Dompu (ANTARA) - Selasa, 10 Juni 2025, ketika matahari pagi menyapa puncak Tambora dan kabut perlahan turun dari lekuk-lekuk kawahnya yang megah saya bersama Tim Taman Nasional Gunung Tambora berhasil summit, kita sedang berdiri di atas bukan hanya gugusan batu dan tanah. Kita berdiri di atas sejarah letusan terdahsyat dalam sejarah manusia modern. Kita berdiri di atas ekosistem langka yang masih perawan, dan kita berdiri di atas harapan besar: bahwa alam Indonesia dapat dijaga, dirawat, dan diwariskan secara bermartabat.
Gunung Tambora di Pulau Sumbawa bukan sekadar objek wisata atau titik tertinggi di Pulau Sumbawa. Ia adalah simfoni alam, saksi sejarah peradaban, sekaligus ruang konservasi yang menantang kita untuk hadir dalam kebijakan yang adil dan visioner.
1. Tambora sebagai Situs Ekologi Kritis
Gunung Tambora adalah salah satu mahakarya ekologi yang dimiliki Indonesia. Terletak di Pulau Sumbawa, kawasan ini merupakan rumah bagi ratusan spesies flora dan fauna endemik yang tidak ditemukan di tempat lain. Sebagai kawasan Taman Nasional, Tambora menjadi ruang konservasi penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem regional di Nusa Tenggara Barat.
Namun, fungsi ekologis Tambora kini tengah menghadapi tekanan besar dari berbagai arah. Aktivitas ilegal seperti perambahan hutan, pembukaan lahan secara tidak terkendali, serta degradasi kawasan akibat perubahan iklim, menjadi tantangan serius yang memerlukan intervensi nyata dan berkelanjutan. Penguatan fungsi pengawasan dan penegakan hukum kehutanan menjadi hal yang tidak bisa ditawar.
Sebagai pecinta alam, saya melihat bahwa menjaga Tambora berarti menjaga masa depan ekologis Pulau Sumbawa. Restorasi kawasan kritis, penguatan buffer zone, serta pelibatan aktif masyarakat lokal sebagai mitra konservasi harus menjadi pendekatan utama. Masyarakat bukan hanya penerima manfaat, melainkan aktor utama dalam sistem konservasi berbasis kearifan lokal.
Upaya konservasi juga harus diselaraskan dengan pendekatan ilmiah. Kajian biodiversity harus ditingkatkan dan dijadikan dasar dalam setiap kebijakan tata kelola. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengalokasikan anggaran riset dan pemberdayaan yang memadai untuk memastikan keberlanjutan kawasan ini.
Jika Tambora kita jaga dengan serius, maka kawasan ini dapat menjadi model nasional konservasi terpadu. Bukan hanya menjaga keanekaragaman hayati, tetapi juga menyediakan jasa lingkungan penting seperti pengendalian iklim mikro, penyimpanan karbon, dan sumber air bagi kawasan hilir.
2. Sejarah Letusan dan Warisan Budaya Tambora
Letusan Tambora pada April 1815 merupakan salah satu peristiwa vulkanik terbesar sepanjang sejarah manusia. Dentuman yang menggelegar hingga ribuan kilometer ini bukan hanya mengubah lanskap Pulau Sumbawa, tetapi juga mempengaruhi iklim global. Dunia mencatatnya sebagai “tahun tanpa musim panas”, dan dunia ilmiah mengakui dampaknya sebagai tragedi sekaligus pembelajaran penting.
Namun ironisnya, di tanah kelahirannya sendiri, sejarah Tambora masih belum sepenuhnya hadir dalam narasi kebangsaan. Tidak banyak sekolah yang menjadikan Tambora sebagai bagian penting dari kurikulum lokal maupun nasional. Situs-situs arkeologis dari kerajaan-kerajaan yang terkubur pun belum seluruhnya diekskavasi dan dikelola secara berkelanjutan.
Pemerintah dan pemangku kebijakan perlu mendorong pengembangan museum situs, arsip digital, dan kurikulum lokal berbasis sejarah kawasan. Ini bukan hanya soal pelestarian, tetapi juga tentang membangun identitas dan kebanggaan lokal. Generasi muda Sumbawa harus tahu bahwa mereka tinggal di tanah yang pernah "mengubah dunia".
Warisan budaya Tambora juga dapat dikemas sebagai bagian dari geowisata edukatif. Jalur-jalur pendakian dapat diberi nama berdasarkan tokoh sejarah atau kerajaan yang pernah ada. Cerita-cerita lisan bisa diangkat dalam bentuk pertunjukan budaya di basecamp atau titik-titik istirahat.
Sejarah yang hidup akan membuat
Tambora lebih dari sekadar tempat. Ia menjadi ruang refleksi kolektif tentang kerentanan, kekuatan, dan keberlanjutan. Itulah yang membuat kawasan ini layak dipertahankan sebagai situs peradaban sekaligus pendidikan.
3. Tambora sebagai Pilar Ekowisata dan Eduwisata Nasional
Dalam beberapa tahun terakhir, Tambora mulai dikenal di kalangan pendaki dan wisatawan nusantara sebagai destinasi yang menantang dan memesona. Namun potensi pariwisatanya jauh melampaui itu. Dengan pendekatan yang tepat, Tambora bisa menjadi contoh sukses dari integrasi antara ekowisata, konservasi, dan edukasi publik.
