Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mendorong pemerintah dan DPR RI segera merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang guna mencegah penyelewengan.
"Beberapa kawan dan saya sendiri telah mendorong adanya perubahan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang ini," kata Bivitri Susanti pada webinar bertajuk "Polemik Pengelolaan Dana Filantropi" yang dipantau di kanal YouTube di Jakarta, Sabtu.
Bivitri yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bersama sejumlah pihak mengaku sudah pernah mendorong revisi undang-undang tersebut. Apalagi, Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang sudah cukup lama sehingga perlu penyesuaian dengan kondisi saat ini.
Baca juga: Ahyudin terangkan legalitas ACT ke penyidik
Akan tetapi, katanya, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR RI dengan alasan politik yang tidak jelas. "Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut," harap Bivitri.
Tidak hanya revisi undang-undang, Bivitri menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui. Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.
Baca juga: Penyidik lanjutkan pemeriksaan Presiden ACT Ibnu Khajar
Ia membandingkan keberadaan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang bisa dikatakan cukup jauh tertinggal. "Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel," ujarnya.
Menurutnya, pemberian izin dan pendaftaran kepada suatu pihak untuk mengelola dana kepentingan masyarakat banyak, seperti filantropi tidak cukup hanya sebatas pemberian izin. Jauh dari itu, pengawasan dan akuntabilitas harus tetap diawasi agar tidak terjadi penyelewengan dana.
Sementara, dalam Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan pada tahun 1960 tersebut belum mengangkat aspek akuntabilitas, ujarnya. Oleh karena itu, ia berpandangan pencabutan izin sebuah filantropi sebagaimana yang dialami ACT karena diduga melakukan penyelewengan dana tidak akan menyelesaikan persoalan.
"Jadi teman-teman yang berkegiatan di sektor itu merasa sedih. Gara-gara nira setitik rusak susu sebelanga," ujarnya.
Ia menyarankan pemerintah agar tidak hanya sekadar mencabut izin sebuah filantropi. Namun, penyelesaian masalah harus dilakukan secara struktural dan segera melakukan revisi undang-undang.
Berita Terkait
Pemprov Jakarta akan evaluasi kerja sama dengan ACT
Senin, 4 Juli 2022 17:17
Pakar Hukum sebut MK hitung selisih suara bukan penyaluran bansos
Minggu, 31 Maret 2024 19:16
Pakar mengingatkan Menko Polhukam Hadi perhatikan saran Tim Percepatan Reformasi Hukum
Sabtu, 24 Februari 2024 7:08
Pakar: Terpidana berstatus tahanan kota tetap harus dieksekusi
Jumat, 23 Februari 2024 16:54
Pakar Hukum mendorong Kejagung usut keterlibatan korporasi dalam kasus BTS
Rabu, 24 Januari 2024 6:09
Pakar hukum Yusril mengingatkan soal bukti kasus pemerasan Firli Bahuri
Senin, 15 Januari 2024 17:29
Pakar hukum: Polisi tidak bisa terapkan pidana terhadap member FEC
Senin, 25 September 2023 13:41
Penutupan tempat usaha di Gili Trawangan dampak wanprestasi WNA
Sabtu, 23 September 2023 13:31