Mataram (ANTARA) - Ambisi Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal dan wakil Indah Dhamayanti Putri (Iqbal-Dinda) untuk menjadikan Teluk Saleh dan Lakey Peak sebagai destinasi wisata kelas dunia terdengar megah. Namun, visi ini penuh dengan celah logis, janji bernuansa populisme, dan pendekatan yang lebih mengedepankan retorika ketimbang eksekusi realistis. Meskipun niat mengembangkan pariwisata NTB patut diapresiasi, analisis kritis diperlukan agar publik tidak terjebak dalam euforia janji manis tanpa memahami tantangan riil di lapangan.
Lalu Muhammad Iqbal dengan pengalaman sebagai mantan Duta Besar Indonesia untuk Turki kerap menyebut Teluk Saleh sebagai “permata langka” dan Lakey Peak sebagai “surga selancar dunia”. Pernyataan seperti “kita tidak perlu takut menjual mahal di Teluk Saleh” atau perbandingan dengan wisata balon udara di Cappadocia, Turki, yang menghasilkan 6.000 euro per penerbangan, terdengar bombastis dan menggoda. Namun, narasi ini lebih mencerminkan optimisme berlebihan ketimbang strategi terukur.
Membandingkan Teluk Saleh dengan Cappadocia ibarat membandingkan apel dan jeruk. Cappadocia memiliki infrastruktur pariwisata matang, aksesibilitas global, dan promosi internasional yang telah berjalan puluhan tahun. Sebaliknya, Teluk Saleh masih bergulat dengan pengelolaan yang jauh dari optimal. Infrastruktur dasar seperti transportasi, akomodasi, dan fasilitas pendukung wisata masih sangat terbatas. Bahkan hingga Januari 2025 kapal pinisi dari Bali dan Labuan Bajo yang membawa turis untuk melihat hiu paus di Teluk Saleh belum didukung dengan payung hukum yang jelas. Jika regulasi dasar saja belum rampung, bagaimana NTB berani bermimpi setara dengan destinasi wisata dunia yang sudah mapan?
Pernyataan Iqbal seperti “menjual mahal” juga menunjukkan pemahaman dangkal tentang dinamika pasar pariwisata. Wisatawan kelas dunia tidak hanya membayar untuk pengalaman unik, tetapi juga untuk kenyamanan, keamanan, dan layanan premium. Meskipun Teluk Saleh memiliki keindahan alam dan biodiversitas seperti hiu paus, namun ekosistem pariwisata yang mendukung harga premium belum terbentuk. Tanpa investasi besar dalam infrastruktur, pelatihan SDM, dan promosi global, gagasan menjual paket wisata eksklusif dengan harga tinggi hanya angan-angan yang berisiko menjauhkan wisatawan domestik tanpa menarik wisatawan mancanegara.
Iqbal sering menyinggung konsep “wisata terpadu” yang menggabungkan atraksi seperti selancar di Pantai Lakey dengan wisata alam dan budaya di Teluk Saleh. Ide ini menarik di atas kertas, tetapi implementasinya penuh dengan tantangan yang belum cukup dijelaskan oleh Iqbal-Dinda.
Pertama, integrasi berbagai jenis wisata membutuhkan perencanaan matang, terutama konektivitas antar-destinasi. Saat ini akses ke Teluk Saleh dan Lakey Peak masih terbatas dengan transportasi publik yang minim dan infrastruktur jalan yang tidak memadai di beberapa wilayah. Bagaimana wisatawan dapat menikmati “paket terpadu” jika perjalanan antar-lokasi rusak dan melelahkan?
Kedua, konsep wisata terpadu memerlukan kolaborasi lintas sektoral antara pemerintah, investor, dan masyarakat lokal. Namun, pengelolaan Teluk Saleh masih terhambat oleh kurangnya dukungan pemerintah sebelumnya. Meskipun Iqbal berjanji melibatkan investor dan pelaku industri pariwisata, belum ada kejelasan mengenai model bisnis konkret. Apakah pemerintah NTB akan menyediakan insentif pajak untuk investor? Bagaimana mekanisme pembagian keuntungan dengan masyarakat lokal? Tanpa peta jalan yang transparan, konsep wisata terpadu berisiko menjadi slogan kosong.
Iqbal berulang kali menekankan pentingnya konservasi di Teluk Saleh yang merupakan habitat hiu paus dan bagian dari cagar biosfer dunia. Namun di sisi lain, ia mendorong komersialisasi agresif dengan harga premium dan target wisatawan kelas atas. Ini menunjukkan kontradiksi yang sulit diterima. Wisata berbasis ekologi seperti interaksi dengan hiu paus membutuhkan regulasi ketat untuk mencegah gangguan ekosistem. Namun hingga Desember 2024 payung hukum untuk konservasi hiu paus di Teluk Saleh masih dalam tahap penyusunan. Jika regulasi belum rampung, bagaimana pemerintah menjamin lonjakan wisatawan tidak merusak ekosistem?
Fokus pada wisatawan “ber-spending besar” juga berpotensi mengabaikan masyarakat lokal yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama pariwisata. Pengalaman di destinasi seperti Bali menunjukkan bahwa komersialisasi berlebihan sering meminggirkan komunitas lokal dengan keuntungan lebih banyak mengalir ke investor besar. Iqbal-Dinda perlu menjelaskan bagaimana mereka memastikan masyarakat lokal seperti nelayan di Teluk Saleh atau pelaku usaha kecil di Lakey Peak mendapat manfaat ekonomi signifikan tanpa dikorbankan demi kepentingan investor.
