Jakarta (ANTARA) - Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyarankan pemerintah melakukan perubahan radikal dengan menggunakan setengah dana subsidi energi yang berasal dari APBN untuk beralih ke Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Subsidi energi dari APBN sudah mencapai Rp98,57 triliun hingga Oktober 2019. Angka tersebut kata Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Maxensius Tri Sambodo di Jakarta, Selasa, hampir setara dengan penerimaan negara bukan pajak dari sektor migas yang mencapai sekitar Rp100,5 triliun.
“Jika setengah saja anggaran subsidi digunakan untuk membangun PLTS dengan biaya investasi sekitar 1.210 dolar AS per kW, maka bisa terbangun sekitar 29 GW atau sedikit lebih besar dari beban puncak Pulau Jawa di 2018 yang mencapai 27 GW,” kata Maxensius.
Ia mengatakan harga energi baru terbarukan (EBT) di dunia semakin murah, terutama yang mengalami penurunan drastis berasal dari panel surya (photovoltaic), dan dunia harus berterima kasih pada China.
“Jepang masih kalah dengan China, Jepang malah produksi kendaraan yang banyak,” ujar dia.
LIPI melihat potensi subsidi BBM akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah kendaraan di sektor transportasi yang sangat tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) di 2018 jumlah sepeda motor 120.101.047 unit, mobil penumpang mencapai 16.440.087 unit, mobil barang mencapai 7.778.543 unit, sementara bus hanya 2.538.182 unit.
Namun jika mengacu pada data perbandingan semester pertama 2018 dan 2019 milik PT Pertamina (Persero), yang menjadi masalah untuk mencapai target pertumbuhan rendah karbon (PRK) dari sektor energi, menurut Maxensius, pergeseran konsumsi BBM dari jenis Pertamax (RON 92) ke Pertalite (RON 90).
Jika di semester pertama 2018 konsumsi Pertamax mencapai 16 persen maka di semester pertama 2019 hanya tinggal 11 persen. Sedangkan konsumsi Pertalite meningkat dari 47 persen menjadi 53 persen.
Menurut peneliti pada Pusat Penelitan Ekonomi LIPI lainnya Syarif Hidayat, sulit untuk mengatakan kapan keseimbangan pertumbuhan hijau akan terjadi karena ada kepentingan jangka panjang dan pendek. Penggunaan energi fosil memang cara termudah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Jika melihat upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jangka pendek memang tidak akan menarik. Tapi kalau melihatnya secara jangka panjang tentu akan menarik karena tidak hanya lingkungan hidup yang terjada tetapi aspek sosial dan ekonomi pun dapat berkelanjutan.
“Memang dilematis. Tapi ini kesempatan Presiden Jokowi di lima tahun terakhir periode kepemimpinannya untuk membuat kebijakan yang wow, ini waktunya, karena sudah tidak ada lagi kepentingan untuk maju ke periode berikutnya,” ujar Syarif.
Maka, menurut dia, ini kesempatan untuk benar-benar menjalankan kebijakan pembangunan rendah kabron. Kalau tidak dijalankan dengan kebijakan yang monumental tidak akan tercapai.