Amnesti dan Abolisi dalam kasus Korupsi: Antara hak konstitusional dan ancaman terhadap integritas hukum

id amnesti ,abolisi ,koruptor,konstitusi ,krisis moral hukum Oleh  Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, S.H., M.H. *)

Amnesti dan Abolisi dalam kasus Korupsi: Antara hak konstitusional dan ancaman terhadap integritas hukum

Pemerhati Hukum Administrasi Negara, Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB 2022-2027 dan Dosen Program Studi Magister Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Mataram, Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, S.H., M.H. * (ANTARA/HO-Dok Firzhal Arzhi Jiwantara)

Mataram (ANTARA) - Pemberantasan korupsi adalah ujian paling nyata bagi integritas hukum dan moralitas kekuasaan di negara demokratis. Ketika kewenangan konstitusional yang seharusnya menjadi instrumen keadilan justru digunakan untuk menyelamatkan individu yang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan erosi diam-diam terhadap prinsip negara hukum. Kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 bukanlah kekuasaan tanpa batas, melainkan mandat yang harus dijalankan dengan kepatutan dan akuntabilitas yang tinggi. Kendati bersumber dari konstitusi, kewenangan ini bukanlah kekuasaan absolut, melainkan harus tunduk pada prinsip checks and balances, serta dijalankan dalam bingkai negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.

Pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus korupsi, khususnya ketika proses hukum masih berjalan, adalah tindakan yang patut diuji secara konstitusional dan administratif. Dari perspektif hukum tata negara, tindakan tersebut dapat merusak prinsip checks and balances, mengintervensi independensi lembaga penegak hukum, dan membuka preseden impunitas. Dari kacamata hukum administrasi negara, keputusan Presiden tersebut dapat dikualifikasi sebagai keputusan tata usaha negara yang harus tunduk pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), termasuk prinsip kehati-hatian, keadilan, dan tidak menyalahgunakan wewenang.

Dalam konteks itu, kritik publik bukan sekadar ekspresi ketidaksetujuan, tetapi justru cermin dari kesadaran konstitusional masyarakat. Di tengah melemahnya lembaga-lembaga pengawas dan menguatnya oligarki politik, suara kritis terhadap potensi penyalahgunaan amnesti dan abolisi harus ditempatkan sebagai instrumen kontrol sipil yang sah. Negara hukum tidak boleh diam ketika hukum digunakan untuk melindungi kekuasaan, bukan untuk menegakkan keadilan.

Polemik yang muncul akibat pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto, yang tengah menjadi sorotan publik, mencerminkan titik rawan dalam praktik ketatanegaraan kita. Dalam konteks tersebut, patut dipertanyakan: apakah kewenangan konstitusional ini dijalankan berdasarkan kepentingan keadilan dan kemaslahatan umum, ataukah justru digunakan sebagai instrumen politik untuk menyelamatkan kepentingan kekuasaan?

1. Perspektif Hukum Tata Negara: Batas Konstitusional atas Hak Prerogatif Presiden

Secara doktrinal, hak prerogatif Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi merupakan bagian dari desain konstitusi yang menempatkan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun, pemberian abolisi kepada pihak yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi, terlebih saat proses hukum masih berjalan atau belum memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), berpotensi melanggar asas due process of law dan mencederai prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
Lebih dari itu, apabila proses persetujuan DPR hanya bersifat administratif dan tanpa uji substansi, maka pemberian abolisi berisiko menjadi legalisasi impunitas yang mencederai cita negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya politisasi hukum melalui instrumen konstitusional.

2. Perspektif Hukum Administrasi Negara: Kewenangan Diskresi yang Tidak Bebas Nilai

Dari sudut pandang hukum administrasi negara, keputusan Presiden dalam memberikan abolisi merupakan bentuk besluit atau keputusan tata usaha negara yang bersifat individual dan konkret. Maka, tindakan tersebut harus tunduk pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pemberian abolisi kepada seseorang yang secara hukum belum memperoleh kepastian status pidananya, tanpa terlebih dahulu menempuh proses pembuktian yudisial, dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). Ini tidak hanya mengganggu independensi lembaga penegak hukum, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap integritas sistem peradilan pidana.

3. Kritik sebagai Pilar Demokrasi dan Pengawasan Kekuasaan

Dalam iklim negara demokrasi konstitusional, kritik terhadap pelaksanaan kekuasaan, termasuk oleh aktor politik seperti Thomas Lembong, merupakan bentuk kontrol sipil yang sah dan konstitusional. Kritik tersebut harus dimaknai sebagai ekspresi tanggung jawab moral dan intelektual warga negara dalam mengawal batas-batas kekuasaan Presiden.

Pemberian abolisi kepada Hasto, apabila tidak didasarkan pada pertimbangan yuridis dan etik yang ketat, akan menjadi preseden buruk yang membahayakan legitimasi dan akuntabilitas kekuasaan eksekutif. Ini merupakan bentuk deviasi dari semangat pembentukan negara hukum, di mana tidak seorang pun kebal dari proses hukum.

4. Penutup: Menakar Ulang Etika Kekuasaan dalam Negara Hukum

Bahwa dengan demikian Negara hukum tidak hanya dibangun di atas norma tertulis, melainkan juga ditopang oleh etika konstitusional. Pemberian amnesti atau abolisi haruslah berdasarkan keadilan substantif, bukan sekadar legalitas formal. Presiden sebagai kepala pemerintahan harus menunjukkan bahwa setiap tindakan publik, terutama yang menyangkut penegakan hukum dan integritas jabatan, berakar dari itikad baik dan orientasi kepentingan umum.

Kekuasaan yang tidak diuji oleh akuntabilitas hukum dan moralitas publik akan menjelma menjadi alat kekuasaan yang liar. Oleh karena itu, praktik pemberian abolisi dalam kasus dugaan korupsi harus diuji, baik secara yuridis maupun etik, oleh masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga-lembaga pengawasan. Kritik bukan bentuk perlawanan terhadap negara, melainkan manifestasi cinta pada konstitusi dan komitmen terhadap demokrasi.

*) Penulis adalah Praktisi Dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.