Konsep eduwisata di Tambora harus dibangun berdasarkan prinsip low impact – high learning. Artinya, pariwisata yang tidak merusak lingkungan namun memberi nilai tambah pengetahuan dan kesadaran ekologis bagi pengunjung. Edukasi tentang sejarah letusan, konservasi satwa, hingga pelestarian budaya lokal bisa menjadi bagian integral dari setiap paket wisata.
Infrastruktur wisata pun perlu didesain secara ramah lingkungan. Mulai dari jalur pendakian yang aman namun tetap alami, pos informasi yang edukatif, hingga penyediaan energi bersih di titik-titik istirahat. Semua ini perlu dirancang dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama, bukan sekadar tenaga pendukung.
Pemerintah daerah dan kementerian terkait harus menyusun masterplan pariwisata Tambora yang berorientasi jangka panjang. Sertifikasi pemandu wisata, pelatihan masyarakat, hingga promosi digital yang etis harus digencarkan. Kita tak ingin Tambora bernasib sama seperti destinasi lain yang terjebak dalam pariwisata massal tak terkendali.
Ketika Tambora dikenalkan sebagai destinasi wisata berbasis ilmu pengetahuan dan pelestarian, maka wisatawan yang datang bukan hanya membawa pulang foto, tetapi juga kesadaran dan cinta terhadap alam Indonesia.
4. Mendorong Kebijakan Satu Peta, Satu Narasi Tambora
Salah satu kendala terbesar dalam pengelolaan kawasan Tambora adalah tumpang tindih kebijakan dan ego sektoral antar lembaga. Status kawasan, perizinan aktivitas, hingga pengelolaan anggaran sering kali tidak selaras satu sama lain. Akibatnya, program konservasi dan pengembangan wisata berjalan tanpa arah yang utuh.
Sudah saatnya negara hadir secara sistematis melalui kebijakan integratif. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten perlu menyusun Rencana Tata Kelola Terpadu Tambora. Peta kawasan harus disepakati secara legal dan teknis, menghindari konflik antara zona konservasi, zona tradisional, dan zona pengembangan.
Langkah awalnya bisa melalui penetapan Tambora sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) berbasis konservasi dan budaya. Status ini akan mempermudah alokasi anggaran, memperkuat payung hukum, dan mengintegrasikan perencanaan lintas sektor.
Narasi Tambora pun harus dikemas dalam satu bahasa kebijakan: bahwa kawasan ini adalah warisan dunia, bukan hanya milik lokal. Narasi ini perlu diadopsi dalam RPJMN, RPJMD, dan bahkan rencana kerja tahunan kementerian-kementerian teknis.
Kita tak bisa lagi membiarkan Tambora dikelola dengan logika sektoral. Gunung ini terlalu penting untuk diperlakukan seperti objek biasa. Ia adalah simbol integrasi antara alam, sejarah, dan masa depan bangsa.
5. Dari Tambora untuk Dunia: Saatnya Dunia Menyapa Kembali
Letusan Tambora 1815 adalah sapaan keras dari bumi Indonesia kepada dunia. Kini, lebih dari dua abad kemudian, dunia harus kembali menyapa Tambora—bukan karena dentuman, tapi karena keteladanan kita dalam menjaga dan mengelolanya.
Kawasan ini layak dipromosikan dalam forum-forum internasional seperti UNESCO Global Geopark, program ekowisata FAO, dan jaringan konservasi dunia. Kita perlu menjadikan Tambora sebagai contoh diplomasi hijau dan soft power Indonesia dalam panggung global.
Pemerintah pusat dan daerah harus menyusun dokumen kebijakan luar negeri berbasis konservasi dan budaya, dan mengangkat Tambora sebagai model integrasi. Diplomasi lingkungan bukan hal baru, namun belum banyak digunakan untuk kawasan seperti Tambora.
Dalam semangat ini, kita juga bisa mengundang peneliti dan pegiat lingkungan dari berbagai negara untuk terlibat dalam program "Tambora International Research Fellowship", atau bahkan menyelenggarakan "Tambora Conservation Summit" setiap tahun.
Karena dunia telah mencatat Tambora sebagai letusan yang mengubah sejarah, maka kini giliran kita yang menjadikan Tambora sebagai inspirasi dalam menulis sejarah baru: sejarah kolaborasi, pelestarian, dan kemajuan berbasis nilai luhur.
Penutup: Menjadi Penjaga, Bukan Sekadar Penikmat
Tambora adalah guru besar yang mengajarkan banyak hal. Ia mengajarkan kesabaran alam, kemegahan sejarah, dan konsekuensi dari ketidakharmonisan manusia dengan bumi. Namun lebih dari itu, Tambora mengingatkan kita bahwa konservasi bukan sekadar menjaga pohon atau menanam bibit. Konservasi adalah bentuk cinta dan tanggung jawab antargenerasi.
Sebagai pecinta alam dan wakil rakyat, saya meyakini bahwa Tambora bisa menjadi teladan nasional tentang bagaimana kita memperlakukan bumi dengan penuh hormat. Bukan untuk dieksploitasi, tetapi untuk dimuliakan.
Maka, mari kita jaga Tambora dengan ilmu. Rawat Tambora dengan budaya. Kembangkan Tambora dengan etika. Dan wariskan Tambora dengan kebijakan yang bijak.
Karena dulu Tambora menyapa dunia. Kini, saatnya dunia yang menyapa Tambora.
*) Penuls adalah Anggota DPR RI, Komisi IV FPKS Dapil Pulau Sumbawa dan Pecinta Alam, dan Penggiat Pariwisata Berkelanjutan
                  