Penyidik memeriksa pemilik lahan relokasi banjir di Bima

id korupsi lahan,relokasi banjir,korban banjir,banjir bima,kejati ntb,penyidikan korupsi

Penyidik memeriksa pemilik lahan relokasi banjir di Bima

Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB Dedi Irawan. (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat, memeriksa pemilik lahan yang menjadi tempat relokasi korban banjir di Sambinae, Kota Bima, Tahun 2017.

"Pemeriksaannya (pemilik lahan) langsung ke Bima," kata Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Kamis.

Dalam keterangan penyidik, jelasnya, pemilik lahan yang menjadi tempat relokasi korban banjir itu ada sebanyak empat orang. Mereka semua diperiksa untuk kelengkapan berkas penyidikan.

"Pertanyaannya itu seputar pembayaran lahan," ujarnya.

Untuk tersangka, penyidik telah memeriksanya. Dua tersangka, berinisial HA, Mantan Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim) Kota Bima dan US, dari kalangan masyarakat.

"Mereka (kedua tersangka) baru dua kali diperiksa," ucap dia.

Dalam kasus ini, kedua tersangka tidak ditahan karena pertimbangan masa pandemi COVID-19. Salah satu kekhawatirannya ketika dihadirkan dalam persidangan.

Bila ditahan, jelasnya, upaya jaksa menghadirkan tersangka akan lebih rumit dan lebih disarankan untuk menjalani persidangan via daring.

Sidang via daring sebelumnya kerap dikeluhkan hakim maupun jaksa karena dinilai kurang maksimal dalam mengungkap fakta persidangan, apalagi yang berkaitan dengan kasus korupsi.

"Keluhannya seperti itu, kurang maksimal saat persidangan via daring. Tapi, meskipun mereka tidak ditahan, sejauh ini mereka kooperatif," kata Dedi.

Kasus dugaan korupsi ini muncul pasca kebijakan pemerintah daerah terkait dampak banjir yang melanda warga di Sambinae, Kota Bima, di Tahun 2017.

Pemerintah daerah melalui Dinas Perkim Kota Bima, kemudian membuat program relokasi korban banjir dengan mendistribusikan anggaran Rp4,9 miliar.

Dari anggaran tersebut muncul kesepakatan untuk merelokasi korban banjir ke wilayah perbukitan. Luas lahan yang dibebaskan mencapai tujuh hektare.

Setelah dilakukan negosiasi dengan pihak panitia melalui tim appraisal, lahir sebuah kesepakatan harga Rp11,5 juta per are.

Namun munculnya harga tersebut bukan dari pemilik lahan, melainkan melalui tersangka US, yang diberikan kuasa oleh para pemilik lahan untuk mencapai kesepakatan harga dengan panitia.

Dalam kesepakatan harga itu, US diduga bermain. Kepada warga, US memberikan harga Rp6 juta hingga Rp9 juta per are. Sehingga muncul kelebihan pembayaran yang nilai keseluruhannya mencapai Rp1,7 miliar.

Nilai tersebut yang diduga turut dinikmati tersangka HA, ketika masih menjabat Kadis Perkim Kota Bima. Nominal kelebihan pembayaran ini pun kemudian menjadi angka kerugian negaranya.