Lakey Peak di Dompu memang dikenal sebagai destinasi selancar internasional karena memiliki ombak yang unik yang menggulung ke kiri. Namun, Iqbal sendiri mengakui bahwa pengembangan infrastruktur dan promosi di kawasan ini masih belum optimal. Jika Lakey Peak sudah menarik wisatawan mancanegara tanpa intervensi signifikan dari pemerintah, mengapa baru sekarang perhatian diberikan? Ini menunjukkan kelalaian pemerintah daerah sebelumnya dan memunculkan pertanyaan: apa yang akan dilakukan Iqbal-Dinda selanjutnya?
Usulan menjadikan Lakey Peak sebagai tuan rumah cabang olahraga selancar pada PON 2028 merupakan ide yang menarik, tetapi terasa seperti solusi jangka pendek untuk menarik perhatian. Kompetisi olahraga berskala nasional dapat meningkatkan eksposur, tetapi tanpa pembangunan infrastruktur seperti akomodasi, fasilitas pendukung, dan promosi internasional yang konsisten, dampaknya hanya sementara. Selain itu, Lakey Peak menghadapi tantangan kurangnya diversifikasi atraksi wisata. Selain selancar, apa lagi yang ditawarkan? Tanpa pengembangan wisata alternatif, seperti yang diusulkan pelaku wisata lokal, Lakey Peak berisiko tetap menjadi destinasi niche yang hanya menarik segmen terbatas.
Iqbal-Dinda menegaskan bahwa pariwisata NTB akan menjadi prioritas, dengan target ambisius seperti 2,5 juta kunjungan wisatawan pada 2025. Namun, visi ini tidak didukung kejelasan anggaran dan sumber pendanaan. Pengembangan destinasi kelas dunia membutuhkan investasi ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah, untuk infrastruktur, promosi, dan pelatihan SDM.
Sebagai gambaran, proyek konservasi Teluk Saleh hanya mendapat dana 500.000 euro (sekitar Rp 8 miliar) dari Pemerintah Prancis. Angka ini terlalu kecil untuk ambisi sekelas destinasi wisata dunia. Tanpa anggaran memadai dari APBD atau investasi swasta secara signifikan, visi ini berisiko menjadi mimpi kosong. Iqbal-Dinda perlu belajar dari kegagalan destinasi lain di Indonesia seperti Labuan Bajo yang masih berjuang dengan masalah dasar seperti pengelolaan sampah dan aksesibilitas meskipun mendapat perhatian nasional. Tanpa komitmen nyata melalui alokasi anggaran dan kebijakan terukur, Teluk Saleh dan Lakey Peak hanya akan menjadi bahan kampanye berikutnya.
Visi Iqbal-Dinda juga menunjukkan ketimpangan perhatian antara Pulau Lombok dan Sumbawa. Lombok dengan Mandalika sebagai Destinasi Super Prioritas telah mendapat sorotan nasional dan investasi besar seperti KEK Mandalika dengan total investasi US$ 3,35 miliar. Sebaliknya, Sumbawa yang menjadi rumah Teluk Saleh dan Lakey Peak masih tertinggal dalam infrastruktur dan promosi. Meskipun Iqbal berjanji memprioritaskan Sumbawa, belum ada indikasi kuat bahwa pemerintahannya akan mengalihkan fokus secara signifikan dari Lombok. Ketimpangan ini berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi antara kedua pulau, dengan Sumbawa terus dianaktirikan yang kurang diperhatikan.
Data statistik memperkuat kritik terhadap visi Iqbal-Dinda. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel yang fluktuatif (28,45% pada Maret 2024 hingga 55,26% pada Agustus 2024), kunjungan wisatawan mancanegara yang terbatas (1,04 juta secara nasional pada Maret 2024), dan dana konservasi yang minim (Rp 8 miliar untuk Teluk Saleh) menunjukkan bahwa NTB belum memiliki fondasi kuat untuk mewujudkan ambisi ini. Konsep wisata terpadu dan penjualan paket premium merupakan ide menarik, tetapi tanpa infrastruktur, regulasi, dan pendanaan memadai, visi ini hanya akan menjadi retorika kosong.
Iqbal-Dinda harus bergerak cepat dengan menyusun peta jalan yang jelas, mengalokasikan anggaran realistis, dan memastikan keseimbangan antara konservasi dan komersialisasi. Masyarakat NTB berhak menuntut lebih dari sekadar janji manis. Tanpa langkah konkret, Teluk Saleh dan Lakey Peak akan tetap menjadi potensi terpendam, bukan destinasi wisata dunia yang sesungguhnya.
Visi Iqbal-Dinda untuk menjadikan Teluk Saleh dan Lakey Peak sebagai destinasi wisata kelas dunia merupakan mimpi besar yang layak diapresiasi. Namun, tanpa strategi jelas, pendanaan memadai, dan eksekusi yang realistis, visi ini berisiko menjadi fatamorgana. Retorika bombastis tentang “menjual mahal” dan “wisata terpadu” tidak cukup untuk mengatasi tantangan riil seperti infrastruktur lemah, regulasi yang belum matang, dan potensi konflik antara konservasi dan komersialisasi.
Iqbal-Dinda perlu berhenti berbicara dalam bahasa kampanye dan mulai menyusun peta jalan transparan dengan target jangka pendek, menengah, dan panjang yang realistis. Tanpa itu Teluk Saleh dan Lakey Peak mungkin tetap menjadi “permata tersembunyi” yang hanya indah di atas kertas, bukan destinasi wisata dunia yang sesungguhnya. Publik NTB berhak menuntut lebih dari sekadar janji. Iqbal-Dinda harus membuktikan bahwa mereka tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu mengelola potensi NTB dengan bijak. Waktu akan menjadi hakim terbaik, tetapi untuk saat ini skeptisisme adalah sikap paling rasional.
*) Penulis adalah Wasekum PPPA HMI Komisariat Muhammad Darwis