Komisi I DPRD rekomendasikan Gubernur NTB cabut HGB Gili Trawangan Indah

id NTB,DPRD NTB,Gubernur NTB,HGB,Cabut HGB,Gili Trawangan,Kejaksaan Agung,MAKI

Komisi I DPRD rekomendasikan Gubernur NTB cabut HGB Gili Trawangan Indah

Anggota Komisi I DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB), H. Najamuddin Moestofa. (ANTARA/Nur Imansyah).

"Ini lucu, Kabupaten Lombok Utara yang tidak memiliki lahan dapat Rp36 miliar dari retribusi pajak minum dan makan. Tapi Pemprov sebagai pemilik lahan justru tidak ada dapat apa-apa, hanya Rp22 juta. Itu artinya pemprov tidak urus masyarakat," tegas

Mataram (ANTARA) - Komisi I Bidang Pemerintahan, Hukum dan HAM DPRD Nusa Tenggara Barat merekomendasikan agar Gubernur NTB H. Zulkieflimansyah mencabut Hak Guna Bangunan (HGB) lahan seluas 65 hektare yang dikelola PT Gili Trawangan Indah (GTI) di kawasan wisata andalan provinsi itu Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

"Komisi I merekomendasikan pencabutan HGB dan pemutusan hubungan perjanjian kontrak produksi dengan PT GTI," tegas Ketua Komisi I DPRD NTB, Syirajuddin di Mataram, Rabu.

Baca juga: MAKI siap giring kasus aset Pemprov NTB di Gili Trawangan ke KPK

Baca juga: Sikap apatis Pemprov NTB terhadap penyelamatan aset Trawangan bernilai triliunan penuhi unsur korupsi

Ia menjelaskan ada sejumlah pertimbangan sehingga Komisi I mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB mencabut HGB dan perjanjian kontrak PT GTI. Di antaranya, PT GTI selama ini dinilai telah menelantarkan dan pembiaran terhadap lahan seluas 65 hektare milik Pemprov NTB tersebut. Tidak hanya itu,  di atas lahan tersebut tidak ada kegiatan sama sekali yang dilakukan oleh PT GTI selama 24 tahun.

"Itu artinya PT GTI wanprestasi terhadap perjanjian yang sudah di sepakati dengan Pemprov NTB," katanya.

Menurut dia, melihat kondisi seperti itu, seharusnya PT GTI dapat dikenakan sanksi administrasi dalam bentuk pencabutan izin dan sanksi pidana khusus karena ada kerugian negara yang di akibatkan dari tidak adanya kegiatan yang dilakukan oleh PT GTI di atas tanah tersebut.

"Dari berbagai fakta ini, Pemprov NTB sudah sangat dirugikan karena terhadap aset yang dimiliki tidak bisa berkontribusi untuk masyarakat dan daerah," tegas politisi PPP tersebut.

Disinggung, langkah apa yang akan ditempuh jika rekomendasi tersebut tidak digubris Pemprov NTB, Syirajuddin menyatakan, jika itu terjadi maka DPRD NTB bisa melakukan hak interpelasi dan hak angket terhadap Pemprov NTB.

"Komisi I akan menggunakan hak konstitusi yang melekat pada DPRD," katanya.

Anggota Komisi I DPRD NTB, H. Najamuddin Moestofa juga menyatakan mendukung jika HGB dan pemutusan hubungan perjanjian kontrak produksi dengan PT GTI segera dicabut. Karena, selama ini daerah telah dirugikan.

"Gubernur harus berani cabut, karena kita dirugikan. Gili itu seperti sudah hutan belantara karena tidak ada aturan, semau-maunya," ucapnya.

Ia mencontohkan, meski Pemprov NTB sebagai pemilik lahan, namun yang mendapatkan hasil justru pihak lain.

"Ini lucu, Kabupaten Lombok Utara yang tidak memiliki lahan dapat Rp36 miliar dari retribusi pajak minum dan makan. Tapi Pemprov sebagai pemilik lahan justru tidak ada dapat apa-apa, hanya Rp22 juta. Itu artinya pemprov tidak urus masyarakat," tegas Najamuddin Moestofa.

Lebih lanjut, Najamuddin menegaskan, terkait belum ada kejelasannya lahan tersebut. Komisi I bersama Komisi III akan segera melakukan rapat bersama untuk memanggil sejumlah pihak untuk membahas penyelesaian lahan tersebut.

"Ini harus jernih dan terbuka, sehingga masyarakat bisa mendapat gambaran dari kegiatan tersebut," katanya.

Diketahui, Kejaksaan Tinggi NTB menyarankan Pemprov NTB untuk memutus kontrak dengan PT GTI yang mengelola lahan seluas 65 hektare di dalam kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

"Kami sarankan dan usulkan agar diputus kontrak. Karena tidak logis dan tidak wajar dengan luasan segitu (65 hektare), pendapatannya hanya sekadar Rp22,5 juta per tahun," kata Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati NTB Tende.

Menurut dia, setelah menganalisa bentuk kegiatan usaha yang dikelola PT GTI di atas lahan 65 hektare tersebut, menilai lahan yang dikelola PT GTI kurang produktif, bahkan sebagian besar lahannya telantar, tidak ada aktivitas usaha.

"Jadi karena tidak ada asas manfaat lagi, hasilnya masuk ke keuangan daerah sedikit, pemutusan kontrak secara sepihak oleh pemprov itu boleh saja," katanya.