Mataram (ANTARA) - Komisi I DPRD Nusa Tenggara Barat menemukan fakta bahwa 65 hektare lahan milik Pemprov NTB yang dikerjasamakan dengan
PT Gili Trawangan Indah (GTI) di kawasan wisata andalan provinsi itu dikuasai dan dikelola oleh 400 orang.
"Ini hasil penelusuran rombongan Komisi I ketika turun lapangan ke Gili Trawangan," ujar anggota Komisi I DPRD NTB Bidang Pemerintahan, Hukum dan HAM, Najamuddin Moestofa di Mataram, Kamis.
Baca juga: Ini pendapat kasus 65 hektare tanah Pemprov NTB di Gili Trawangan pendapatannya hanya Rp22,5 juta pertahun
Ia menegaskan, penguasaan lahan seluas 65 hektare oleh orang perorang tersebut sudah tindakan melawan hukum. Karena, menempati lahan secara ilegal tanpa didasari aturan yang berlaku.
"Mereka yang menempati secara ilegal ini sudah tidak memikirkan aturan. Kalaupun ada aturan mereka yang buat. Mestinya hal-hal seperti ini tidak boleh dibiarkan oleh pemerintah provinsi selaku pemilik lahan," tegasnya.
Politisi PAN ini menyebutkan, lahan-lahan yang dikuasai secara ilegal tersebut dimanfaatkan untuk berbagai usaha di bidang pariwisata, seperti restoran, penginapan, dan kafe.
Baca juga: Komisi I DPRD rekomendasikan Gubernur NTB cabut HGB Gili Trawangan Indah
"Coba bayangkan berapa kerugian daerah akibat lahan ini dikuasai secara ilegal," ketus Najamuddin.
Menurut Najamuddin, akibat lahan tersebut ditelantarkan oleh PT GTI selaku pemegang HGB, akhirnya lahan seluas 65 hektare tersebut ingin dikuasai segelintir pihak untuk memperoleh keuntungan.
"Bagi kami Pemprov NTB harus bersikap tegas dengan memutus HGB PT GTI," katanya.
Komisi I Bidang Pemerintahan, Hukum dan HAM DPRD NTB merekomendasikan kepada Pemprov NTB untuk mencabut HGB lahan seluas 65 hektare yang dikelola
PT GTI.
"Komisi I merekomendasikan pencabutan HGB dan pemutusan hubungan perjanjian kontrak produksi dengan PT GTI," tegas Ketua Komisi I DPRD NTB, Syirajuddin.
Ia menjelaskan, ada sejumlah pertimbangan sehingga Komisi I mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB mencabut HGB dan perjanjian kontrak PT GTI. Di antaranya, PT GTI selama ini dinilai telah menelantarkan dan pembiaran terhadap lahan seluas 65 hektare milik Pemprov NTB tersebut. Tidak hanya itu, kata Syirajudfin, di atas lahan tersebut tidak ada kegiatan sama sekali yang dilakukan oleh PT GTI selama 24 tahun.
Baca juga: MAKI siap giring kasus aset Pemprov NTB di Gili Trawangan ke KPK
"Itu artinya PT GTI wanprestasi terhadap perjanjian yang sudah di sepakati dengan Pemprov NTB," katanya.
Menurutnya, melihat kondisi seperti itu, seharusnya PT GTI dapat dikenakan sanksi administrasi dalam bentuk pencabutan izin dan sanksi pidana khusus karena ada kerugian negara yang di akibatkan dari tidak adanya kegiatan yang dilakukan oleh PT GTI di atas tanah tersebut.
"Dari berbagai fakta ini, Pemprov NTB sudah sangat dirugikan karena terhadap aset yang dimiliki tidak bisa berkontribusi untuk masyarakat dan daerah," tegas politisi PPP tersebut.
Disinggung, langkah apa yang akan ditempuh jika rekomendasi tersebut tidak digubris Pemprov NTB, Syirajuddin menyatakan, jika itu terjadi maka DPRD NTB bisa melakukan hak interpelasi dan hak angket terhadap Pemprov NTB.
"Komisi I akan menggunakan hak konstitusi yang melekat pada DPRD," katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri memberikan atensi terhadap kasus ini.
Baca juga: Sikap apatis Pemprov NTB terhadap penyelamatan aset Trawangan bernilai triliunan penuhi unsur korupsi
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengakui persoalan lahan yang dikuasai PT GTI menjadi salah satu fokus tim KPK di NTB karena nilai aset yang dikuasi cukup signifikan.
Ia menyatakan dari hasil peninjauan dan sesuai dengan hasil penilaian ulang atas objek pajak oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2018 untuk luas lahan sebesar 65 hektare yang dikuasai PT GTI dengan nilai sekitar Rp2,3 triliun.
Selain itu, kata dia, potensi pendapatan daerah Pemprov yang bisa dioptimalkan, yaitu dari investasi masyarakat yang sudah melakukan kegiatan usaha di lokasi tersebut, yakni sebesar Rp24 milliar per tahun.