perpres ini, ada kesenjangan penghasilan yang cukup tajam antara hakim karir dan hakim adhoc. Padahal, baik hakim karir maupun hakim adhoc, sejatinya adalah sama-sama hakim yang menjalankan tugas untuk memeriksa dan memutus perkara.

Keduanya terikat dengan kode etik dan tata kerja yang sama (jam kerja, pakaian dinas, mekanisme cuti dan lain sebagainya), namun keduanya menerima penghasilan yang berbeda.

Kesenjangan antara hakim karir dan hakim adhoc semakin terlihat karena pendapatan hakim adhoc harus dipotong pajak penghasilan, sedangkan hakim karir tidak. Sudahlah nilainya lebih kecil, dipotong pajak pula.

Selain penghasilan yang belum berubah, hakim adhoc juga menerima fasilitas yang kurang memadai. Perpres Nomor 5 tahun 2013 mengatur fasilitas hakim adhoc di antaranya rumah negara, fasilitas transportasi dan biaya perjalanan dinas.

Dalam prakteknya, hakim adhoc "hanya" menerima bantuan biaya rumah yang nilainya hanya cukup untuk sewa kos, dan bantuan transportasi yang nilainya juga kurang memadai.

Dari sisi bentuk peraturan, perubahan Peraturan Presiden merupakan wewenang Presiden. Prosesnya -seharusnya- lebih mudah dibanding melakukan perubahan Peraturan Pemerintah.

Jika perubahan PP Nomor 94 tahun 2012 bisa dilakukan perubahan dalam waktu cepat oleh Presiden Joko Widodo yang hanya sekian hari setelah ada gerakan Solidaritas Hakim Indonesia menjadi PP Nomor 44 tahun 2024, tentunya Presiden Prabowo dengan kewewenang yang dimilikinya, memiliki kesempatan yang jauh lebih terbuka untuk segera melakukan perubahan Perpres Nomor 5 tahun 2013.

Oleh karena itu, FSHA mendukung dan berharap agar Presiden Prabowo Subianto menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk segera melakukan perubahan Perprs Nomor 5 tahun 2013 dan memberikan kesejahteraan bagi para hakim, khususnya hakim adhoc.

Presiden memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa janji dan pidato yang diucapkannya akan benar-benar dilaksanakan atau tidak.

Selain kesejahteraan hakim, FSHA juga memberikan dukungan agar Presiden memberikan perhatian terhadap kesejahteraan aparatur pengadilan yang lain, baik pada bagian sekretariat dan kepaniteraan, agar seluruh aparatur pengadilan dapat menjalankan tugasnya dengan baik tanpa dibebani persoalan kesejahteraan yang seharusnya dijamin oleh negara.

Untuk wilayah kerja NTB, hakim adhoc sedikitnya berjumlah lima orang. Untuk hakim adhoc tipikor di antaranya ada Fadhli Hanra, SH, MKn, dan Irawan Ismail, SH.

Kemudian hakim adhoc PHI ada tiga orang, mereka adalah Hijri Samsuri, SH, MH, M. Endang Agus Effendy, SH, dan Hesti Kurnia Kasih, SH.

*) Penulis adalah Forum Solidaritas Hakim Adhoc Indonesia (FSHA)