NTB dorong BLK komunitas perkuat jejaring dengan industri
Mataram (ANTARA) - Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat, I Gede Putu Aryadi, mendorong pengelola Balai Latihan Kerja (BLK) komunitas untuk terus berinovasi dan memperkuat jejaring kerja sama dengan dunia industri dalam menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas dan produktif.
"Harapannya, kerja sama langsung antara BLK dengan dunia industri, akan mampu menghasilkan lulusan dengan skill yang in line dengan spesifikasi kebutuhan di dunia industri," ujarnya di Mataram, Jumat.
Aryadi menyebutkan, bahwa saat ini di NTB, sudah ada 28 buah BLK komunitas yang sudah berjalan dengan baik, dari total BLK komunitas yang terbentuk sebanyak 48 BLK. Bahkan sebagian dari BLK komunitas yang sudah berjalan dengan dukungan dana hibah dari Kemenaker tersebut, mampu membuat program pelatihan kejuruan yang inovatif, serta sudah membangun kemitraan dengan industri di sekitarnya, sehingga lulusannya bisa langsung terserap menjadi pekerja.
"Jika lulusan BLK bisa langsung terserap di dunia industri, maka satu "PR" besar kita dalam upaya menurunkan angka tingkat pengangguran terbuka akan dapat diatasi," ujar Gede saat menghadiri FGD bertajuk Rapat Evaluasi Program BLK Komunitas di NTB bersama KetuaTim Pusbang SDM Ketenagakerjaan Kemnaker RI Yenni Nuraeni, Ketua FKJP NTB sekaligus Wakil Ketua FKLPI (Forum Komunikasi Lembaga Pelatihan dan Industri) NTB Naktika Sari Dewi, para Kepala Desa, Kepala BLK Komunitas dan para Instruktur BLK komunitas.
Menurutnya, pelibatan potensi setempat dan dunia industri dalam proses pelatihan di BLK, termasuk dalam penyusunan kurikulum, tidak hanya akan mendorong peningkatan daya serap lulusan saja. Tetapi juga bisa berperan menjadi "bapak angkat atau mentor" dalam memberikan pendampingan bagi lulusan yang ingin membangun wira usaha mandiri.
Karenanya, mantan Kepala Dinas Kominfotik NTB meminta pengelola BLK komunitas harus bisa menggunakan dengan baik, dana bantuan hibah dari pemerintah selama 1-2 tahun ini untuk mengembangkan lembaga pelatihan kerja tersebut menjadi lembaga yang kuat, mandiri dan dipercaya masyarakat.
"Dengan demikian, BLK Komunitas akan menjadi garda terdepan dalam meretas dan mengurangi angka pengangguran, harapnya," kata Gde Aryadi.
Kepala BLK Lombok Timur, Sabar menginformasikan bahwa Bupati Lombok Timur dengan Ditjen Bina Lavotas sudah membangun MoU untuk pemberdayaan dana desa.
"Kepala desa wajib mengalokasikan dana pemberdayaan dana desanya secara rinci dan jelas arahnya," jelas Sabar.
Sabar menyampaikan sebanyak 100 desa yang sudah mengajukan program pelatihan.
"Jika baru 50 desa yang siap, maka itu yang akan dikirim lebih dulu ke BLK untuk pelatihan," ujarnya.
Ketua Forum Komunikasi Jejaring Pemagangan (FKJP) NTB Naktika Sari Dewi, menyampaikan kedepannya FKJP akan dibentuk di kabupaten/kota, sehingga bisa mengakomodir rekan-rekan dari LPKS, BLK, BLK Komunitas yang ada di Kabupaten/Kota untuk membangun jaringan dengan dunia industri.
"Kita harus berjuang untuk terus eksis walaupun nantinya tidak lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah namun tetap menghasilkan lulusan yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan dunia industri," ujar Dewi.
Menurut Natika Dewi, ada dua langkah yang harus disiapkan oleh lembaga pelatihan untuk menghasilkan lulusan yang dibutuhkan oleh dunia industri, yaitu kesiapan internal dan kesiapan eksternal. Dari sisi kesiapan internal ada 4 hal yang harus diperhatikan. Yakni pengelolaan SDM, pengelola harus memiliki visi yang jelas menghasilkan lulusan yang bermutu. Jadi, pengelola/leader lembaga pelatihan perlu melakukan pemetaan dunia industri yang ada disekitar baru membuka jurusan, jangan membuka jurusan yang tidak dibutuhkan oleh dunia industri.
Kedua, pengelolaan akademik termasuk di dalamnya kurikulum yang mengacu pada SKKNI. Ketiga, pengelolaan pemasaran bagi lembaga pelatihan yang berbayar. Keempat adalah pengelolaan sarana prasarana.
"Jika keempat ini sudah kuat maka bisa menjamin lulusan sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Keempat hal tersebut jika dikembangkan maka akan menjadi 8 standar untuk akreditasi kelembagaan," jelas Dewi.
Sementara itu, Dewi juga memaparkan ada empat hal yang harus dipenuhi dalam Kesiapan eksternal, antara lain melakukan pemetaan agar lembaga pelatihan memiliki data perusahaan-perusahaan yang akan menjadi calon mitra. Kedua, mengajak instruktur dari dunia industri untuk mengajar di paket pelatihan. Ketiga, membuat MoU dengan dunia industri. Keempat, mengatur MoU dengan jangka waktu 2 tahun.
"Di dalam MoU dengan dunia industri harus tercantum empat hal, yaitu industri bersedia ikut mengembangkan kurikulum, industri bersedia menjadi tempat magang, industri bersedia memprioritaskan lulusan lembaga pelatihan jika ada peluang kerja dan industri bersedia menjadi pendamping dalam berwirausaha," katanya.
