Mataram, 3/6 (ANTARA) - Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat akan mengkaji pengaruh perkembangan produksi rumput laut terhadap nilai tukar petani di daerah itu.
Kepala BPS Provinsi NTB H Soegarenda di Mataram, Minggu, mengatakan, produksi rumput laut di NTB terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, namun pihaknya belum memasukkan komoditas tersebut sebagai salah satu komoditas penyumbang pembentukan nilai tukar petani (NTP).
"Kami memang sudah melakukan penghitungan NTP dari sektor perikanan dan kelautan, namun tidak termasuk komoditas rumput laut karena beberapa tahun lalu skala produksinya masih relatif rendah," ujarnya.
Ia mengatakan, pihaknya akan memasukkan rumput laut sebagai komoditas baru dalam sistem penghitungan NTP. Hal itu didasarkan pada data produksi yang terus mengalami peningkatan sebagai dampak adanya program peningkatan produksi yang didanai dari APBN dan APBD.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, tercatat luas lahan budi daya rumput laut hingga tahun 2011 mencapai 10.637,59 hektare (ha) dengan produksi mencapai 457.911,45 ton.
Produksi rumput laut pada 2011 lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 221.047 ton. Produksi rumput laut tahun 2010 lebih tinggi dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 147.250,88 ton.
Pemerintah Provinsi NTB melalui program peningkatan produksi sapi, jagung dan rumput laut (Pijar) mentargetkan mampu memproduksi rumput laut satu juta ton hingga 2013.
Menurut Soegarenda, program pengembangan produksi rumput laut dengan dana puluhan miliar yang bersumber dari APBN dan APBD mampu menggairahkan perekonomian petani nelayan.
"Dampak terhadap tingkat kesejahteraan petani nelayan itu yang belum kami data secara resmi. Mudah-mudahan tahun ini, rumput laut sudah bisa dimasukkan dalam sistem penghitungan NTP," ujarnya.
Menurut dia, rumput laut yang diproduksi para petani nelayan di wilayah Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, sebagian dikirim ke Surabaya oleh pedagang antarpulau.
Namun, Soegarenda mengatakan belum mengetahui secara pasti berapa nilai jual di tingkat petani nelayan sebagai produsen.
"Beberapa waktu lalu saya mendatangi salah satu sentra produksi. Di sana saya melihat ada dua truk fuso berisi rumput laut yang katanya akan dibawa ke Surabaya. Saya tanya soal harga, pedagangnya malu-malu berikan informasi," ujarnya.
Ia mengatakan, kondisi NTP di Provinsi NTB selalu berada di bawah 100 persen atau berada di papan bawah dari 33 provinsi di Indonesia. Hal itu terjadi karena subsektor pertanian tanaman pangan dan palawija yang paling besar kontribusinya terhadap pembentukan NTP.
Berbeda dengan daerah lain, seperti Kalimantan, Sumatera, dan Pulau Jawa, para petani di wilayah itu tidak hanya memiliki lahan untuk ditanami tanaman pangan, melainkan tanaman perkebunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Soegarenda mencontohkan, petani di Pulau Kalimantan banyak memiliki lahan perkebunan sawit. Komoditas tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan para petani di daerah itu.
"Kalau lahan di NTB sebagian besar untuk tanaman pangan, kalau perkebunan relatif kecil. Makanya meskipun nilai tukar subsektor perkebunan atau naik, NTP di NTB tidak akan bisa di atas 100 persen, kalau perubahan nilai tukar subsektor tanaman pangan tidak menggembirakan," ujarnya. (*)