Ketika pejabat administrasi bertindak tanpa aturan: Belajar dari kasus sanksi etik di Fatepa Unram

id pejabat ,administrasi ,bertindak tanpa aturan,sanksi etik ,Fatepa Unram Oleh  Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, S.H., M.H. *)

Ketika pejabat administrasi bertindak tanpa aturan: Belajar dari kasus sanksi etik di Fatepa Unram

Praktisi Dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram serta Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB 2022-2027,  Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, S.H., M.H. (ANTARA/HO - Dok Firzhal Arzhi Jiwantara)

Mataram (ANTARA) - Bahwa langkah korektif yang dilakukan Dekan Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri (FATEPA) Universitas Mataram, melalui Keputusan Nomor: 3127/UN18.F10/HK/2025 tanggal 26 September 2025 tentang Pembatalan Keputusan Dekan Nomor: 2362/UN18.F10/UN/2025 mengenai Hukuman terhadap Pelanggaran Etika Akademik dan Kode Etik, patut diapresiasi sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum administrasi. Keputusan ini menunjukkan bahwa pejabat administrasi masih memiliki kesadaran hukum untuk melakukan koreksi atas tindakan yang berpotensi cacat prosedur dan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Di tengah maraknya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga publik, langkah Dekan FATEPA Unram menjadi contoh konkret bahwa pejabat administrasi dapat bersikap objektif dan berani memperbaiki kekeliruan administratif yang telah terjadi.

Kasus ini mendapat perhatian luas setelah diberitakan oleh Radar Lombok maupun media lainnya dalam artikel berjudul “Sanksi Etik Diduga Cacat Prosedur, Dosen Gugat Dekan FATEPA Unram di PTUN”. Dalam laporan tersebut disebutkan, salah satu dosen menggugat keputusan Dekan FATEPA ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram karena diduga tidak melalui prosedur yang sah dan melanggar hak pembelaan diri. Gugatan ini memperlihatkan bahwa proses penegakan etika di lingkungan perguruan tinggi tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Sanksi etik, betapapun dimaksudkan untuk menjaga marwah akademik, harus tetap tunduk pada asas legalitas dan prinsip keadilan prosedural.

Dalam perspektif hukum administrasi negara, setiap keputusan pejabat publik harus memenuhi tiga unsur utama: kewenangan (bevoegdheid), prosedur (procedure), dan substansi yang sah (materiële rechtmatigheid). Ketiganya merupakan manifestasi dari prinsip rechtmatigheid van bestuur, bahwa setiap tindakan administrasi harus memiliki dasar hukum yang sah, tidak menyimpang dari tujuan peraturan, dan dilaksanakan dengan cara yang patut. Bila salah satu unsur ini diabaikan, maka keputusan administrasi berpotensi cacat dan dapat dibatalkan secara hukum. Karena itu, keputusan pembatalan SK sanksi etik di FATEPA Unram adalah bentuk self correction yang mencerminkan adanya kesadaran hukum dalam tubuh birokrasi akademik.

Kasus FATEPA Unram memperlihatkan bagaimana cacat prosedur dalam penjatuhan sanksi etik dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak yang dijatuhi sanksi. Dugaan pengabaian hak pembelaan diri, ketidakhadiran mekanisme etik yang transparan, serta pelanggaran asas proporsionalitas menunjukkan bahwa keputusan sebelumnya tidak memenuhi standar AUPB. Dalam terminologi hukum administrasi, tindakan demikian dapat dikategorikan sebagai cacat prosedur (formele gebreken) dan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). Bila dibiarkan, tindakan seperti ini dapat berkembang menjadi praktik maladministrasi yang merusak prinsip keadilan dan akuntabilitas publik.

Lebih jauh, tindakan korektif Dekan FATEPA juga menjadi bukti bahwa pengawasan internal (internal control) masih memiliki peran signifikan dalam menjaga tertib administrasi di lingkungan perguruan tinggi. Dalam sistem hukum administrasi modern, koreksi atas keputusan yang cacat tidak selalu harus menunggu intervensi lembaga peradilan. Pejabat tata usaha negara memiliki kewajiban hukum untuk meninjau dan membatalkan keputusannya sendiri jika diketahui bertentangan dengan asas legalitas dan AUPB. Mekanisme auto correction ini merupakan wujud dari tanggung jawab administratif (administrative accountability) yang menjadi bagian dari prinsip good governance.

Di sisi lain, kasus ini juga mengingatkan bahwa penegakan etika akademik tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan prinsip hukum administrasi. Etika dan hukum memang berbeda, namun keduanya tidak boleh saling meniadakan. Etika tanpa hukum akan kehilangan kekuatan mengikat, sementara hukum tanpa etika kehilangan roh keadilan. Oleh karena itu, setiap sanksi etik yang dijatuhkan kepada dosen atau mahasiswa harus berlandaskan pada prosedur hukum yang sah dan memperhatikan hak-hak dasar individu, termasuk hak untuk didengar (audi et alteram partem) dan hak atas pembelaan diri.

AUPB sendiri tidak hanya menjadi pedoman moral, melainkan juga standar legalitas administratif. Asas kepastian hukum, kecermatan, ketidakberpihakan, dan keterbukaan adalah nilai-nilai yang wajib melekat dalam setiap kebijakan pejabat publik. Pejabat yang patuh pada AUPB berarti telah menjalankan fungsi pemerintahan berdasarkan prinsip hukum (rule of law administration). Sebaliknya, pelanggaran terhadap AUPB bukan hanya bentuk pelanggaran etik, tetapi juga dapat menjadi dasar pembatalan keputusan oleh peradilan administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pada akhirnya, kasus FATEPA Unram memberikan pelajaran berharga bahwa pejabat administrasi tidak boleh bertindak tanpa aturan. Kekuasaan bukanlah hak prerogatif yang absolut, melainkan amanah yang terikat pada hukum dan asas keadilan. Keberanian untuk membatalkan keputusan yang keliru merupakan cermin integritas dan kedewasaan birokrasi akademik dalam menegakkan hukum. Dari kampus, kita belajar bahwa supremasi hukum hanya akan hidup jika pejabat administrasi berani tunduk pada asas, taat pada prosedur, dan jujur pada nurani. Itulah hakikat good governance pemerintahan yang tidak hanya berwenang, tetapi juga berkeadilan.

*) Penulis adalah Praktisi Dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram serta Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB 2022-2027



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.