Hakim nyatakan praperadilan Anggota DPRD NTB Efan Limantika tak dapat diterima

id Praperadilan, Anggota DPRD NTB Efan Limantika, Pengadilan Negeri Dompu, Polres Dompu

Hakim nyatakan praperadilan Anggota DPRD NTB Efan Limantika tak dapat diterima

Hakim tunggal Pengadilan Negeri Dompu, I Made Agni Prabawa Suryadi memimpin sidang pembacaan putusan praperadilan anggota DPRD NTB Efan Limantika di Ruang Sidang Candra, Senin (13/10/2025). ANTARA/Ady Ardiansah

Dompu (ANTARA) - Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Dompu, Nusa Tenggara Barat, I Made Agni Prabawa Suryadi, menyatakan permohonan praperadilan yang diajukan anggota DPRD Provinsi NTB dari Fraksi Golkar, Efan Limantika, tidak dapat diterima karena dinilai diajukan terlalu dini dan belum memenuhi syarat formil.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara Nomor : 7/Pid.Pra//2025/PN Dpu di Ruang Sidang Candra, Senin (13/10).

Hakim menjelaskan, permohonan praperadilan yang diajukan Efan terkait keabsahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dinilai prematur karena belum ada penetapan tersangka oleh penyidik Polres Dompu.

"SPDP tidak dapat diperiksa lebih lanjut karena belum ditetapkan tersangka," ujar hakim saat membacakan amar putusannya.

Selain itu, Hakim juga menolak seluruh eksepsi atau bantahan formil dari pihak termohon, yakni Kepolisian Resor (Polres) Dompu.

Dalam pertimbangannya, hakim turut mengutip pendapat ahli dari Fakultas Hukum Universitas Mataram yang dihadirkan dalam persidangan. Ahli menjelaskan bahwa pelaksanaan tugas kepolisian harus berpijak pada tiga pendekatan utama, yakni normatif, administratif, dan sosiologis.

"Pendekatan administratif mengharuskan aparat kepolisian bertindak sesuai peraturan perundang-undangan," kata hakim mengutip keterangan ahli.

Ahli juga menjelaskan dua model penegakan hukum, yakni Crime Control Model yang menekankan penindakan tegas terhadap kejahatan, serta Due Process of Law Model yang menjamin perlindungan hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah.

Asas due process of law, lanjut hakim, menjadi prinsip penting dalam sistem hukum untuk memastikan setiap tindakan penyidikan dilakukan secara sah dan berkeadilan. Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 disebut telah mengadopsi asas tersebut secara ketat.

Dalam konteks ini, hakim juga mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 130/PUU-XII/2015 yang memberikan hak kepada tersangka untuk mengajukan praperadilan apabila belum menerima SPDP. Namun, ketentuan itu baru berlaku setelah seseorang berstatus tersangka.

Baca juga: Sidang praperadilan anggota DPRD NTB Efan Limantika hadirkan ahli hukum Unram

"SPDP merupakan bagian dari rangkaian proses penyidikan, bukan tindakan hukum yang berdiri sendiri. Karena itu, keberatan atas SPDP baru bisa diuji setelah adanya penetapan tersangka," tegas hakim.

Berdasarkan fakta persidangan, hakim menyimpulkan bahwa pemohon belum berstatus tersangka, sehingga permohonan praperadilan tidak memenuhi syarat formil dan belum dapat diperiksa pokok perkaranya.

"Permohonan praperadilan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)," ujar hakim menegaskan.

Baca juga: Hakim ubah vonis PPK proyek RS Pratama Dompu jadi 7 tahun

Dalam amar putusannya, hakim juga membebankan biaya perkara nihil kepada pemohon.

Sidang tersebut dihadiri Kuasa Hukum Pemohon, Apryadin, sementara pihak termohon diwakili oleh penyidik Polres Dompu. Sidang ini sekaligus menutup rangkaian pemeriksaan praperadilan atas permohonan Efan Limantika terkait keabsahan SPDP dalam penyelidikan Polres Dompu.

Pewarta :
Editor: I Komang Suparta
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.