DPRD NTB TELUSURI NILAI PBBKB DI PERTAMINA

id

     Mataram, 14/10 (ANTARA) - Komisi II DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat segera menelusuri nilai Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang seharusnya diterima provinsi dan kabupaten/kota dari PT Pertamina setiap tahun.

     "Kami sudah sepakat dan atas izin pimpinan DPRD untuk menelusuri nilai PBBKB yang seharusnya diterima NTB dari Pertamina," kata Ketua Komisi II DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) Husni Djibril, yang didampingi Sekretaris Komisi II DPRD NTB Johan Rosihan, usai rapat koordinasi dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) NTB Lalu Suparman beserta jajarannya, di Mataram, Jumat.

     Suparman dan pejabat teknisnya dipanggil Komisi II DPRD NTB untuk menjelaskan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTB, dalam pengelolaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).

     BPK menemukan pengelolaan PBBKB pada Dispenda Provinsi NTB belum memadai sehingga Pemprov NTB tidak dapat mengetahui secara pasti jumlah penerimaan pendapatan PBBKB yang seharusnya, dan data pendapatan PBBKB Pemprov NTB tidak dapat ditelusuri kebenarannya.

     BPK juga menemukan tunggakan pendapatan retribusi daerah Provinsi NTB tahun anggaran 2010 sebesar Rp5,65 miliar dan tahun anggaran 2011 (sampai 30 Juni) sebesar Rp913,37 juta, yang mengakibatkan potensi penerimaan daerah dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tahun anggaran 2010 tertunda sebesar Rp5,12 miliar. 

     Temuan itu dikemas dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun anggaran 2010 dan semester I tahun anggaran 2011.

     LHP itu diserahkan Kepala BPK Perwakilan NTB Djoni Kirmanto, kepada Pemerintah Provinsi dan DPRD NTB, di Mataram, Rabu (12/10).

     Pemerintah Provinsi NTB diwakili oleh Kepala Dispenda H Lalu Suparman, dan Kepala Inspektorat Wilayah H Chaerul Makhsul, sementara DPRD NTB diwakili Wakil Ketua DPRD NTB H. Lalu Syamsir.

     Husni mengatakan, Suparman menjelaskan bahwa temuan BPK itu dilatarbelakangi oleh perbedaan penggunaan regulasi. Dispenda NTB mengacu kepada peraturan gubernur tahun 2010, sementara BPK mempedomani Permendagri yang baru diterbitkan Juni 2011.

     "Karena itu, nilainya beda karena mengacu kepada regulasi yang juga berbeda, sehingga kami pun akan mendatangi Kantor BPK NTB untuk mengklarifikasi, sekaligus mengorek informasi lainnya terkait masalah tersebut," ujarnya.

     Selain itu, kata Husni, selama ini nilai PBBKB yang diterima NTB melalui Dispenda ditentukan oleh pihak Pertamina, sehingga Dispenda hanya menyalurkan dana yang ada sesuai peruntukkan baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota.

     Dispenda NTB pun tidak mengetahui nilai PBBKB yang diterima setiap tahun anggaran dari Pertamina, yang kemudian dinilai oleh BPK sebagai sesuatu yang tidak sesuai aturan dan data pendapatan PBBKB itu dianggap tidak dapat ditelusuri kebenarannya.

     "Sebenarnya, ini masalah lama yang sekarang kembali dipersoalkan BPK, yang ternyata akar masalahnya ada di Pertamina, karena tidak memberitahukan penghitungan nilai PBBKB yang dijatahkan untuk NTB," ujarnya.

     Karena itu, Komisi II DPRD NTB akan menemui pejabat Pertamina Unit Pemasaran Wilayah V Surabaya dan Kantor Pusat Pertamina di Jakarta, guna menelusuri  kejelasan nilai PBBKB itu.

     Sebelum ke Surabaya dan Jakarta, Komisi II DPRD NTB berencana menemui Kepala Depo Pertamina Ampenan (Lombok), Depo Badas (Sumbawa) dan Bima, terkait upaya transparansi pengelolaan nilai PBBKB itu.

     "Katanya kewenangan Pertamina pusat dalam penentuan nilai PBBKB itu, makanya kami mau tanya. Setiap tahun pertamina mengucurkan Rp130-an miliar untuk NTB tetapi nilai itu tidak diketahui asal-usulnya oleh NTB," ujarnya. (*)