MENILIK DAMPAK ACFTA PADA PASAR PONSEL

id



Roike Sinaga

Jakarta (ANTARA) - Dimulainya "Asean-China Free Trade Agreement" (ACFTA) langsung diikuti pro dan kontra terkait dengan kesiapan industri di dalam negeri.

Padahal jauh sebelum perjanjian dagang itu ditetapkan, gempuran produk-produk dari China sudah merangsek pasar dalam negeri, mulai dari tekstil hingga alat-alat berat, mulai dari produk rumahan hingga produk manufaktur.

Telepon seluler (ponsel), barang yang seakan menjadi kebutuhan pokok itu, sudah masuk ke pasar dalam negeri dengan berbagai merek, mulai dari ponsel low end harga murah dengan fitur rendah, hingga high end atau ponsel fitur canggih.

Saat ini setidaknya terdapat sekitar 40 merek ponsel asal China yang beredar di tanah air.

Bahkan, pada tataran penjualan ponsel asal China sudah mendekati angka penjualan ponsel merek tekenal seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung, LG.

Jika pada akhir 2009 total penjualan ponsel di Indonesia mencapai sekitar 25 juta unit, maka pada 2010 Asosiasi Importir Seluler Indonesia (AISI) memproyeksikan pertumbuhan 20-22 persen dengan total volume impor sedikitnya 40 juta unit.

Dari total penjualan tersebut, pangsa pasar ponsel China masih berkisar 10 persen, namun tidak tertutup kemungkinan setelah ACFTA pangsa pasar ponsel asal Tiongkok itu makin menggelembung.

Maraknya impor ponsel ke tanah air selain harganya yang murah, juga dipicu pasar bebas yang menghapus bea masuk.

Tambunnya pasar Indonesia, membuat vendor dari China tidak lagi hanya sebatas menjual ponsel murah tetapi juga sudah diikuti dengan kualitas yang semakin bagus bahkan bersaing dengan ponsel ternama.

Andreas (29), pedagang ponsel di ITC Depok menuturkan, setiap hari bisa menjual ponsel merek China sebanyak enam unit, dan 10 unit per hari untuk merek-merek yang sudah ternama.

"Pembeli umumnya membanding-bandingkan harga dan fitur yang dibenamkan di ponsel. Jika fitur hampir sama, harga lebih murah, maka konsumen akan memilih produk China," kata Andreas.

Besarnya potensi pangsa pasar ponsel dalam negeri, akhirnya membuat persaingan antar ponsel kian sengit untuk memperebutkan pasar ponsel China yang kini sudah mencapai 10 persen itu.

Produsen ponsel IMO Mobile mengaku terus mengembangkan jurus untuk bisa bersaing tidak saja pasar "low end", tapi juga menyasar produk "high end".

Mulai dari tipe "candy bar", IMO saat ini juga giat menggali potensi pasar jenis "Qwerty" dengan membenamkan fitur multimedia player, data, dan internet dan ditambah aplikasi akses ke jejaring sosial antara lain facebook, yahoo messanger, twitter, flickr.

Produk IMO pun tidak kalah gencar, puluhan tipe sudah diluncurkan. Bahkan ponsel IMO berbasis teknologi teranyar, Android, sudah dilepas ke pasar.

"Kami menargetkan dapat menguasai 20 persen pangsa pasar ponsel merek China di tanah air pada tahun 2010," kata Direktur Utama PT IMO Mobile Sarwo Wargono.

Ketua Perhimpunan Importir Seluruh Indonesia, Eko Soeparto Nilam menuturkan, ACFTA justru semakin mendorong volume impor ponsel merek China.

Menanggapi semakin gencarnya produk asal China tersebut, manajer pelayanan dan perangkat lunak Nokia Indonesia Haryati Lawidjaja menuturkan, tidak ada kekhawatiran sedikitpun karena pasar juga yang menentukan.

"Inovasi dan kualitas dan fitur canggih, serta layanan purna jual merupakan jaminan terhadap konsumen," katanya.

Senada dengan itu, distributor ponsel merek ternama Global Teleshop juga mencari terobosan dengan mengembangkan program penjualan.

Jika sebelumnya perusahaan hanya menjual ponsel Nokia, sejak awal Februari 2010 juga menggandeng LG Indonesia untuk ponsel merek LG, Research in Motion (RIM) untuk merek BlackBerry, Apple Inc untuk IPhone.

Presiden Direktur Global Teleshop Djatmiko Wardoyo mengatakan, langkah perusahaan menggandeng merek selain Nokia itu sebagai upaya memenuhi permintaan pasar.

Bahkan pada Februari, Global Teleshop juga berencana meluncurkan ponsel China dengan merek sendiri.



Tidak dibatasi

Gurihnya pasar ponsel di tanah air mendorong produsen asal China membanjiri tanah air dengan berbagai macam ponsel.

Bahkan produsen ponsel ternama pun saat ini sudah ada yang diproduksi di negeri tirai bambu itu karena biaya produksi yang relatif rendah.

Meski begitu pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak bisa membatasi masuknya ponsel impor.

Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Kominfo Gatot S Dewa Broto menuturkan, hingga saat ini setidaknya 20 vendor mengajukan sertifikasi kepada Ditjen Postel.

Dari 20 yang mengajukan sertifikasi sebanyak 18 tipe di antaranya adalah ponsel China.

Kementerian Kominfo tidak membatasi permintaan sertifikasi, sepanjang sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan dengan Peraturan Menteri Kominfo No. 29/PER/M.KOMINFO/9/2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi.

Kebijakan pengetatan impor barang elektronik sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60/M-DAG/PER/12/2008 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu, menyebutkan importir harus menjadi importir terdaftar (IT) dan ada biaya tambahan untuk memenuhi syarat ini.

Direktur Jenderal Industri Alat Transportasi dan Telematika Kementerian Perindustrian Budi Darmadi mengatakan ada sejumlah vendor yang sedang menjajaki akan membuka pabrik di Indonesia.

Akan tetapi hingga kini, katanya, belum ada yang terealisasi.

Seorang petinggi dari produsen ponsel Nexian menuturkan, pihaknya bisa saja membangun pabrik sekaligus pusat riset dan pengembangan di Indonesia, namun sudahkah ada regulasi yang mengaturnya.

Investasi tidak besar, sehingga perlu jaminan keamanan dan iklim investasi agar investor vendor mau membangun fasilitas produksi di Indonesia.

Pemerintah perlu menyiapkan insentif berupa pengurangan pajak mea masuk, termasuk jaminan ketersediaan bahan baku juga dibutuhkan sumber daya manusia yang handal.

Dengan mendirikan pabrik di Indonesia, bisa menjadi salah satu upaya produsen ponsel China mengimbangi dominasi pasar ponsel merek besar, karena harga bisa lebih ditekan. (*)