Tajuk ANTARA NTB- Menambal luka gizi di Bumi Gora

id Tajuk ANTARA NTB,stunting,NTB,bumi gora,Menambal luka gizi di Bumi Gora,gizi Oleh Abdul Hakim

Tajuk ANTARA NTB- Menambal luka gizi di Bumi Gora

Sejumlah relawan mengukur tinggi badan anak saat aksi pencegahan stunting oleh Relawan Bakti BUMN di kantor Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, NTB, Jumat (15/8/2025). Aksi pencegahan stunting yang diikuti oleh 10 orang relawan bakti Mandalika tersebut digelar untuk mendukung program pemerintah dalam pencegahan dan menurunkan jumlah penduduk stunting atau gagal tumbuh sebagai upaya peningkatan investasi di bidang Sumber Daya Manusia.ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/rwa. (ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI)

Mataram (ANTARA) - Stunting kembali menjadi isu yang menuntut perhatian serius di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan kenaikan signifikan, menempatkan prevalensi stunting NTB pada angka 29,8 persen atau naik 5,2 persen dari tahun sebelumnya.

Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan penanda bahwa intervensi yang telah dijalankan belum bergerak sejalan dengan kompleksitas persoalan di lapangan.

Lonjakan tersebut juga menegaskan semakin kuatnya faktor sosial yang saling bertautan. Dua kabupaten yakni Lombok Utara dengan 35,3 persen dan Lombok Timur 33 persen masuk dalam zona merah stunting. Fenomena ini menampilkan bahwa persoalan gizi tidak dapat dibaca sebagai urusan dapur keluarga semata.

Ia merupakan cermin ketimpangan layanan dasar, sanitasi, pendidikan, hingga fenomena sosial yang terus menghantui NTB: tingginya pernikahan usia anak. Pada 2024, NTB tercatat sebagai provinsi dengan prevalensi perkawinan anak tertinggi secara nasional, mencapai 14,96 persen. Konsekuensinya langsung terasa pada tingginya risiko bayi lahir dengan berat badan rendah dan rentan tumbuh kembang terhambat.

Dalam konteks ini, stunting sesungguhnya adalah alarm yang terus berulang. Ia mengingatkan bahwa masa depan generasi NTB bisa tersendat bahkan sebelum mulai berlari. Tantangannya bukan hanya menurunkan angka, melainkan memastikan intervensi berjalan terarah, terpadu, dan berkelanjutan.

Berbagai upaya sudah ditempuh pemerintah daerah. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk ibu hamil, menyusui, dan balita dipilih sebagai strategi utama karena berada pada fase paling krusial dalam siklus 1.000 Hari Pertama Kehidupan. Satgas MBG diperkuat untuk memastikan intervensi sampai pada keluarga berisiko stunting. Pendekatan ini menggabungkan pencegahan dan pemulihan kasus.

Sejumlah daerah menunjukkan capaian menggembirakan. Lombok Tengah, misalnya, mencatat penurunan signifikan dari 10,98 persen menjadi 9,28 persen pada November 2025. Capaian itu lahir dari komitmen lintas struktur melalui pakta integritas antara desa, kecamatan, dan puskesmas.

Edukasi gemar makan ikan turut memperkaya strategi pemenuhan protein hewani yang sering kali kurang dalam konsumsi keluarga. Kota Mataram memilih langkah lebih klinis dengan menempatkan dokter spesialis anak di seluruh puskesmas.

Hasilnya terlihat, prevalensi turun menjadi 6,03 persen pada 2025. Lombok Timur memperkuat pendekatan komunitas melalui Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting), yang berperan mendampingi keluarga mulai dari calon pengantin hingga balita.

Namun keberhasilan daerah-daerah tersebut belum cukup mengangkat angka provinsi. Tantangan besar masih mengadang, terutama lemahnya integrasi antarprogram. Data Dinas Sosial menunjukkan banyak intervensi berjalan sendiri-sendiri dan belum menjadi kerja lintas sektor yang sistematis.

Padahal stunting berkaitan erat dengan kemiskinan ekstrem, sanitasi buruk, dan minimnya akses pendidikan. Upaya Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) menyusun Strategi Kolaborasi Kesejahteraan Sosial NTB 2025–2030 patut diapresiasi, tetapi pekerjaan besarnya adalah penerapan yang konsisten di lapangan.

Ke depan, ada tiga langkah strategis yang mesti menjadi pijakan. Pertama, memastikan integrasi kebijakan lintas sektor secara nyata, bukan sekadar koordinasi seremonial. Kedua, memperkuat kualitas intervensi di desa--ruang paling dekat dengan keluarga berisiko. Ketiga, membangun perubahan perilaku secara jangka panjang karena pola pengasuhan dan konsumsi tidak berubah hanya dengan program sesaat.

NTB memiliki modal sosial kuat dan tradisi gotong royong yang bisa menjadi fondasi perubahan. Stunting bukan takdir. Ia adalah problem yang dapat dipangkas jika pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan komunitas lokal berjalan dalam ritme yang sama.

Di antara angka-angka yang naik turun, esensi persoalan ini tetap sama: ini tentang masa depan generasi NTB. Dan masa depan itu bergantung pada keberanian mengambil langkah yang lebih terarah, lebih terpadu, dan lebih berpihak pada anak.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mataram menanam integritas sejak dini
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Kendaraan listrik, Jalan hijau baru NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Jalan baru energi bersih NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB Capital dan lompatan ekonomi daerah
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Jagung NTB dan peluang yang hilang
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Membangun jalan aman migran NTB



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.