Surabaya (ANTARA) - Setiap 21 April, ingatan kita kembali pada sosok Raden Ajeng Kartini, perempuan visioner yang tak pernah lekang dimakan zaman. Ia bukan sekadar simbol emansipasi, melainkan nyala jiwa yang terus menyertai langkah perempuan Indonesia yang memilih untuk bangkit, berdaya, dan memberi makna.
Dalam setiap denyut perjuangan perempuan masa kini, jejak Kartini terus hidup. Bukan hanya dalam seremoni, bukan semata lewat kebaya, melainkan dalam keberanian untuk belajar, mengambil peran, dan mencipta perubahan, yang melampaui sekat ruang dan lintas generasi. Kartini menulis bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk masa depan yang lebih cerah. Dan kini, kitalah generasi yang menjadi amanah dari harapannya.
Di era digital yang penuh kemungkinan, pertanyaannya bukan lagi apakah perempuan mampu, tetapi apakah ruang bagi perempuan benar-benar tersedia dan apakah kita cukup berani untuk mengisinya. Spirit Kartini itulah yang dirasakan oleh kaum perempuan Indonesia, termasuk saya sebagai salah satu perempuan yang bergelut di dunia teknologi dan pendidikan tinggi.
Kartini dan Tantangan Teknologi
Semangat Kartini terus menemukan relevansinya dalam lanskap pendidikan dan teknologi masa kini. Di tengah era disrupsi digital, kepemimpinan perempuan tidak lagi dimaknai sekadar sebagai keberanian untuk mendobrak batas, melainkan sebagai kemampuan untuk merancang arah perubahan, menyatukan visi kolektif, dan menumbuhkan nilai-nilai kemajuan dalam sistem yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam bidang rekayasa perangkat lunak untuk pendidikan, peran ini menjadi semakin strategis, sebab teknologi tak hanya menuntut kompetensi, tetapi juga kepekaan sosial.
Rekayasa perangkat lunak kini bukan sekadar domain teknis, melainkan jembatan menuju membuka akses pendidikan yang setara dan bermutu. Spirit Kartini hadir dalam setiap algoritma yang dibangun untuk mendukung pembelajaran adaptif, dalam riset yang menghadirkan solusi nyata bagi sekolah-sekolah di pelosok, serta dalam inovasi yang memperluas akses belajar bagi seluruh anak bangsa, tanpa memandang latar belakang geografis maupun sosial. Di sinilah teknologi menjelma sebagai alat pemberdayaan, bukan hanya efisiensi.
Pengalaman mendampingi transformasi digital dalam pengembangan sistem informasi kampus menunjukkan bahwa inklusivitas tidak terjadi secara otomatis. Teknologi hanya akan menjadi ruang yang adil jika dirancang dengan kesadaran penuh akan keberagaman, termasuk pentingnya kehadiran, sudut pandang, dan kontribusi perempuan dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan. Sebab tanpa keberagaman itu, kemajuan digital bisa jadi justru memperlebar jurang, bukan menyatukan langkah.
Kartini pernah menulis dengan lantang, "Habis gelap terbitlah terang." Ungkapan ini bukan sekadar puisi harapan, tapi juga filosofi perjuangan. Dalam konteks hari ini, “terang” itu adalah literasi digital, kesetaraan akses, dan teknologi yang memanusiakan. Maka, tugas kita bukan hanya menyalakan cahaya itu, tetapi menjaganya agar tetap menyinari siapa pun, tanpa kecuali.
Kartini dan Masa Depan Pendidikan
Hari Kartini seharusnya tidak berhenti sebagai perayaan masa lalu, melainkan menjadi momentum untuk menyusun peta jalan menuju masa depan. Masa depan yang lebih adil, cerdas, dan beradab dimulai dari perempuan yang berani belajar, memimpin, dan membangun dengan nilai dan kasih. Spirit Kartini mengajarkan bahwa pendidikan dan kemajuan perempuan bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan untuk menciptakan perubahan yang lebih luas bagi masyarakat.
Meneladani Kartini di era digital berarti mengubah keterbatasan menjadi peluang, dan menjadikan teknologi sebagai alat perjuangan baru. Spiritnya hidup dalam tindakan yang konkret, berinovasi, berkontribusi, berpikir kritis, bergerak kolaboratif, dan terus belajar demi menciptakan dampak nyata, khususnya di bidang pendidikan dan kemanusiaan. Untuk itu, ada tiga langkah strategis yang dapat ditempuh oleh perempuan masa kini sebagai penerus cita-cita Kartini.
Pertama, menjadi pembelajar sepanjang hayat. Kartini mencintai ilmu dan menjadikannya jalan pembebasan. Di era digital, perempuan dapat mengakses sumber belajar dari seluruh dunia dan menjadi ahli di bidang apa pun yang mereka pilih.
Kedua, mengambil peran strategis di berbagai sektor. Perempuan masa kini harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan: di kampus, di institusi pemerintahan, di startup, di ruang kebijakan, di ruang publik, hingga di forum internasional. Seperti Kartini yang bersuara melalui surat-suratnya, perempuan kini bisa bersuara lewat teknologi dan memimpin perubahan.
Ketiga, membawa nilai-nilai luhur ke dalam setiap inovasi. Teknologi yang canggih tanpa nilai akan kehilangan arah. Kartini bukan hanya cerdas, tetapi juga penuh empati, etika, dan kelembutan hati. Itulah kekuatan perempuan yang harus dibawa ke dunia digital, agar teknologi tak hanya memajukan, tetapi juga mencerdaskan, menyatukan, memanusiakan pendidikan.
Masa depan pendidikan membutuhkan suara, pemikiran, dan kehadiran perempuan. Peran perempuan sangatlah vital dalam membentuk wajah peradaban bangsa, baik sebagai guru, ibu, peneliti, inovator, maupun pemimpin institusi. Wahai perempuan Indonesia, mari kita jadikan Hari Kartini bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi sebagai pijakan untuk membangun masa depan. Kini saatnya menghidupkan semangat Kartini dalam bentuk yang paling relevan hari ini, dengan ilmu yang memberdayakan, keberanian yang menginspirasi, dan kasih yang menumbuhkan harapan bagi generasi mendatang.
*) Penulis adalah Sekretaris Institut di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Guru Besar Teknik Informatika Bidang Rekayasa Perangkat Lunak untuk Pendidikan