Jakarta (ANTARA) - United Nations Population Fund (UNFPA) menilai pentingnya ada kebijakan afirmatif untuk meningkatkan keterampilan atau upskilling perempuan pada era Akal Imitasi (AI).
UNFPA Indonesia Assistant Representative Verania Andria dalam konferensi pers 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di Jakarta, Kamis, menyampaikan UNFPA bersama Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN tengah menyusun Peta Jalan Pembangunan Kependudukan (PJPK) yang salah satunya akan membahas solusi untuk meningkatkan partisipasi kerja perempuan di Indonesia.
"Sekarang partisipasi perempuan di angkatan kerja kita itu baru mentok di bawah 50 persen, enggak naik-naik selama berpuluh-puluh tahun. Itu baru di kondisi yang normal aja kita masih lebih rendah, apalagi kalau kemudian digantikan dengan AI. Jadi, di sini sebetulnya harus ada affirmative action untuk perempuan," kata Vera.
Ia menjelaskan affirmative action tersebut bisa dilakukan antara lain dengan membantu perempuan agar bisa masuk atau berkontribusi lebih banyak di ruang-ruang publik dengan care economy.
"Misalnya dipermudah dengan ada insentif untuk anaknya, atau ketika dia merawat anak sebelum ke kantor, atau misalnya dia juga bisa dibantu dengan paternity leave (cuti pasca-persalinan), kebijakan-kebijakan seperti itu, jadi perempuan punya waktu untuk membekali dirinya dan masuk ke wilayah kerja," paparnya.
Ketika AI sekarang mendominasi di lapangan kerja, kata dia, perempuan juga diberikan kesempatan untuk upskilling kemampuan mereka.
"Jadi harus ada affirmative action untuk perempuan, khusus untuk mereka mendapatkan skill yang terkait dengan pemanfaatan AI, karena kalau kita cuma masuk di care economy ya sebatas memberi waktu (jeda) saja, tetapi kita enggak mengantisipasi ke depan ini ada tantangan penggunaan AI. Jadi, harus ada affirmative action, upskilling perempuan-perempuan di usia produktif agar mampu menguasai teknologi-teknologi baru," ucap Vera.
Baca juga: KemenPPPA menekankan komitmen bersama perkuat pemberdayaan perempuan
Menurut hasil studi terbaru, perempuan berisiko kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi berbasis AI dan memiliki kemungkinan 20 persen lebih kecil untuk menggunakan perangkat AI generatif ketimbang laki-laki.
Perempuan diperingatkan bisa tertinggal oleh kemajuan teknologi, setelah sebuah studi menunjukkan mereka dua kali lebih mungkin menempati pekerjaan yang terancam oleh AI, menurut harian The Independent pada Rabu (19/11).
Baca juga: Indonesia - New Zealand memperkuat kerja sama pemberdayaan perempuan
Temuan itu menunjukkan bahwa pekerjaan yang "didominasi perempuan" seperti administrasi, pembukuan, kasir, dan staf kantor, lebih rentan kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi.
Studi itu juga mengungkapkan bahwa perempuan 20 persen lebih kecil kemungkinannya menggunakan alat AI generatif daripada laki-laki, sehingga membuat mereka memiliki kesempatan yang lebih kecil dalam pekerjaan yang bergantung pada AI.