"Harapannya, kerja sama langsung antara BLK dengan dunia industri, akan mampu menghasilkan lulusan dengan skill yang in line dengan spesifikasi kebutuhan di dunia industri," ujarnya di Mataram, Jumat.
Aryadi menyebutkan, bahwa saat ini di NTB, sudah ada 28 buah BLK komunitas yang sudah berjalan dengan baik, dari total BLK komunitas yang terbentuk sebanyak 48 BLK. Bahkan sebagian dari BLK komunitas yang sudah berjalan dengan dukungan dana hibah dari Kemenaker tersebut, mampu membuat program pelatihan kejuruan yang inovatif, serta sudah membangun kemitraan dengan industri di sekitarnya, sehingga lulusannya bisa langsung terserap menjadi pekerja.
"Jika lulusan BLK bisa langsung terserap di dunia industri, maka satu "PR" besar kita dalam upaya menurunkan angka tingkat pengangguran terbuka akan dapat diatasi," ujar Gede saat menghadiri FGD bertajuk Rapat Evaluasi Program BLK Komunitas di NTB bersama KetuaTim Pusbang SDM Ketenagakerjaan Kemnaker RI Yenni Nuraeni, Ketua FKJP NTB sekaligus Wakil Ketua FKLPI (Forum Komunikasi Lembaga Pelatihan dan Industri) NTB Naktika Sari Dewi, para Kepala Desa, Kepala BLK Komunitas dan para Instruktur BLK komunitas.
Menurutnya, pelibatan potensi setempat dan dunia industri dalam proses pelatihan di BLK, termasuk dalam penyusunan kurikulum, tidak hanya akan mendorong peningkatan daya serap lulusan saja. Tetapi juga bisa berperan menjadi "bapak angkat atau mentor" dalam memberikan pendampingan bagi lulusan yang ingin membangun wira usaha mandiri.
Karenanya, mantan Kepala Dinas Kominfotik NTB meminta pengelola BLK komunitas harus bisa menggunakan dengan baik, dana bantuan hibah dari pemerintah selama 1-2 tahun ini untuk mengembangkan lembaga pelatihan kerja tersebut menjadi lembaga yang kuat, mandiri dan dipercaya masyarakat.
"Dengan demikian, BLK Komunitas akan menjadi garda terdepan dalam meretas dan mengurangi angka pengangguran, harapnya," kata Gde Aryadi.
Kepala BLK Lombok Timur, Sabar menginformasikan bahwa Bupati Lombok Timur dengan Ditjen Bina Lavotas sudah membangun MoU untuk pemberdayaan dana desa.
"Kepala desa wajib mengalokasikan dana pemberdayaan dana desanya secara rinci dan jelas arahnya," jelas Sabar.
Sabar menyampaikan sebanyak 100 desa yang sudah mengajukan program pelatihan.
"Jika baru 50 desa yang siap, maka itu yang akan dikirim lebih dulu ke BLK untuk pelatihan," ujarnya.
Ketua Forum Komunikasi Jejaring Pemagangan (FKJP) NTB Naktika Sari Dewi, menyampaikan kedepannya FKJP akan dibentuk di kabupaten/kota, sehingga bisa mengakomodir rekan-rekan dari LPKS, BLK, BLK Komunitas yang ada di Kabupaten/Kota untuk membangun jaringan dengan dunia industri.
"Kita harus berjuang untuk terus eksis walaupun nantinya tidak lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah namun tetap menghasilkan lulusan yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan dunia industri," ujar Dewi.
Menurut Natika Dewi, ada dua langkah yang harus disiapkan oleh lembaga pelatihan untuk menghasilkan lulusan yang dibutuhkan oleh dunia industri, yaitu kesiapan internal dan kesiapan eksternal. Dari sisi kesiapan internal ada 4 hal yang harus diperhatikan. Yakni pengelolaan SDM, pengelola harus memiliki visi yang jelas menghasilkan lulusan yang bermutu. Jadi, pengelola/leader lembaga pelatihan perlu melakukan pemetaan dunia industri yang ada disekitar baru membuka jurusan, jangan membuka jurusan yang tidak dibutuhkan oleh dunia industri.
Kedua, pengelolaan akademik termasuk di dalamnya kurikulum yang mengacu pada SKKNI. Ketiga, pengelolaan pemasaran bagi lembaga pelatihan yang berbayar. Keempat adalah pengelolaan sarana prasarana.
"Jika keempat ini sudah kuat maka bisa menjamin lulusan sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Keempat hal tersebut jika dikembangkan maka akan menjadi 8 standar untuk akreditasi kelembagaan," jelas Dewi.
Sementara itu, Dewi juga memaparkan ada empat hal yang harus dipenuhi dalam Kesiapan eksternal, antara lain melakukan pemetaan agar lembaga pelatihan memiliki data perusahaan-perusahaan yang akan menjadi calon mitra. Kedua, mengajak instruktur dari dunia industri untuk mengajar di paket pelatihan. Ketiga, membuat MoU dengan dunia industri. Keempat, mengatur MoU dengan jangka waktu 2 tahun.
"Di dalam MoU dengan dunia industri harus tercantum empat hal, yaitu industri bersedia ikut mengembangkan kurikulum, industri bersedia menjadi tempat magang, industri bersedia memprioritaskan lulusan lembaga pelatihan jika ada peluang kerja dan industri bersedia menjadi pendamping dalam berwirausaha," katanya.